Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Dekat dan Hangat bersama Dini Fitria


Salam Budaya!

Jumat seharian itu, Aku kerja keras kayak kuda. 

(Ini perumpamaan ya!). 

Usai Jumatan Aku langsung menuju ke Apartemen Essence di Dharmawangsa dari Setiabudi, mengejar riset ke Mayapada Tower di jam setengah 4 sore, berdiskusi dengan klienku yang kebetulan seorang HRD - di Lotte Avenue pas di jam setengah delapan malam, melesat ke Hotel Pullman -  memenuhi janjian dengan klien para wanita asal Samarinda, yang ingin dibaca tarotnya sambil melayani konsultasi salah satu klien kakap berikutnya melalui telpon di tengah perjalanan.

01.30 WIB penderitaan berakhir. 

Aku lapar dan menikmati Mie Goreng dengan telur setengah mentah di Warung Indomie 24 jam dekat kosan sambil mulai bisa menarik nafas lega.

Alhamdulillah. Kupikir aku akan bebas karena sebentar lagi akan tidur.

Oh, No! Ternyata tidak! Aku ada acara pagi ini!



Dia sejak tahun 2012 mulai menuliskan apa yang dirinya alami selama perjalanannya itu, berawal dari pengalamannya di Eropa yang menghasilkan buku Muhasabah Cinta, kemudian Amerika Latin dengan judul buku Hijrah Cinta dan Islah Cinta dari India.

Acara itu dimulai dari jam 10. Let's say dari Setiabudi ke sana butuh waktu sejam. Hal lain - lain perlu prepare, ya, 2 jamlah jadinya. Jadi harus berangkat dari kosan jam 8. Aku menghitungnya dengan langkah yang lambat menaiki tangga menuju lantai ketiga, dengan kaki yang terasa sakit dan capek luar biasa.

Begitu buka pintu. Aku langsung merebahkan diri dan tewas terlelap.

---

Beberapa jam kemudian aku terbangun masih dengan mood yang berantakan. 

Setelah naik Grab Bike menuju ke Stasiun Palmerah - Naik KomuterLine menuju ke Stasiun Jurang Mangu dan masih naik Grab Car lagi bareng dengan teman - teman blogger, Aku sudah sampai ke Brouven Koffie. Menatap dengan kagum sosok mbak Dini Fitria yang tengah sibuk mengutak-atik tab. Ekspresinya tengah menampakkan kebingungan karena sepertinya apa yang tampak di layar tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kurang tajam sepertinya.

Curi - curi sedikit, Aku mengamatinya. Mbak ini keren dan cantik. Pakaiannya modis bermotif Mandala dengan celana dipadu dengan jilbab hitam. Senyumnya mengembang, ramah, mengingatkan aku akan seseorang. Entah itu siapa dan pernah bertemu di mana.


Mantan Produser dan Presenter "Jazirah Islam" di Trans 7 ini memulai acara itu dengan kalimat yang menurutku lebih menarik perhatianku dari semua yang dia paparkan. MENULISLAH DENGAN RASA. 

Mungkin inilah saatnya Tuhan mempertemukanku dengan dia. Bukan dalam pembahasan Travellingnya yang jelas - jelas membuatku gondok karena iri. Tapi karena penyampaiannya yang indah dan jujur.

"Travelling itu membuat kita mengenal diri kita sendiri. Alami dan rasakan apa yang kau lalui dari perjalanan itu dengan baik. Lalu tulis", katanya dengan mata yang berbinar - binar.

"Tapi Saya takut," aku Bunda Elisa - salah satu Blogger yang ternyata pernah punya riset tentang Prositusi Wanita di sepanjang Rel Kereta Api Cikini.

"Ceritakan rasa takut itu dengan jujur. Kaitkan apa yang Anda rasakan itu dengan hal yang baru - baru ini ramai terjadi dan menyita perhatian publik. Walaupun kejadian itu sudah beberapa tahun yang lalu. Kenanglah sebagai sesuatu yang berharga. Tak semua pernah punya pengalaman atau mengalami hal itu secara langsung. Tahu secara langsung. Terjun secara langsung", terang dia dengan respon yang semangat.

Sambil menyeruput es manis, sejak awal aku terdiam. Mengamati saja.



