ENERGI (TEMAN) YANG (TAK) TERBARUKAN




Salam Budaya! 

SAMA DENGAN Coffe – Kalibata City. 

15.00 WIB. 

Tak biasanya Ika, terlambat. Dia minta maaf berkali - kali. Aku menenangkannya lewat WA. Tenang saja. Aku tunggu. Kami bertemu selalu sekadarnya. Tak ada obrolan khusus, hanya ingin tahu kabar terkini. 

Es teh yang kupesan sudah 2 gelas dan yang ini esnya mencair, membasahi meja. Aku meminta pelayan kafe meminjamkan kain lap. 

Ika muncul dengan tergopoh – gopoh dan sekali lagi meminta maaf. Ia sekilas mengamati bongkahan es yang menetes ke mana – mana. 

“Tak apa - apa. Ika. Santai saja. Panas sekali ya, cuaca hari ini. Dinginnya AC tak begitu berpengaruh. Sampai es meleleh dengan cepat.” 

Ika yang berjilbab duduk, memesan minuman aneh bernama Taro, mengatur napasnya dengan baik dan mencoba tersenyum. 

Ika Ernawati Soewadji 

“Seharusnya kita bersyukur,” ujar wanita lulusan Hukum ini memulai percakapan. Aku suka mendengar pandangannya. Ika selalu membawa hal berbeda setiap kali kita bertemu. “Ada keadaan lho, dimana es yang meleleh bisa membuat orang merugi ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Percaya atau nggak?”. 


“Kedengarannya menarik. Kenapa bisa begitu?”, tanyaku penasaran. Aku siap memesan Es Teh yang ketiga. 


Kampung Teluk Alulu (Sumber gambar: Photo: instagram.com/mhusniuuwn/)

“Di Kampung Teluk Alulu, di Pulau Maratua, Kabupaten Berau tempat kami ditugaskan beberapa bulan yang lalu. Es benar – benar tak tersedia. Akibatnya ikan cepat membusuk. Mestinya proses pengawetan ikan dengan menggunakan es dapat mempertahankan masa kesegaran ikan selama 12 - 18 hari. Ikan relatif tidak mengalami perubahan tekstur, rasa, dan bau.” 

Kecerdasannya keluar begitu saja. Nadanya sedikit berubah prihatin. 

“Ya, ampun, Ika. Kamu sudah sampai di sana saja. Dimana letak pulau itu?”. Aku Cuma bisa terkagum - kagum, mendengar sepak terjang Wanita serba bisa ini. 

“Propinsi Kalimantan Timur. Di lokasi terluar dari wilayah kita”, tegasnya. 

Aku mengangguk dan menggampangkan,“Tinggal timbun, beli dan buat Es Balok. Gampang toh?”. 

Tiba – tiba Ika tertawa. Ia dengan santai menjelaskan sesuatu yang bernada ironi, “Kendala terbesar dari masyarakat di sana adalah membeli es batu yang jarak kota terdekat yakni Kabupaten Berau hanya bisa ditempuh dengan memakai speedboat yang memakan waktu 4 jam lamanya untuk sekali pergi. Bolak balik bisa 8 jam. Menggunakan Kapal Nelayan biasa? Bisa memakan waktu 2 kali lipatnya. Bisa paham kan apa yang bakal terjadi dengan Es Balok itu?”.


(sumber gambar: http://go-perikanan.blogspot.com)

Aku terkesiap. “Lalu apa yang kalian lakukan?” 

“Kami bangun PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), untuk membuat mesin penghasil Es yang ramah lingkungan. Sehingga Kampung Teluk Alulu yang memiliki potensi kekayaan ikan yang melimpah itu dapat terselamatkan dengan pengawetan ikan yang sempurna”. 

sumber http://justintimelv.com

Aku bertepuktangan. 

“Hebat. Bukannya memanfaatkan Energi Surya itu merupakan pengembangan Energi yang terbarukan ya?”. 

Pembangunan Solar Panel di Kampung Teluk Alulu (Sumber dokumen: Ika)

Ika meneguk Minuman Taronya dengan lega. 

“Tuh, sudah mengerti. Baguslah bila anak muda zaman sekarang dengan kemajuan teknologi, masih ada yang tergerak untuk tahu apa itu Energi yang terbarukan. Kita seharusnya bersyukur hidup di Jakarta yang lengkap dengan fasilitas apa saja. Sedangkan di ujung pulau sana, banyak yang masih belum menikmati akses apapun. Bergeraklah langsung, gunakan ilmu untuk membantu orang lain”. 

Aku mengangguk sambil mengingat dengan ngeri bahwa suatu hari nanti Energi yang berasal dari fosil yang menghasilkan bahan bakar adalah salah satu energi yang tak bisa diperbarui. Semuanya akan habis, apalagi hasil pembakarannya akan menjadi asap yang merugikan umat manusia. 

Sumber gambar: http://blog.glacialenergy.com

Aku jadi sedikit termenung. 

“Tapi apalah arti Aku, Ika. Aku tak seperti kamu yang bisa menjelajah Indonesia sambil membangun dan mengeksplor Energi lain yang ramah lingkungan. Aku? Bisa apa?” 

Dia menepuk pundakku dengan lembut. 

“Masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan dunia ini, Raden Tjokro (ini panggilanku kalau lagi kita saling ledek). Mengurangi konsumsi sampah plastik, misalnya. Bisa kan? Dalam skala kecil, berbekal air minum menggunakan tumbler, belanja ke pasar membawa keranjang atau tas sendiri dari rumah. Bahkan membiasakan diri mematikan saklar listrik di rumah, kantor atau toilet umum itu upaya penghematan listrik negara lho!” 

Sumber gambar: http://www.hiloninsulation.com

Aku mengerti. 

“Yang penting konsisten. Cari pengetahuan bagaimana menghemat energi dan jangan lupa ubah gaya hidup menjadi ramah lingkungan serta bersama menyebarkan aksi ini di berbagai media sosial”. 

Ia menutup diskusi pendek ini dengan ramah ala kampanye. 

Aku memesan Es Tehku yang keempat. Pelayan kafe itu menyajikannya seraya menawarkan sedotan. 

Aku dengan tegas menolak. 

“Itu plastik,kan?. Kita harus menguranginya”. 

Kami tertawa. Ika berkesimpulan sambil menutup sore yang kian gelap itu, 

“Energi harus terbarukan, kita berteman jangan sampai ya?”. 

Aku tersenyum. 



Selalu ada ilmu baru setiap kali aku ketemu Ika. 

Terima kasih. 

Salam Budaya!





Komentar