Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Kisah Dedy Kecil - Kesumat


Dedy Kecil bertemu lagi dengan Mbah (Neneknya). Ia tak punya sebutan Mbah untuk Kakeknya karena persediaan Kakeknya telah habis jauh sebelum ia lahir. Begitu senangnya dia bertemu karena terlihat Mbah tidak begitu kejam dan cerewet akhir-akhir ini. Ia menimang cucunya itu di ruang tamu,

"Mbah punya duit. Mbah kasih kamu duit yo? Ojo dientek ke (Jangan dihabiskan). Ojo njajan wae. Yo?", kata Mbah Misinah.

"Inggih Mbah", kata Dedy Kecil menjilat. Menyenangkan hatinya.

Mbah terkekeh. Sederetan gigi emasnya yang tidak indah dan sebenarnya tidak enak dipandang mata bahkan malah membuatnya terlihat seram, terpampang dengan nyata. Mbah seperti petinju yang menggunakan pelindung gigi yang terbuat dari emas. 

Mbah Mis sayang pada Dedy Kecil, beliau juga senang kasih uang. Limapuluh ribu. Uang yang sangat banyak saat itu. Ia menciumi Dedy Kecil dengan gemas. Dedy Kecil pun tertawa geli.

Sayangnya Mbah harus pulang siang itu ke desa, Ia pergi dengan meninggalkan bau khas pakaiannya yang apak tapi menyenangkan. Meninggalkan Dedy Kecil yang sedang melamun sambil mengistirahatkan kakinya yang lemah di teras depan. Memandang tanpa arah.

Lalu untuk apa ya uang sebegitu banyaknya? Dedy Kecil berpikir keras. Apa enaknya sebagian jajan sebagian ditabung? Atau Beli Mainan? Gembot (Game & Watch)? Ah semua sudah punya. 

GemBot pertama Dedy Kecil
Sore kian berlalu. Tiba - tiba muncul ide cemerlang di benaknya yang mungil. Dedy Kecil berniat menghabiskan uangnya itu untuk beli buku. Ya, Buku tulis. Satu pak atau mungkin beberapa pak. Sehabisnya uangnya. 

Orang tua Dedy Kecil sebenarnya tergolong mampu. Mereka membiayai kelima anaknya dengan kebutuhan maksimal. Setiap ajaran baru Dedy Kecil beserta saudaranya akan mendapatkan jatah buku tulis baru yang sudah siap digelar di meja makan. Yang berbunga-bunga dan girly punya kakak dan adik perempuannya. Yang bergambar mobil pasti itu jatah kedua kakak laki-lakinya dan ia lebih memilih gambar kartun atau yang tanpa gambar alias polos. Dedy Kecil suka buku tulis yang tak bergambar. Kalau buku tulisnya disuruh Ibu Guru disampul dia tak rugi pamer. Tetap akan polos. 

Sekali lagi ide itu datang dengan alasan yang brilian. Bagaimana bila uang yang dikasih Mbah dibelikan untuk beli buku tulis polos saja?. Jadi nanti sewaktu ajaran baru, begitu ibunya terlanjur membelikan buku tulis bersampul kartun atau film, Dedy Kecil bakal melengkapinya juga dengan buku yang bermotif polos. 

Ah betapa menyenangkannya. Ide yang sangat tepat. Nanti kalau Ibu bertanya bagaimana Dedy Kecil bisa membeli buku itu. Ia baru akan membuka rahasia kalau uang itu adalah hasil pemberian Mbah. Uang itu utuh karena Dedy Kecil tidak menggunakannya untuk jajan atau main ding dong. Dedy Kecil membelikannya untuk sesuatu yang lebih berguna. 

Ding Dong
Buku Tulis. Dedy Kecil membelikannya untuk Buku Tulis

Hebat. Terbayang Ibunya akan tersenyum bangga dan memuji keputusannya. 

Ya. Dedy Kecil berniat bahwa malam ini, misi kecil ini harus tercapai. Harus berhasil.

Usai ngaji dan beberapa les yang melelahkan, Dedy Kecil berlari dengan cepat ke Toko Buku Handayani di seberang jalan Imam Syafii. Membeli dengan berani 3 Pak Buku Tulis yang masih berharga mahal karena memang belum waktunya ajaran baru. Dengan bangga ia membayar di kasir dan menoleh ke kanan dan ke kiri melihat orang lain di toko buku itu masih membawa anak-anaknya untuk membayar. 

