MERESENSI DAN MENSINOPSIS FILM ALA SAYA

Film "22 Menit" - Refleksi Bersyukur Rakyat Indonesia



Salam Budaya!

Jakarta telah lama jadi pusat perhatian bagi negara kita ini. Apapun rona kehidupan yang ada di dalamnya mewarnai bagian kota lain di Indonesia. Merah Birunya jalan di Jakarta, Kuning Ungunya Penduduknya tak luput selalu menjadi cerita yang menarik bagi kita semua. Sebuah kota Metropolitan yang bagai kunang - kunang menyala penuh cahaya cantik, mempesona siapa saja yang melihatnya.

Ingatan kita ditepuk untuk kembali ke 14 Januari 2016, tragedi Bom di Thamrin yang meledak di Starbucks dan menelan 21 korban, delapan di antaranya meninggal dunia. Bukanlah sebuah warna yang baik untuk dikenang. Hitam dan kelam. Tapi Sutradara Eugene Panji dan Myrna Paramita dari Buttonijo Films dan Bank Rakyat Indonesia mencoba membuat inspirasinya menjadi film bernama "22 Menit".

Buttonijo Films adalah perusahaan produksi dan distribusi film alternatif yang dirintis oleh Amir Pohan dan Myrna Paramita di tahun 2010. Buttonijo bertujuan untuk menghadirkan opsi alternatif bagi pembuat film hingga tak selalu bergantung pada bioskop dan festival dalam proses pendistribusian film mereka. Salah satu terobosan bentuk distribusi film telah dilakukan oleh Buttonijo adalah penyebaran USB Sinema yang terproteksi demi menjangkau wilayah terpencil Indonesia yang belum memiliki bioskop. Selain itu, Buttonijo juga membantu pekerja film Indonesia untuk membiayai produksi filmnya. Beberapa film yang sudah mendapat dukungan pendanaan dari Buttonijo adalah “Rocket Rain” (Anggun Priambodo) dan “Another Trip to the Moon” (Ismail Basbeth) yang berhasil mendapatkan nominasi di berbagai festival film mancanegara. Pada tahun 2016, Buttonijo memproduksi tiga episode televisi “TV Crime Investigation Channel Asia: Indonesia's Special” yang mengangkat keberhasilan Kepolisian Republik Indonesia dalam memecahkan berbagai kasus. Serial ini ditayangkan di 13 negara.



Film ini mencoba ini mengangkat tentang keberanian warga ibukota dan kesigapan aparat kepolisian dalam mengatasi serangan teroris yang terjadi di kawasan Thamrin saat itu.

Dengan gaya bertutur Hyperlink Cinema, dimana tokoh - tokoh atau rangkaian peristiwa akan perlahan - lahan menjadi satu kesatuan seperti puzzle atau jigsaw. Film berdurasi 75 menit ini menampilkan sosok Ario Bayu yang berperan sebagai Ardi, anggota pasukan anti terorisme kepolisian yang mempertaruhkan nyawanya demi mengamankan ibukota dari ledakan bom tersebut. Berkat kesigapan tim dan juga bantuan dari seorang polisi lalu lintas bernama Firman (Ade Firman Hakim), pelaku serangan bom bisa diamankan dalam hanya dalam waktu 22 menit. 

Ario Bayu (dari Tirto.id)

Ario Bayu sebagai Ardi

Peristiwa berakhir dengan singkat, tapi insiden mematikan tersebut mengubah hidup orang banyak untuk selamanya. Selain cerita tentang Ardi dan Firman, “22 Menit” juga menghadirkan sudut pandang mereka yang ikut terjebak di dalam situasi mencekam. Beberapa di antaranya adalah office boy bernama Anas (Ence Bagus), dua karyawati bernama Dessy (Ardina Rasti) dan Mitha (Hana Malasan), serta Shinta (Taskya Namya) yang merupakan kekasih Firman.

Dibantu penulisan naskahnya oleh Husein M Atmojo dan Gunawan Raharja, sekali lagi ditegaskan oleh Eugene bahwa film ini bukan rekonstruksi atau dokumenter dari kejadian tersebut.

“Kami mendramatisir beberapa bagian dari peristiwa bom Thamrin untuk keperluan bercerita lewat medium film. Kami berniat menyuguhkan sajian teknologi canggih ke layar lebar,” sahut Eugene. 

Keterlibatan unsur drama juga masih ada. Penempatan beberapa tokoh utama memang disediakan agar para penonton terjaga dan tetap punya keterlibatan emosional dengan para korban. Selebihnya ini merupakan film Indonesia bergenre action yang keren dan kolosal.

Fanny Fadillah sebagai Hasan yang terhenyak menerima kenyataan pahit yang terjadi

Dengan balutan action dan kesungguhan riset serta latihan, film ini layak puji karena memang penuh baku tembak dan kesiapan Polisi kita dalam menangani kejadian luar biasa seperti Teroris, misalnya.

Menurut Myrna yang telah melakukan penelitian di Kepolisian Republik Indonesia selama setahun sebelum produksi dimulai, pihak Buttonijo rajin berkonsultasi dengan aparat demi akurasi adegan. Sejumlah aktor yang terlibat adegan baku tembak diwajibkan untuk mengikuti boot camp agar bisa tampil meyakinkan. Bahkan, Buttonijo juga membangun maket kedai kopi dan pos polisi dalam ukuran nyata 1:1 untuk diledakkan secara sungguhan.

