- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Empat atau lima tahun telah berlalu. Ingatan itu masih samar - samar. Dedy Kecil menandai hari itu adalah hari yang cerah dimana Mas Anton dan Santos tiba - tiba berkunjung ke rumah. Bertamu. Mereka adalah dua anak rupawan yang mengenakan bajunya bagus namun terkesan lusuh. Dedy Kecil dengan sopan mempersilakan mereka masuk. Mereka duduk dan terlihat kaku karena sedang membawa sesuatu dipeluk.
"Kami ingin bertemu, Ibu. Ada pesan dari Mama yang harus kami sampaikan", Mas Anton membuka percakapan dengan kaku tapi terdengar nada khawatir di suaranya. Dedy Kecil membuang jauh prasangka dan menuruti perintah segera memanggil Ibu yang masih berkutat di dapur.
Beliau datang dengan tergopoh - gopoh dan dengan gugup membersihkan tangannya berkali - kali dengan menggosokkannya di celemek karena akan bersalaman dengan tamu - tamunya yang cakap. Dua putra bekas tetangganya yang sesekali ia dengar, keluarganya makin sukses dan kaya.
Kedua anak itu mencium tangan Ibu dengan hormat. Dedy Kecil dengan penasaran duduk mendampinginya.
"Ono opo, to? Tumben datang kemari?, "tanya Ibu dengan semangat dan bergembira. "Bapak dan Ibu sehat?". Ia sedikit menyentak lengan Dedy Kecil mengingatkan untuk segera menyuguhkan mereka minuman.
Kedua kakak beradik itu saling berpandangan. Wajah mereka memelas dan kemudian tersenyum sambil perlahan berkata, "Ini, Bu Lik. Ada titipan dari Mama." Mereka mengeluarkan sesuatu yang terbungkus kain rajutan putih yang agak kumal warnanya.
Ibu hampir saja bilang 'Repot-repot' tapi segera terhenti sesaat setelah membukanya. Isinya jelas ada 2 barang. Satu patung dan satunya adalah buku tebal dan besar. Salah satu ensiklopedia terbitan LIFE yang tak semua orang punya karena memang mahal dan biasa terpampang di rak buku orang - orang kaya.
Ibu menggeleng tak paham.
Mas Anton mewakili menjelaskannya, "Ada pesan dari Mama. Barang - barang ini harus pulang dalam keadaan berbentuk uang. Berapapun itu. Terserah Bu Lik."
Ibu terhenyak sebentar, "Untuk apa?"
Mas Anton memberanikan diri melanjutkan, "Untuk makan".
Kami terdiam semua. Kaku. Tak bicara. Senyap. Ibu segera beranjak dari duduknya dan membungkus kembali barang - barang itu. "Kami belum butuh taplak untuk penutup tivi atau patung atau buku." Beliau berlari dengan kencang dan kembali dengan membawa periuk nasi yang masih panas mengepul yang ia tutupi dengan serbet.
"Ini. Bawa pulang. Dan ini untuk beli lauknya. Besok kalau kalian butuh lagi datanglah lebih pagi", ujar Ibu dengan suara bergetar memberikan beberapa lembar uang.
Mas Anton seperti mau mewek. "Mama pasti marah. Dia tidak bakalan mau barang - barang ini kembali utuh. Kami tidak minta - minta. Kami menjual barang - barang ini".
Dedy Kecil menahan air matanya.
"Mamamu tak bakal marah. Saya yang marah kalau begini caranya. Sudah kalian pulang. Ini urusan Mamamu dan Saya. Tolong sampaikan padanya", ucap Ibu dengan tegas tapi anehnya tetap bernada mengayomi tanpa memaksa atau menakuti.
Kedua anak itu pulang. Dedy Kecil memeluk Ibunya.
Peristiwa itu membekas di bayangan Dedy Kecil. Kabar terdahulu menyebutkan bahwa setelah mereka pindah rumah dan menikmati kekayaan selama beberapa tahun saja. Keadaan menurun drastis. Oom Huddin jadi semakin jarang pulang. Entah memang karena kerjaan atau memang telah berbuat agak melenceng hingga diputus pekerjaannya. Yang jelas beberapa bulan kemudian dia pulang dengan tangan hampa dan sakit - sakitan. Pendapatan mereka jelas berkurang jauh, dan Tante Susi harus mulai menjual apa saja yang mereka punya. Untuk makan.