Ia membayar sendiri. Duit duitnya sendiri. 

Hatinya membesar. Senyumnya lebar. Terdengar Dag dig dug jantungnya bersuara. Ini rahasia besar. Ini harus disembunyikan. 

Ia berlari pulang dengan perasaan yang membuncah. Tak hati-hati, Dedy Kecil tak melihat ada sekotak beton penutup trotoar yang agak goyah. Dedy Kecil tersandung. Bukunya melayang. Ia jatuh tersungkur. Dagu dan kakinya membentur jalanan. Kakinya memerah. Penuh luka. 

---

Malam itu Dedy Kecil demam. Luka-luka di lutut dan sebagian betisnya terasa nyut-nyutan. Ia merahasiakan kejadian ini pada siapapun. Tutup mulut. Ini rahasia. Apa yang ia lakukan sore tadi tak boleh diceritakan siapapun. Termasuk kecelakaan kecil itu.

Ia sesekali meringis merasakan pedih di bawah lutut. Mungkin benang-benang Fibrinogen sedang bersikeras menganyam jaringan kulitnya. 

Yang ia ingat hanya sedikit, orang-orang di sekitarnya tertawa menyaksikan ia jatuh terjerembab tadi sore. 

Tak ada yang ditabrak, tak ada yang nyenggol, tak ada lubang. Ia hanya terjatuh. Mungkin tersandung. Seorang bapak-bapak yang baik membantu mengembalikan 3 pak buku tulis yang untungnya masih utuh karena terbalut plastik dengan ketat. Ia menunjukkan wajah kasihan melihat Dedy Kecil terpincang dan meringis menahan luka. 

Rasa bangga ditambah luka jadinya impas. Nol. Malam itu berlalu tanpa ada sesuatu yang spesial. Dedy Kecil mimpi sesuatu tapi entah itu apa. 

---

Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. 

Astaga. 

Dedy Kecil terlambat bangun. Badannya basah akan demam semalam. Belum terasa sembuh benar. Tapi sebagian kakinya masih ngilu. Alasan apa yang harus dia sediakan kalau terlambat begini? 

Dedy Kecil telat berangkat sekolah. Ibu pasti akan ngomel sebentar lagi. Dedy Kecil berpikir keras dan memutar memori otaknya untuk menemukan alasan yang paling bagus dan masuk akal. Tiba - tiba munculah bayangan Pak Rosyid, salah satu gurunya, di kepalanya yang beberapa hari yang lalu memberi petuah ke murid-muridnya, 

“Anak-anak, kalau kalian merasa sakit, atau ada tanda-tanda mau sakit. Lebih baik istirahat di rumah saja ya. Sebentar lagi kita kan mau EBTANAS. Jangan sampai kesehatan kalian terganggu, lelah atau malah menulari temannya dengan penyakit flu, batuk, demam dan lain-lainnya. Kalau memang ada gejala itu, lebih baik nggak usah masuk sekolah, lebih baik ijin sakit saja.” 

Sebaiknya Dedy Kecil memilih alasan itu. Masuk akal

Ditemani sentuhan hangat mentari pagi menembus kamarnya, ia tertidur lagi dengan sedikit kelegaan. Ibu masuk dengan penuh ketegasan bak sedang Inspeksi Mendadak. Beliau ditemani mbak Jum, si pembantu yang dulu sejak Dedy Kecil memang bertugas mengasuhnya. 

“Kamu kenapa tidak masuk? Sakit, tah?”, ujar beliau memeriksa kepalanya dengan sigap. 


Badan Dedy Kecil sebenarnya sudah mendingin. Dedy Kecil menyesali kenapa Ibunya tidak lebih pagi masuk kamar dan masih bisa menemukan bukti-bukti bekas kemeriangannya

“Kamu tidak sakit. Badanmu, dahimu, nggak papa. Nggak panas.”, ujar beliau dengan nada kekhawatiran yang menurun. 

Mbak Jum menyunggingkan senyum meremehkan. 

“Tadi demam, Ibu. Bener”, bela Dedy Kecil. 

“Kamu jangan bohong ya, Ibu nggak suka punya anak suka bohong”, tukasnya bernada tinggi. 