"Bagaimana dengan waktu? Saya mengalami kelelahan setelah travelling. Jetlag. Istirahat. Dan tiba - tiba saja moment itu hilang. Menulis pun jadi malas", tanya mbak Tamita yang mewakili kita semua yang sering merasakan kalau menulis itu adalah kegiatan yang kadang angin - anginan.

"Disiplin waktu. Itu jawabannya. Kalau perlu catat hal kecil di sepanjang perjalanan. Sebagai penanda bahwa ada kejadian penting di hari tertentu. Yang nantinya akan dijelaskan lebih lanjut di tulisan kita".

Hmm. Pengalamannya dalam tiga tahun terakhir, mengelilingi beberapa negara untuk program “Jazirah Islam”, yakni Austria, Belanda, Italia, Jerman, Prancis, Spanyol, Argentina, Meksiko, dan Brasil, Thailand, Cina, India, dan Korea Selatan - pastinya tak membuat mbak Dini Fitria ini teledor tak membuat catatan kecil. Menarik. Itu disiplin namanya.

Oh ya. Dini Fitria ini ternyata berpelesir sambil membawa anak. 

Wait. What?


"Utamakan kenyamanan anak. Anak lebih utama. Kalau anak sudah merasa nyaman dan aman. Maka kita akan bisa bekerja lebih nyaman pula dan akhirnya bisa dijadikan kesimpulan bahwa membawa anak bepergian masih bisa diakali dengan banyak hal".

Aku tak pernah tahu tentang itu. Ini pengalaman baru. Aku belum punya anak. Tapi hey, She's Great!



Aku akhirnya memberanikan diri bertanya,

"Aku cacat sejak kecil. Kaki dan salah satu bilik jantungku bermasalah. Bagiku travelling adalah kadang suatu impian yang tidak gampang terealisasi. Boro - boro pergi ke Russia atau negara dingin lainnya, diajak naik ke Bromo saja, aku muntah."

Seluruh ruangan hening, tak ada yang tertawa.

"Aku merasa ini memang kekuranganku dan aku nulis tentang itu. Bagiku, travelling sebagaimana arti bahasanya adalah hanya melakukan perjalanan, bisa sampai di tempat ini saja. Aku sudah merasa bersyukur. Dengan mengambil sudut pandang seperti itu, is it okay?"

Pertanyaanku mengandung unsur kepahitan. Menyeruakkan penyesalan kenapa diriku tak sehebat dirinya, tak sesehat, tak semempesona, tak seberprestasi seorang Dini Fitria.

Ini pertanyaan berat. Aku mengujinya dan berharap paling - paling jawabannya standar. Aku skeptis. 

Ternyata aku salah.

Gestur mbak Dini Fitria berubah, tubuhnya lebih membungkuk perlahan untuk sekedar menyatakan simpatinya. Dia menenangkan diriku sesaat dan itu berhasil.

"Abaikan saja kalau ada orang yang protes, Mas. It's you. Menulislah dengan jujur. Toh tulisan dirimu tidak untuk membuat orang merasa kasihan, tapi memberikan sudut pandang kesepahaman pada orang - orang yang bernasib sama dan bagaimana mereka bisa menjalani, menghadapi dan meraih apa yang mereka inginkan dalam hal travelling. Maju terus, Mas".


Jawabannya memuaskan. Teman - teman di ruangan yang sebagian besar wanita itu mendukungku. Moodku otomatis tersusun lebih rapih. Tanpa sadar, dia telah menutup pintu keputusasaanku yang akhir - akhir ini menganga terbuka dan membiarkan luka itu menjadi lebih dalam.

Tiba - tiba aku jadi ingat tulisanku setahun yang lalu, bunyinya semenyedihkan ini,

Malam itu Saya tidur dengan berurai air mata. 

Lampu kamar depan juga mati dan rusak. Saya tidur dengan kerjap dan pendar lilin yang Saya sulut untuk sekedar menerangi dan mengusir rasa dingin.

Sedih

Aku tersenyum. Sumpah. Aku nggak mau seperti itu lagi. Aku mau jadi aku yang lebih baik lagi.

Malam harinya aku bergegas potong rambut sebagai awal kebangkitan diriku. Dedy Darmawan yang lebih baru lagi. Lebih semangat lagi.

Terima kasih mbak Dini Fitria.
Terima kasih mbak Anie Berta.
Terima kasih teman di Komunitas ISB.

Menulis dengan rasa telah menoreh rasaku untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Aku Bahagia dan bersyukur tentunya.




Komentar