Beberapa bulan kemudian Tante Susi datang ke rumah. Beliau dan Ibu berbasa basi kecil, saling merangkul dan bersama - sama masuk ke ruang tengah. Tante Susi dengan kacamatanya yang besar tapi kini penampilannya lebih sederhana, malah lebih elok. Sebenarnya dia adalah wanita yang cantik tapi tertutup dengan make up nya yang terlalu tebal.
Dedy Kecil tengah belajar PSPB dan kakak - kakaknya memandang dengan polos padanya sesaat mereka masuk ke ruang tengah. Ibu membuka dengan lembut, "Beberapa bulan ini, Tante Susi tinggal di sini ya. Beliau mau kerja untuk sementara. Dia anggota keluarga kita sekarang. Jadi jangan lupa berbagi".
Anak - anak tersenyum. Tante Susi tak mampu menyembunyikan kegelisahan di balasan senyumnya yang terpaksa. Mungkin terharu tapi masih ingin terlihat baik - baik saja. Sesuatu sepertinya berubah di matanya. Dia hanya bisa tersenyum.
___
Usai makan malam, semua tengah sibuk dengan aktivitasnya di Ruang Tengah. Tante Susi benar - benar menjaga kelakuannya. Apa yang di pikiran Dedy Kecil beberapa tahun yang lalu tak tergambarkan sama sekali. Dia tidak sombong. Tidak bernada tinggi dan dengan sopan selalu minta ijin walau hanya mengambil nasi di meja makan serta dengan manisnya selalu bertanya pada Dedy Kecil ada kesulitan apa pelajaran hari ini di sekolah.
Tante Susi (mungkin) memang begitu aslinya. Ia duduk dengan anggun. Seperti tengah menjahit sesuatu. Dengan kacamatabacanya yang besar ia tampak lebih teliti mengkaitkan sesuatu mirip pita kecil ke kain berwarna biru. Seperti apa ya itu. Celana dalam?
Semacam pertanyaan tidak sopan yang terlontar. Tante Susi tertawa kecil dan melempar pandangan ke Ibu seakan minta izin padanya untuk menerangkan ke seisi ruangan.
"Tante Suci sekarang bekerja. Di Pabrik Celana Dalam. Letaknya 2 kilometer dari sini. Pekerjaannya sederhana. Cuma harus menyematkan dan menjahit pita kecil ini ke bagian depan celana dalam ini. Lumayan gampang tapi ya harus cermat. Pitanya kecil, hanya sebagai penghias".
Dedy Kecil dan saudaranya terdiam.
"Sebenarnya ini pekerjaan ya harus dilakukan dan diselesaikan di sana. Masuk pagi jam 9 selesai jam 4 sore. Tapi karena ini dihitung berdasarkan banyaknya celana dalam yang sudah terpasang pita. Tante maunya meneruskan ini di rumah, kalau malam. Paling selesai sebelum mengantuk sebelum tidur. Lumayan besok bisa menambah setoran".
Dedy Kecil tak kuasa bertanya, "Pabriknya dimana sih? Tante naik apa ke sana?".
Tante Susi mendesah sejenak, "Tante jalan kaki. Lumayan untuk kesehatan. Sejam untuk ke sana dan butuh sejam untuk pulang. Bayaran Tante tidak cukup kalau dibuat naik angkot."
"Memang berapa bayaran Tante?", tanya Dedy Kecil sedikit lancang. Ibu me-sssst-nya. Tante Susi malah tertawa. "Sekali pasang pita ini dihitung dua ribu rupiah. Nggak papa, Jeung. Memang segitu kenyataannya. Lumayan kan kalau untuk makan sehari - hari?".
___
Malam itu Dedy Kecil mimpi buruk. Perasaan bersalahnya selama ini tentang Tante Susi menghantuinya. Seberapa burukkah ia selama ini menilai Tante Susi dan sekeluarganya dengan sebutan Pongah. Atau jangan - jangan mereka sudah berlaku apa adanya dan biasa - biasa saja. Apa bedanya dengan dirinya saat ini. Bapak dan Ibu sudah mulai menunjukkan tanda - tanda mampu secara finansial. Ia juga sudah terbiasa menikmati televisi dan selangkah lagi video yang ia dambakan juga akan tercapai. Kalau itu kemudian ia tunjukkan ke tetangganya yang kurang mampu. Apakah itu berarti ia sombong? Sebegitu mudahkah ia menyandangkan kata PONGAH ke orang lain?