Hampir saja ia membuka selimutnya ingin menunjukkan bekas luka jatuh kemaren sore. Tapi batal. Karena ini bagian dari misi dan tugas mulia, upaya untuk membanggakan ibunya. Satu-satunya jalan untuk mengantisipasinya adalah ia bercerita tentang Pak Rosyid yang menyuruh murid-muridnya untuk beristirahat saja jika terindikasi demam atau yang lain. 

Ibu ternyata tidak begitu peduli dengan alasan itu. 

“Ya sudah. Nanti lebih baik maem mie kuah, minum teh anget dan jangan lupa Decolgen. Minta sama mbak Jum.” 

Mbak Jum sedari tadi memasang mata tak percaya, sekarang malah mengernyitkan keningnya. Ia mencurigai sesuatu. Ibu hanya membelai rambutnya dan keluar berbarengan dengan mbak Jum yang tak sabar mengupdate hasil investigasinya ke Ibu. 

Fiuh. 

Ternyata sakit yang tidak benar-benar sakit itu memang membosankan. Dedy Kecil melirik ke setumpuk komik yang ia sewa dan belum selesai ia baca. Ada baiknya ia mengisi kekosongan waktunya dengan menghabiskan bacaan itu sambil menunggu mbak Jum membawa Mie Kuahnya. 

Selang beberapa menit, Mbak Jum datang ke kamarnya di lantai 2. Ia meletakkan Mie Kuah Ayam Bawang, segelas besar Teh Panas dan Decolgen di meja dekat tempat tidur. 

“Suwun,” kata Dedy Kecil. 

Mbak Jum yang memang jadi pembantu selama puluhan tahun itu tetap tinggal di kamar. Matanya menyelidik. 

Ngapain kamu?”. 

“Baca ini. Sayang kalau belum dibaca. Besok semua harus dikembalikan”, kata Dedy Kecil tanpa curiga. 

Mbak Jum tersenyum penuh kemenangan. 

Astaga. Akal busuk. Detak jantung Dedy Kecil tiba-tiba terpacu lebih cepat. Fitnah bakal terjadi. Mata Dedy Kecil melotot menyaksikan Mbak Jum berlari dengan senang menyampaikan sesuatu ke Ibunya. 

Ibu datang. Ekspresinya berubah. 

“Jadi kamu, nggak masuk sekolah biar bisa membaca komik setumpuk itu? Ha?”, ujarnya dengan penuh amarah. 

“Ya, Bu Lik (Mbak Jum memanggil Ibu dengan sebutan itu)", timpal mbak Jum. “Akal-akalan sakit. Uang jajannya selama ini ternyata ya, habis buat sewa komik”. 

Dedy Kecil terkaget-kaget dan membantah keras. 

“Tidak, Ibu. Aku benar-benar loro (sakit) kok. Lha semalaman saja meriang. Ini babras kabeh (terluka semua).” 

Dedy Kecil mau menangis. Ia tidak suka difitnah. Ia menyibakkan selimutnya dan memperlihatkan luka di lutut dan sekitar betisnya. Matanya memerah. Sakit, panas. Sesak napas. 

Ibu kaget. 

“Darimana kamu dapat luka ini? Kamu habis pergi kemana?”, Ibu jadi tambah panik dan semakin marah. 

“Dari ..”, kata Dedy Kecil tercekat. 

Sebelum Dedy Kecil menyelesaikan kata-katanya, mbak Jum dengan sadis menambahi lukanya dengan kucuran air jeruk. 

“Ya dari sewa komik, Bu Lik. Ia menghabiskan uangnya demi sewa komik. Tuh sampai setumpuk. Alasannya sampai sakit segala macam, nggak mau sekolah lah. Padahal tiduran sambil baca komik!”, katanya dengan culas dan nyinyir. 



Dedy Kecil mengeluarkan isak yang hampir tak terdengar. Tidak. Bukan begitu ceritanya. 

Ibu mengultimatum, 

“Kembalikan semua komik itu sekarang. Jam 10 dia sudah buka, kan, kiosnya? Atau ibu bakar semuanya komik-komik itu!”. Jarang Dedy Kecil melihat Ibunya membelalakkan matanya demikian lebar. Ia benar-benar murka karena merasa dibodohi putranya. 

Dedy Kecil menangis. Air matanya meleleh tapi tanpa rengekan. 