Mathias Muchus sebagai Bapak Jenderal Tito Karnavian saat masih menjabat Kapolda Metro Jaya 

Ade Firman Hakim yang tengah mengurusi tilang Ardina Rasti

“Kami menggunakan CGI untuk banyak adegan action di '22 Menit.' Contohnya, adegan baku tembak antara polisi dan teroris. Lalu, karena ledakan kedai kopi dan pos polisinya beneran, kami juga harus pakai green screen untuk menggambarkan situasi Thamrin saat itu,” Myrna menjelaskan.

dengan Ade Firman Hakim


Bank Rakyat Indonesia juga ikut menyatakan dukungannya terhadap film “22 Menit” sebagai karya anak bangsa yang patut diapresiasi.

Salah satu sumbangsih BRI kepada para media dan penonton premiere.


“Bank Rakyat Indonesia turut senang dan bangga dapat menjadi bagian dari film '22 Menit' yang tidak hanya menghadirkan kualitas hiburan yang menjanjikan dan bertutur secara jujur, tetapi juga menunjukkan secara nyata kualitas teknologi dan pasukan yang dimiliki Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan bangsa ini. Hal tersebut secara psikologis mampu memberikan ketenangan tersendiri kepada masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa film ’22 Menit’ memiliki pesan positif terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di tengah maraknya paham radikalisme dan terorisme yang tumbuh cukup subur di tengah-tengah kita.  Bank Rakyat Indonesia sebagai bank yang berkembang dan menjadi besar di Tanah Air ini merasa terpanggil untuk berperan aktif bersama pemerintah dalam memerangi bibit radikalisme dan terorisme tersebut salah satunya melalui medium film yang digarap secara jujur dan tidak menggurui, sehingga mudah diterima oleh masyarakat  sekaligus menunjukkan dukungan kami terhadap perkembangan industri film nasional,” sahut Sis Apik Wijayanto, selaku Direktur Hubungan Kelembagaan Bank Rakyat Indonesia.

Lexy Mere selaku produser menyatakan harapannya agar film “22 Menit” bisa menjadi pembelajaran untuk bangsa Indonesia agar senantiasa waspada dan bahu-membahu meredamkan jaringan terorisme di negeri tercinta.



“Kami berharap film ini bisa menjadi pembelajaran soal anti terorisme di Indonesia. Kita sebagai warga sipil juga bisa punya andil untuk membantu tugas mereka dengan cara waspada dan senantiasa berani melapor,” Lexy menjelaskan. 



Untuk urusan musik, Buttonijo mengandalkan komposer Andi Rianto yang hasil karyanya sudah tidak diragukan lagi. Andi mengatakan gembira bisa bergabung dengan tim kreatif “22 Menit.”

“Menurut saya, jalan cerita '22 Menit' sangat menarik dan adegannya sangat bercerita. Apalagi adegan-adegan action-nya. Saya berharap sentuhan scoring yang saya buat mampu menghadirkan sisi emosional dari film ini,”

Hiruk pikuk ibukota yang menjadi sorotan dalam film “22 Menit” juga ikut tergambar melalui alunan lagu “Jakarta” yang dibawakan secara syahdu oleh Semenjana. Menurut Satrio Pinandito dari Semenjana, lagu yang diambil dari album mereka yang berjudul “Kalimatera” ini diciptakan sebagai wujud rasa sayang terhadap kota yang telah membesarkan mereka.


“Lagu ini kami tujukan untuk mereka yang seringkali merasa benci tapi rindu dan sayang kepada ibukota kita, Jakarta. Kami semua besar dan mengalami hidup di kota ini dan banyak peristiwa yang terjadi di dalamnya. Segala rasa manis, asam dan asin kami tuangkan ke dalam lirik dan alunan lagu yang damai ini,” jelas Satrio.

Semenjana Band (Dari http://www.mahamerulambar.com)

Bagaimanakah penilaian Saya tentang film ini? 

Masalah akting, cerita, plot dan penggarapan menurut Saya sudah berkategori lumayan. Meski penekanan drama seharusnya bisa diungkapkan lebih kompleks, sehingga penonton bisa terbawa suasana. Karena memang salah satu tantangan film yang tergolong "Disaster Movie" adalah sebuat genre yang harus selalu membiarkan penonton mengalami apa yang dinamakan menyatu dengan para korban secara emosional sehingga begitu mereka menjadi sasaran baik terluka atau terbunuh, kita akan merasakan pedihnya suatu tragedi.

Tapi overall, Film Indonesia sudah demikian majunya. Apik, penata kameranya bagus, ilustrasi musik oleh mas Andi Riyanto sangat 'mencuat' sehingga sempat membuat Saya bertanya - tanya siapa sih ini yang bikin musik, sangat membangun dan mendukung film banget. 

Terakhir, di waktu Jumpa Pers ada suatu kalimat yang membuat Saya tersadar, betapa kita itu berterimakasih pada Bapak - Bapak Polisi dan segala jajarannya yang telah menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun film ini dinyatakan bukan sebagai Propaganda Polisi. Kita sebagai rakyat harus membuat film ini sebagai refleksi rasa bersyukur. Bahwa memang benar adanya, kalau kita masih bisa selfie, ngopi dan bertemu teman - teman kita di sepanjang perjalanan di Jakarta atau kota lain dan ternyata rasa aman itu masih ada berarti Polisi telah sangat berbuat banyak dalam diam dan gerak yang tak semua orang perlu tahu.

Terima kasih.

Yuk tonton film ini, dimulai hari ini 19 Juli 2018. Mari kita dukung segala kegiatan positif dan karya anak bangsa. Tragedi bukan untuk ditangisi tapi untuk menjadi suatu peringatan agar kita tetap waspada.

Salam Budaya!

Komentar