Mimpi buruknya bergelombang bagai hatinya yang berkecamuk. Tapi apa perlu ia yang minta maaf? Untuk apa? Atas apa?
Hatinya gelisah. Serba salah. Kondisi Tante Susi tidak seperti dulu lagi.
___
Malam itu semuanya berkumpul di ruang tengah lagi. Ini sudah bulan ke dua, Tante Susi berada di rumah. Dia sedang asyik memasang pita - pita itu dengan cermat. Ibu sedang mengajari Dedy Kecil perkalian ratusan. Dedy Kecil mengeluh. Perkalian itu begitu susah. Otaknya seakan tak mampu menyimpan beberapa angka yang harus ditahan terlebih dahulu untuk nanti ditambahkan.
"Ibu ini susah. Ini yang bikin nilai matematikaku jeblok. Aku kok bodoh,ya?"
Konsentrasi Tante Susi buyar. Ia mengamati gerak mereka.
Ibu membelalakkan matanya. "Siapa suruh kamu menjadi yang terbaik selalu, siapa yang menyuruh kamu untuk selalu menjadi juara?". Beliau jongkok sambil membelai putra kelimanya itu. "Tugasmu, bagi Ibu cukup hanya untuk belajar. Apa susahnya? Apa itu susah? Biar Ibu dan Bapak yang menanggung susahnya".
Ada gerakan besar yang mengagetkan seluruh ruangan. Tante Susi melepas kacamatanya. Kantung matanya yang mengerikan itu kini terlihat. Cuma bukan itu yang membuat semua terdiam. Beliau menangis tersedu - sedu.
"Saya sepertinya malam ini memutuskan harus pulang besok, Jeung. Saya kok merasa bersalah sekali pada anak - anak. Sayalah yang selama ini membuat mereka susah. Saya salah mendidik."
Ibu kaget, mendekatinya sambil berusaha menenangkannya. Tante Susi meneruskan, "Sayalah yang harus minta maaf pada sampeyan, Jeung. Sama Dedy Kecil. Saya selama ini, waktu itu. Terlalu pongah. Sombong", isaknya makin kencang. "Saya itu sengaja, lho Jeung. Saya sengaja menyuruh anak - anak Saya untuk menyombongkan semua mainannya dan dengan jelas menyuruh mereka mengiming - imingi Dedy Kecil. Supaya Dedy Kecil iri. Supaya Dedy Kecil merengek tiap hari. Maafin, Tante Susi ya Dedy Kecil. Tante bukan orang baik. Tante sengaja membeli apel mahal. Anggur mahal dan dengan sengaja membuat kamu menangis. Tante menyesal."
Dedy Kecil hanya berusaha menelan kenyataan dengan mudah. Tapi tidak bisa. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorakannya. Dia kasihan pada Tante Susi.
Tante Susi berteriak sekali dan jatuh dalam sujudnya hendak minta maaf pada Ibu tapi Ibu menghalanginya dengan memegang kuat lengannya. Berusaha mendirikannya.
Dengan tetap terisak Tante Susi bercerita, "Bapaknya anak - anak sudah tak bisa kerja lagi. Dia sakit. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Kami terbiasa termanjakan. Saya lari ke sini, Jeung. Saya melepaskan tanggung jawab. Saya keliru. Saya bersalah. Lagi. Saya pikir bisa Saya menenangkan diri. Tanggungan Saya yang Saya pikirkan adalah yang penting anak - anak bisa makan. Tapi Saya salah. Tugas mereka seharusnya belajar. Kami orang tua tak boleh menyerah. "
"Terima kasih. Maaf Saya telah mencoba menghancurkan hati Jeung waktu itu. Selama ini. Saya sengaja memamerkan perhiasan - perhiasan Saya. Saya ingin Jeung iri. Saya ingin Jeung, kagum pada Suami Saya. Tapi Saya salah. Saya berdosa sama kalian."