“Jangan ibu, jangan dibakar. Nanti kalau dibakar aku malah harus ngganteni (menggantikan) semuanya. Baik Ibu. Ya, Ibu. Ya. Tak balekno (ku kembalikan) sekarang.” 

Air matanya mengucur dengan deras. Mbak Jum keluar membututi Ibu dengan wajah penuh kepuasan. 

Dedy Kecil menutup matanya. Ia menangis sejenak. Meratapi lukanya yang makin terasa pedih. 

Hatinya lebih pedih. 

---

Bapak pemilik persewaan komik itu sebenarnya adalah seorang penjahit. Entah karena memang dari kecil ia hobby baca komik atau memang ia sengaja membeli semua komik itu sejak berusia muda hingga seluruh koleksinya sekarang memenuhi dan terjejal di salah satu sisi temboknya. 


Ia menangkap raut cemberut Dedy Kecil dari balik kaca bertuliskan Tailor, waktu ia akan melangkah masuk untuk menyelamatkan tumpukan komik dari amukan sasaran bakar Sang Ibu. 

"Kenapa?", tanya Pak Keriting itu menjengkelkan. 

Dedy Kecil menyerahkan setumpuk komik itu dengan pipinya yang bulat. Mirip orang sakit gigi. Ngambek. 

"Nggak sempat baca semuanya. Nggak akan sempat.", ujar Dedy Kecil ketus. 

Pak Keriting memeriksa tanggal pengembalian di balik salah satu komik. 

"Masih 2 hari lagi, kok", desaknya lebih menjengkelkan. 

"Nggak boleh baca, sama Ibu", gerutu Dedy Kecil. 

Pak Kriting itu meletakkan meteran baju yang sedari tadi tergantung di lehernya. Kalimat "Nggak Boleh Baca" itu sangat mengganggunya. 

"Nggak boleh baca komik? Ibu bilang begitu?", ia beringsut mendekat. 

Dedy Kecil mengangguk. Sedikit merasa keliru telah memberikan alasan itu. Ia hanya menenangkan hatinya dengan memandangi beberapa judul komik yang belum ia sewa.

"Kamu tahu kan? Baca komik itu juga penting? Ini kan sama dengan buku. Buku yang bergambar. Kamu tahu itu kan?". 

Kalimatnya telah memantik pengejawantahan komik secara mendalam dari empunya toko. Dedy Kecil mengangguk seperlunya sambil tetap berpikir. Asalkan orang ini tidak punya hobby dan keinginan memukul Dedy Kecil, pastilah ia adalah seorang bapak yang baik. Bapak yang baik bakal membela putranya. Bapak yang baik bakal tahu kalau komik itu adalah sebuah buku yang bergambar. 

"Ya kan? ", presentasi Pak Keriting berakhir dengan kata itu dan membuyarkan segala petatah petitih. 

Dedy Kecil menjawab dengan sopan, 

"Ya, Pak. Saya paham", jawabnya ngawur. Ia tak begitu mendengar apa yang tadi dibicarakan pak Kriting. Ia lebih bertanya-tanya, apa anak dari pak Kriting itu juga keriting seperti bapaknya. Atau malah kribo. Asyik kayaknya kalau punya Bapak dan Anak kompak dan punya tema khusus. 


Pintu depan terbuka dengan keras hingga menghantam tembok. Seorang anak, yang berambut keriting, masuk dengan kecemberutan level tingkat dewa. Dedy Kecil seperti mengenalnya. Anak itu adalah teman les Bahasa Inggrisnya tapi memang belum berkenalan. Mereka hanya kenal wajah. 

Bapak Keriting menoleh dan menyapa Anaknya yang juga Keriting, 

"Sudah makan, Nak?," nadanya berubah lembut. Suara seorang Bapak yang mengirim kode kasih sayang dengan sesuatu kalimat sederhana yang sangat membuat kebahagiaan dan nyaman di telinga kecilnya. 

Si Kriting itu menjawabnya dengan ngomel. 

"Apaan sih. Huuuh!", lanjutnya membuka pintu belakangnya dan membantingnya dengan suara yang melenguh. 

Bapak Keriting berdiri diam seribu masa menahan malu. 

Dedy Kecil yang tadinya sudah tenang dan merasa ada kebaikan di sekitarnya. Merasakan hal tersebut sebagai ketololan yang luar biasa. Punya Bapak dengan koleksi komik yang paling lengkap di seantero Jember adalah anugerah terindah yang seharusnya dirasakan oleh anak yang sadar komik di seluruh dunia ini. 

