Fasilitas pendukung juga dilengkapi agar pengunjung bisa menikmati jajanan dengan santai dan tak bingung mencari yang ia perlukan. Seperti Papan Petunjuk yang jelas.
Air Putih Gratis
Okay, dengan sensasi mirip di Jakarta (hanya bermodal 100 ribu) Saya harus adil dan tepat dengan apa yang bakal Saya pilih. Ternyata pilihan tidak begitu banyak, pilihan Saya (dianjurkan oleh mas Arie) ternyata membuat Saya sangat tidak menyesal karena memilihnya. Rasanya memang memukau.
Inilah Rawon khas Makassar karena arti Kaloa sebenarnya adalah Kluwek dalam bahasa Jawa. Rasanya tetap masam, segar. Ikannya dipilh kelapanya begitu besar, hingga Saya sering sepeti merasa makan daging yang empuk dan berlemak. Hadeeeuh.
Bisa dibayangkan nggak sih, gurih, masam, segar dicocol dengan sambal, dihisap aaaah.
Okay-okay
Ternyata waktu di FJB 2018 juga tak terlalu banyak. Pas Jam 1 siang kami harus kabur dan menuju ke tempat kuliner selanjutnya.
Wah kali ini benar - benar dimanja ras. Campuran Sop yang ringan berpadu antara Lidah, Ati, dan Paru. Waaah waah wah. Rasanya sedap. Kuahnya juga pas.
Apalagi disantap dengan sambal, jeruk, kecap dan ditemani oleh perkedel.
Kenyang dengan apa yang disantap. Saatnya "Penyeimbang Rasa", Saya dan teman - teman mengincar yang manis - manis. Dengan langkah yang agak gontai, kami berjalan kaki (untuk sedikit membakar energi) mencari Es Pisang Ijo. Sekitar 300 meter dari tempat Sop Lidah Bulukunyi tadi.
Disinilah kami menikmat enaknya (kabarnya adalah yang paling enak) Es Pisang Ijo andalan mereka.
Ternyata benar, ini Es Pisang Ijo yang terenak yang pernah Saya rasakan. Pisangnya nikmat, pembungkus hijaunya lunak dan tidak begitu tebal, rasa sirupnya tak terlalu manis dan bubur putihnya (apa ya namanya) juga tidak mengganggu rasa keseluruhan.
Disini juga akhirnya telah terjawab, pertanyaan pagi tadi, sebenarnya di Makassar tak dikenal namanya pastel. Mereka mengenal Panada dan Jalankote, apa bedanya, terlihat dan dirasakan dari bahan yang membungkusnya, Panada yang membungkusnya berbahan roti sedangkan kalau Jalankote dari kulit tepung saja.
Deal.
Berarti Jalankote itu pastel ya? (Eh, bener nggak sih)
Perjalanan ke Rumah Makan Muda Mudi ini juga harus kami akhiri karena kita terjadwal untuk melesat ke tempat berikutnya. Tapi karena melewati salah satu Icon Makassar yakni Fort Rotterdam (Benteng Ujung Pandang), kami pamit sebentar, sekitar setengah jam untuk mengasah kemampuan kami untuk menjadi foto model. Kerennya, Makassar Next Top Model.
Ini hasil jepretannya.
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.
Okay, sesekali kaki dan perut memang perlu stretching hahaha alias pemanasan karena perjalanan kita belum berakhir.
Kita mampir ke Soto ini. Berdiri sejak tahun 1987 soto ini dikenal karena kuahnya berbahan dasar air tajin dan ketupatnya yang khas karena dibungkus dengan daun pandan yang berakibat ketupatnya wangi dan segar.
Ketupat yang bentuknya lebih keras dan bertekstur bagus karena terbungkus pandan. Rasa Sotonya sendiri jadi lain, karena tajin yang menjadi kuahnya menjadikan rasanya unik dan tersendiri.
Sepertinya perut Saya sudah mulai memberontak. Waduh ...
Menjelang sore kami cuma ingin duduk, baca tarot nyemil manis dan menikmati jajan atau kue yang menjadi penyeimbang rasa. Sebelum kami balik ke hotel dan istirahat sebentar kami nongkrong dulu di Coffeholic.
Kami akhirnya dengan cukup lelah kembali ke hotel dan beristirahat sejenak. Malam nanti kami melanjutkan ke Jelajah Kuliner Makassar yang berikutnya. Kemanakah itu?
Tepat jam 8 malam kami lagi - lagi berangkat dengan satu tim untuk menyusuri Makassar. Menggerayangi kulinernya.
Terletak di Jalan Diponegoro 95. Rumah Makan dan Seaafod Apong telah siap menjadi korban selanjutnya. Kami malam itu, dijamu dengan sajian yang, jujur, tak kan pernah Saya lupakan.
Ikan yang disajikan langsung dipilih dan tergolong masih fresh atau segar karena masih tergolong dekat dengan pantai jadi bisa langsung dikirim dari jarak dekat.
Lalu apakah yang disajikan yang membuat Saya begitu bersyukur. Karena memang sajiannya mewah dan enak - enak.
Inilah juara rasa malam ini. Ikan Sunu (atau kadang dikenal dengan ikan Kerapu) yang diramu manis asam pedas. Ya ampun, gak rela aku, tidak menghabiskan hahahah. Astaga.
Terakhir kami mencicipi menu yang dianggap sebagai aksesoris atau camilan.
Nah pemirsa, Saya sih sampai pada kesimpulan terakhir malam ini. Kekayaan laut kita, seperti apa kata Ibu Susi, sebenarnya adalah potensi yang sangat bermutu dan mahal. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal di pantai. Mereka adalah kaum nelayan, penjual sekaligus penikmat pertama yang ada di lautan kita.
Kebanyakan memang Menu Makassar bermain di gurih, pedas dan selalu ada asam yang bisa berarti dari Asam atau pun dari Jeruk. Bahkan Mas Arie bilang satu - satunya Nasi Goreng yang dicampur jeruk ada di Makassar, dengan guyonan dia bilang, bila kita pesan Es Teh yang didapat selalu Es Lemon Tea.
Hehehe ...
So far, kami, yang memperkenalkan diri sebagai Pasukan Gagal Diet sudah mengalami hal yang sangat luar biasa di hari kedua ini. Ah apa lagi yang perlu kami sampaikan selain bersyukur.
Alhamdulillah.
Saatnya pulang ke hotel. Bermimpi lagi. Membayangkan apa yang terjadi besok di hari ketiga, okay?
Bye for now.
Komentar
Posting Komentar