Ibu tak bisa menahan air matanya. Dengan bergetar Ibu memaafkan Tante Susi.
Dedy Kecil belajar hebat akan arti memaafkan.
"Kami ingin bertemu, Ibu. Ada pesan dari Mama yang harus kami sampaikan", Mas Anton membuka percakapan dengan kaku tapi terdengar nada khawatir di suaranya. Dedy Kecil membuang jauh prasangka dan menuruti perintah segera memanggil Ibu yang masih berkutat di dapur.
Beliau datang dengan tergopoh - gopoh dan dengan gugup membersihkan tangannya berkali - kali dengan menggosokkannya di celemek karena akan bersalaman dengan tamu - tamunya yang cakap. Dua putra bekas tetangganya yang sesekali ia dengar, keluarganya makin sukses dan kaya.
Kedua anak itu mencium tangan Ibu dengan hormat. Dedy Kecil dengan penasaran duduk mendampinginya.
"Ono opo, to? Tumben datang kemari?, "tanya Ibu dengan semangat dan bergembira. "Bapak dan Ibu sehat?". Ia sedikit menyentak lengan Dedy Kecil mengingatkan untuk segera menyuguhkan mereka minuman.
Kedua kakak beradik itu saling berpandangan. Wajah mereka memelas dan kemudian tersenyum sambil perlahan berkata, "Ini, Bu Lik. Ada titipan dari Mama." Mereka mengeluarkan sesuatu yang terbungkus kain rajutan putih yang agak kumal warnanya.
Ibu hampir saja bilang 'Repot-repot' tapi segera terhenti sesaat setelah membukanya. Isinya jelas ada 2 barang. Satu patung dan satunya adalah buku tebal dan besar. Salah satu ensiklopedia terbitan LIFE yang tak semua orang punya karena memang mahal dan biasa terpampang di rak buku orang - orang kaya.
Ibu menggeleng tak paham.
Mas Anton mewakili menjelaskannya, "Ada pesan dari Mama. Barang - barang ini harus pulang dalam keadaan berbentuk uang. Berapapun itu. Terserah Bu Lik."
Ibu terhenyak sebentar, "Untuk apa?"
Mas Anton memberanikan diri melanjutkan, "Untuk makan".
Kami terdiam semua. Kaku. Tak bicara. Senyap. Ibu segera beranjak dari duduknya dan membungkus kembali barang - barang itu. "Kami belum butuh taplak untuk penutup tivi atau patung atau buku." Beliau berlari dengan kencang dan kembali dengan membawa periuk nasi yang masih panas mengepul yang ia tutupi dengan serbet.
"Ini. Bawa pulang. Dan ini untuk beli lauknya. Besok kalau kalian butuh lagi datanglah lebih pagi", ujar Ibu dengan suara bergetar memberikan beberapa lembar uang.
Mas Anton seperti mau mewek. "Mama pasti marah. Dia tidak bakalan mau barang - barang ini kembali utuh. Kami tidak minta - minta. Kami menjual barang - barang ini".
Dedy Kecil menahan air matanya.
"Mamamu tak bakal marah. Saya yang marah kalau begini caranya. Sudah kalian pulang. Ini urusan Mamamu dan Saya. Tolong sampaikan padanya", ucap Ibu dengan tegas tapi anehnya tetap bernada mengayomi tanpa memaksa atau menakuti.
Kedua anak itu pulang. Dedy Kecil memeluk Ibunya.
Peristiwa itu membekas di bayangan Dedy Kecil. Kabar terdahulu menyebutkan bahwa setelah mereka pindah rumah dan menikmati kekayaan selama beberapa tahun saja. Keadaan menurun drastis. Oom Huddin jadi semakin jarang pulang. Entah memang karena kerjaan atau memang telah berbuat agak melenceng hingga diputus pekerjaannya. Yang jelas beberapa bulan kemudian dia pulang dengan tangan hampa dan sakit - sakitan. Pendapatan mereka jelas berkurang jauh, dan Tante Susi harus mulai menjual apa saja yang mereka punya. Untuk makan.