Dan anak keriting itu, dengan sok gantengnya, bilang Huh? Tidak menyadari  sama sekali akan keberuntungannya? Punya Bapaknya Juragan Komik yang baik hati dan tidak sombong? 

Hah! 

Dedy Kecil kembali terbakar api kemarahannya. Ia merasakan ada ketidakadilan di dunia ini. Dendam di dada kecilnya tersulut. Ingatan dia akan pukulan Bapaknya jadi terngiang lagi. Tidak di kepalanya, tapi di sekujur tubuhnya. 

Orang Jahat harus dikasih pelajaran! 

Ini dendam! 

Dedy Kecil tersengal tapi merasakan ada kepuasan. Ia akan melakukan sesuatu yang membuat orang kapok dan terbalaskan karena berbuat jahat pada orang lain. 

Mbak Jum. 

Tunggu pembalasanku! 

Sambil senyum, Dedy Kecil berpamitan pulang dari kios komik. Meninggalkan Bapak Keriting kembali mengukur dan menandai celana dengan kapur jahitnya. Masih malu dengan perlakuan anaknya kepada dirinya. 

Dedy Kecil berjalan kaki penuh harga diri. Penuh Percaya Diri. Penuh Kesumat. 

---

Apa yang Dedy Kecil rencanakan telah selesai dan terlaksana. Keesokan harinya, semuanya sudah siap dan tinggal menunggu hasilnya saja. Beberapa detik dari perhitungannya. Ia masuk lewat pintu samping. Ibu menjerit kecil. Terdengar suara kekeh tamu yang mentertawakan sesuatu. 

"Mbak Juuuuum!!!!", teriak Ibu memenuhi ruang tamu yang beraroma kesumat itu. 

Dedy Kecil menyeringai masuk ke ruang tengah. Dari arah dapur, Mbak Jum tergopoh-gopoh meninggalkan masakannya yang setengah jadi. 

"Inggih, Bu Lik?", Wajahnya menghitam khawatir. Jarang Ibu berteriak memanggil namanya. 

Ibu mengacungkan sesuatu berbahan kain ke atas, berwarna Merah Tua, menjuntai dan punya sepasang kantung. Ya, itu BeHa. 



"Beha siapa ini, nyantol di lukisan di ruang tamu. Punya siapa?? Ha?", jerit Ibu dengan menunjukkan rasa malu yang luar biasa. 

Mbak Jum melotot bercampur terkejut juga. 

"Ya Allah, Bu Lik, itu GADAHE KULO (punya saya)!". 

Dedy Kecil telah membalas dendam dengan sempurna. Ia sebenarnya telah merancang beberapa opsi yang cukup mengerikan untuk melakukan misinya kali ini. Tapi pilihan Beha ini yang sekiranya cukup masuk akal untuk dieksekusi. 

Pertama dia berencana akan meracuni masakan dengan sesuatu yang bisa bikin semua orang akan diare. Tapi dari kemarin Dedy Kecil belum bisa menemukan bahan yang cukup pedas atau bisa memualkan yang bisa dicampurkan ke dalam masakan. Alih - alih, Semua anggota keluarganya nantinya malah menderita, walaupun memang tertuduh utama pastilah adalah si tukang masak andalan keluarga, Mbak Jum. 

Dedy Kecil membatalkan opsi pertama ini karena takut efeknya berujung ke hal yang fatal, sampai ke rumah sakit misalnya atau apa. Nggak. Jangan yang itu. 

Opsi kedua sebagai pelampiasan kemarahannya. Dedy Kecil berencana memecahkan piring dan semua alat dapur yang bisa dibanting. Cuma ia juga nggak begitu setuju dengan gaya itu, karena terdengar seperti anak-anak yang tujuannya nggak jelas. Nggak berpola. Dan tetap ujung-ujungnya nanti Dedy Kecil akan rugi karena apa yang harus ia pakai untuk makan kalau piring-piring itu pecah semua. Skip. 

Yang paling masuk akal adalah ia berencana diam-diam masuk ke kamar mbak Jum. Membongkar dan mengeluarkan seluruh isi pakaian dan lain-lainya ke lantai dan tidak lupa menginjak-injaknya supaya kotor dan berantakan dimana-mana. Tidak terlalu kejam tapi pasti Mbak Jum akan mengerang penuh kejengkelan dan ujung-ujungnya menangis. 