Beberapa bulan kemudian Tante Susi datang ke rumah. Beliau dan Ibu berbasa basi kecil, saling merangkul dan bersama - sama masuk ke ruang tengah. Tante Susi dengan kacamatanya yang besar tapi kini penampilannya lebih sederhana, malah lebih elok. Sebenarnya dia adalah wanita yang cantik tapi tertutup dengan make up nya yang terlalu tebal.
Dedy Kecil tengah belajar PSPB dan kakak - kakaknya memandang dengan polos padanya sesaat mereka masuk ke ruang tengah. Ibu membuka dengan lembut, "Beberapa bulan ini, Tante Susi tinggal di sini ya. Beliau mau kerja untuk sementara. Dia anggota keluarga kita sekarang. Jadi jangan lupa berbagi".
Anak - anak tersenyum. Tante Susi tak mampu menyembunyikan kegelisahan di balasan senyumnya yang terpaksa. Mungkin terharu tapi masih ingin terlihat baik - baik saja. Sesuatu sepertinya berubah di matanya. Dia hanya bisa tersenyum.
___
Usai makan malam, semua tengah sibuk dengan aktivitasnya di Ruang Tengah. Tante Susi benar - benar menjaga kelakuannya. Apa yang di pikiran Dedy Kecil beberapa tahun yang lalu tak tergambarkan sama sekali. Dia tidak sombong. Tidak bernada tinggi dan dengan sopan selalu minta ijin walau hanya mengambil nasi di meja makan serta dengan manisnya selalu bertanya pada Dedy Kecil ada kesulitan apa pelajaran hari ini di sekolah.
Tante Susi (mungkin) memang begitu aslinya. Ia duduk dengan anggun. Seperti tengah menjahit sesuatu. Dengan kacamatabacanya yang besar ia tampak lebih teliti mengkaitkan sesuatu mirip pita kecil ke kain berwarna biru. Seperti apa ya itu. Celana dalam?
Semacam pertanyaan tidak sopan yang terlontar. Tante Susi tertawa kecil dan melempar pandangan ke Ibu seakan minta izin padanya untuk menerangkan ke seisi ruangan.
"Tante Suci sekarang bekerja. Di Pabrik Celana Dalam. Letaknya 2 kilometer dari sini. Pekerjaannya sederhana. Cuma harus menyematkan dan menjahit pita kecil ini ke bagian depan celana dalam ini. Lumayan gampang tapi ya harus cermat. Pitanya kecil, hanya sebagai penghias".
Dedy Kecil dan saudaranya terdiam.
"Sebenarnya ini pekerjaan ya harus dilakukan dan diselesaikan di sana. Masuk pagi jam 9 selesai jam 4 sore. Tapi karena ini dihitung berdasarkan banyaknya celana dalam yang sudah terpasang pita. Tante maunya meneruskan ini di rumah, kalau malam. Paling selesai sebelum mengantuk sebelum tidur. Lumayan besok bisa menambah setoran".
Dedy Kecil tak kuasa bertanya, "Pabriknya dimana sih? Tante naik apa ke sana?".
Tante Susi mendesah sejenak, "Tante jalan kaki. Lumayan untuk kesehatan. Sejam untuk ke sana dan butuh sejam untuk pulang. Bayaran Tante tidak cukup kalau dibuat naik angkot."
"Memang berapa bayaran Tante?", tanya Dedy Kecil sedikit lancang. Ibu me-sssst-nya. Tante Susi malah tertawa. "Sekali pasang pita ini dihitung dua ribu rupiah. Nggak papa, Jeung. Memang segitu kenyataannya. Lumayan kan kalau untuk makan sehari - hari?".
___
Malam itu Dedy Kecil mimpi buruk. Perasaan bersalahnya selama ini tentang Tante Susi menghantuinya. Seberapa burukkah ia selama ini menilai Tante Susi dan sekeluarganya dengan sebutan Pongah. Atau jangan - jangan mereka sudah berlaku apa adanya dan biasa - biasa saja. Apa bedanya dengan dirinya saat ini. Bapak dan Ibu sudah mulai menunjukkan tanda - tanda mampu secara finansial. Ia juga sudah terbiasa menikmati televisi dan selangkah lagi video yang ia dambakan juga akan tercapai. Kalau itu kemudian ia tunjukkan ke tetangganya yang kurang mampu. Apakah itu berarti ia sombong? Sebegitu mudahkah ia menyandangkan kata PONGAH ke orang lain?
Mimpi buruknya bergelombang bagai hatinya yang berkecamuk. Tapi apa perlu ia yang minta maaf? Untuk apa? Atas apa?
Hatinya gelisah. Serba salah. Kondisi Tante Susi tidak seperti dulu lagi.
___
Malam itu semuanya berkumpul di ruang tengah lagi. Ini sudah bulan ke dua, Tante Susi berada di rumah. Dia sedang asyik memasang pita - pita itu dengan cermat. Ibu sedang mengajari Dedy Kecil perkalian ratusan. Dedy Kecil mengeluh. Perkalian itu begitu susah. Otaknya seakan tak mampu menyimpan beberapa angka yang harus ditahan terlebih dahulu untuk nanti ditambahkan.
"Ibu ini susah. Ini yang bikin nilai matematikaku jeblok. Aku kok bodoh,ya?"
Konsentrasi Tante Susi buyar. Ia mengamati gerak mereka.
Ibu membelalakkan matanya. "Siapa suruh kamu menjadi yang terbaik selalu, siapa yang menyuruh kamu untuk selalu menjadi juara?". Beliau jongkok sambil membelai putra kelimanya itu. "Tugasmu, bagi Ibu cukup hanya untuk belajar. Apa susahnya? Apa itu susah? Biar Ibu dan Bapak yang menanggung susahnya".
Ada gerakan besar yang mengagetkan seluruh ruangan. Tante Susi melepas kacamatanya. Kantung matanya yang mengerikan itu kini terlihat. Cuma bukan itu yang membuat semua terdiam. Beliau menangis tersedu - sedu.
"Saya sepertinya malam ini memutuskan harus pulang besok, Jeung. Saya kok merasa bersalah sekali pada anak - anak. Sayalah yang selama ini membuat mereka susah. Saya salah mendidik."
Ibu kaget, mendekatinya sambil berusaha menenangkannya. Tante Susi meneruskan, "Sayalah yang harus minta maaf pada sampeyan, Jeung. Sama Dedy Kecil. Saya selama ini, waktu itu. Terlalu pongah. Sombong", isaknya makin kencang. "Saya itu sengaja, lho Jeung. Saya sengaja menyuruh anak - anak Saya untuk menyombongkan semua mainannya dan dengan jelas menyuruh mereka mengiming - imingi Dedy Kecil. Supaya Dedy Kecil iri. Supaya Dedy Kecil merengek tiap hari. Maafin, Tante Susi ya Dedy Kecil. Tante bukan orang baik. Tante sengaja membeli apel mahal. Anggur mahal dan dengan sengaja membuat kamu menangis. Tante menyesal."
Dedy Kecil hanya berusaha menelan kenyataan dengan mudah. Tapi tidak bisa. Ada sesuatu yang tercekat di tenggorakannya. Dia kasihan pada Tante Susi.
Tante Susi berteriak sekali dan jatuh dalam sujudnya hendak minta maaf pada Ibu tapi Ibu menghalanginya dengan memegang kuat lengannya. Berusaha mendirikannya.
Dengan tetap terisak Tante Susi bercerita, "Bapaknya anak - anak sudah tak bisa kerja lagi. Dia sakit. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Kami terbiasa termanjakan. Saya lari ke sini, Jeung. Saya melepaskan tanggung jawab. Saya keliru. Saya bersalah. Lagi. Saya pikir bisa Saya menenangkan diri. Tanggungan Saya yang Saya pikirkan adalah yang penting anak - anak bisa makan. Tapi Saya salah. Tugas mereka seharusnya belajar. Kami orang tua tak boleh menyerah. "
"Terima kasih. Maaf Saya telah mencoba menghancurkan hati Jeung waktu itu. Selama ini. Saya sengaja memamerkan perhiasan - perhiasan Saya. Saya ingin Jeung iri. Saya ingin Jeung, kagum pada Suami Saya. Tapi Saya salah. Saya berdosa sama kalian."
Ibu tak bisa menahan air matanya. Dengan bergetar Ibu memaafkan Tante Susi.
Dedy Kecil belajar hebat akan arti memaafkan.
Komentar
Posting Komentar