Ide Beha itu muncul spontan saat Dedy Kecil mulai mengamburadulkan pakaiannya. Beha Merah Tua itu tersembul dan seakan memberi ide brilian baru sebagai salah satu cara yang efektif untuk mempermalukan Mbak Jum. Dedy Kecil tahu resikonya Ibunya bakal akan ikut malu, karena pasti beliau sedang menerima tamu pada jam segitu. 

Tapi Dedy Kecil sudah penuh tekat bulat. Mbak Jum harus jadi pihak yang menerima sakit hatinya. Soal Ibu itu urusan nanti, siapa tahu beliau akan memahami ini hanya sebagai ulah kenakalan anak-anak biasa. 

Dedy Kecil mendengus sambil memperbaiki tas yang ia sandang. Lebih baik ia duduk di meja makan. Penuh ketenangan, mengerjakan PR dan mendengarkan dengan kepuasan yang dingin, Ibu sedang menyemprot Mbak Jum dengan kosa kata penuh kata MALU

"Bikin Malu. MALU Ibu itu ada tamu tadi. Siapa yang menaruh ini ha?", tuding Ibu sambil terus melayangkan Beha itu ke udara. 

Isak Mbak Jum mulai terdengar. Suaranya mirip orang tercekik. 

"Lha, Sanes kulo (bukan saya), Bu Lik", ratap Mbak Jum mengharap belas kasihan. 

Balas dendam yang tepat. Ibu tak mengungkit siapapun bahkan ke Dedy Kecil karena bisa saja anak-anak yang lain di rumah ini melakukannya dengan motif yang sama yakni merasa jengkel dengan ulah Mbak Jum selama ini. 

Dedy Kecil hanya melihat dari sudut matanya. Menunggu sesuatu. 

"Ini penggaweane (ulah), Dedy, Bu Lik. Saya tahu itu. Yakiiiin. Ia dendam sama saya, Bu Lik. Saya tahu itu, ini pasti gara-gara dia yang dikasih uang 50 ribu sama Mbah kapan hari itu Bu Lik. Saya tahu itu. Yakiiiiin. Sumpah," cerocosnya sambil mengusap airmatanya. 

Sial. Apa lagi ini? 

Wajah ibu berubah drastis bagaikan seorang jaksa yang baru mendengar info baru dari saksi yang didesaknya. 

"Apa itu? Apa ini, Ded? Kamu dapat duit banyak dari Mbah? Mana duitnya? Buat apa?!?', Nada beliau masih marah. Mungkin marahnya lagi marathon.Terus menerus. 

Dedy Kecil berputar. Pensilnya yang ia gunakan belajar dan menulis terjatuh dan ia cukup gugup memungutnya, menggenggam dan mencoba menjelaskan dengan ketenangan yang gagal. Suaranya tetap bergetar. 

"Ya, Bu. Saya dapat dari Mbah, segitu. Sudah habis, Ibu. Sudah saya beli ...", suaranya terpotong. 

"Habis? HABIS BUAT APA uang segitu banyak?", selidik Ibu terheran-heran. 

Baru Dedy Kecil mau menjelaskan visi dan misi mulianya, mbak Jum seperti Maling Jemuran, menyambar seenaknya alasan pentingnya. 

"Buat main Ding Dong (game), Bu Lik. Habis. Kemaren yang malam-malam Dedy dapat luka di kakinya itu. Memang dia pergi ke mana? Dari mana coba?. Ya ke Ding Dong! di tempat Ding Dong paling besar itu, yang dulunya bekas tempat SDSB sana itu lho. Bu Lik. Sudah itu, sisa uangnya besoknya dia buat untuk sewa komik. Terus begitu, setiap hari, saban sore, perginya Ding Dong. Habis duitnya. Saya tahu itu, Bu Lik. Yakiiiin.", Mbak Jum mengarang dengan sangat indah. 

Ibu terdiam makin marah. Ia benci kalau Dedy Kecil mulai main Ding Dong. Hal yang paling tidak berguna yang pernah dilakukan anak kecil. Yang kedua adalah membaca komik. Hal yang sia - sia di hidup ini, kata beliau suatu hari pernah memberikan wejangan. 

"Bohong Ibu. Nggak. Saya nggak menghabiskan uang itu. Ya tadi, ya kemaren saya mampir ke sana, tapi uangnya ...", bela Dedy Kecil mau membeberkan alibi sebenarnya. 

"Astagfirullah Hal Adzim. Jadi benar kamu itu pergi ke Ding Dong saban habis les, tiap sore? Ha? Ngaku! Ha!", bentak ibu dengan volume suaranya yang naik 150 persen. 

Dedy Kecil yang jantungnya lemah. Kaget. Terdesak dan malah terisak. 

"Nggak Ibu. Enggak. Uang itu saya beliin buku, Ibu. Buku tulis.", matanya memerah. Ia sekali lagi selalu akan merasa sedih bila Ibunya menuduh tidak-tidak. "Buku tulis, Ibu. 3 Pak. Biar nanti Ibu nggak usah repot, Ibu harus belikan buku-buku kalau lagi ajaran baru. Biar Ibu senang. Biar Ibu gak repot. Biar uangnya berguna. Biar ibu gak bingung-bingung beli buat Saya dan bisa buat beli untuk yang lain. Enggak Ibu. Saya nggak bohong!". Matanya makin memanas. 

Ibu, sayangnya, ternyata tidak percaya. Ia malah menoleh ke Mbak Jum seakan yang ia paling percayai sekarang itu adalah seorang pembantu daripada putra kelimanya yang sebenarnya tak pernah dan paling benci berbohong. 

Mbak Jum posisinya ada di awang-awang. 

"Bohong, Bu Lik. Mana buktinya. Ya ngakunya begitu tapi tetap saja dia main Ding Dong. Nggak sinau (belajar). Maiiiiin saja kerjaannya. Makin bodo. Makanya pelajarannya makin gak bagus. Nilai-nilainya turun semua. Makin males. Alasannya sakit, biar pura-pura tidur. Kalau nggak ada orang, eh baca komik. Terus ternyata sorenya tetap saja nyolong-nyolong. Main Ding Dong. Habis sudah uangnya. Lagian tahun ajaran kan masih lama. Ngapain beli buku, buku tulis lagi. Gunanya buat apa? Nggak ada gunanya, kan? Bohong itu Bu Lik. Paling ya, habisnya buat Ding Dong itu. Habis. Bis. Itu yang terjadi Bu Lik. Saya tahu itu. Yakiiiiin". 

Dedy Kecil menangis. Tak bersuara. Airmatanya jatuh menggenangi lantai. Ia lemah. Keinginannya untuk lari dan mengambil bukti 3 pak buku yang tersimpan rapi di almari kantor bapak jadi batal. Kakinya terasa lemah. 

Ibu menatapnya dengan sadis. 

"Bikin malu. Main Ding Dong. Pura-pura sakit. Bolos. Baca Komik. Taruh BeHa di ruang tamu. Malu Ibu itu sama kamu. MALU!!", bentak Ibu. 

Dedy Kecil berantakan. Hancur hatinya. Ia menggengam erat pensil 2Bnya yang juga basah karena air matanya mengalir lewat lengannya. Ibunya sudah mencap dia Pembohong. Parah. 

Mbak Jum sangat puas. Ia bahkan belum sebegitu puas. 

"Dan itu 50 ribu lho, Bu Lik. LIMA PULUH RIBU!!!," suaranya dibuat lebih meninggi. 

Dedy Kecil tak bisa berkata apapun. Ia hanya menunduk dan memungut pensilnya yang terjatuh. Tidak berani menatap ibunya. Pasti nanti dia dihukum sama Bapak lagi. Pasti dipukul lagi. 

Ibu hanya mendesah kesal jengkel tiada habisnya dan membalikkan badan meninggalkan ruangan tengah dengan hati penuh dengan kekecewaan. 

Dedy Kecil dengan spontan dan amarah luar biasa berbalik ke arah mbak Jum. Menarik tangannya yang hitam. Membalikkan telapak tangan si tukang masak itu, dan menancapkan pensil 2B yang lancip itu ke daerah bawah ibu jarinya. 



Mbak Jum berteriak melolong kesakitan. Pensil 2B itu menancap di tangan si Tukang hasut itu. Darah muncrat. Ia menangis dengan keras. Sejadinya.

Dendamnya telah habis.

Kenangan di Jalan Kenanga
Akhir tahun 1987

Komentar