Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Hikayat Tarot Darma - OHAPE


Baru saja aku masuk ke alam mimpi. Dering "I Love Your Smile" milik Shanice berbunyi.

"Ko, Darma?", tanya seorang cewek.

Ko? Aku dipanggil Ko? Siapa ya, ini. Klienku kebanyakan yang dari kalangan chinese memanggilku demikian karena selain menghormati aku, orang bilang aku memang mirip Koko Koko Chinese.

"Ini, Anggie, Ko. Mbok aku dibantu. Ada masalah nih, Ko!".

Aku terduduk. Jam siang - siang begini di kosan Setiabudi memang enak dan pantesnya tidur. Klien biasanya mulai berulah setelah jam kantor. Ini Anggie pasti bukan orang kantoran dan seperti biasa, aku tetap lupa. Anggie ini Anggie yang mana.

"Ya. Anggie ada masalah, apa?". Sambil menguap.

Kami bertemu sejam kemudian. Di Setiabudi One, sambil menenggak es teh manis dan waffle.

"Ko, ini permasalahan serius, Ko. Es nya jangan buru-buru dihabisin!", suara Anggie tercekik panik dan berharap aku lebih memperhatikan ceritanya. Aku minta maaf dan mulai mengamati apa yang ia gambarkan. "Kami kehilangan OHape. OverHead Projector. Mesin kuno itu. Fatal dan vital. Karena tanpa itu perkuliahan kami tak bisa dijalankan."

Papa Anggie ternyata seorang yang punya yayasan pendidikan Perkuliahan B di kawasan C. Sebuah perkuliahan yang mungkin tak begitu dikenal, tapi berjalan cukup stabil hingga terakreditasi tahun lalu. Beberapa ruang kelas masih menggunakan OHP sebagai salah satu alat kuno yang dipakai bergantian para mahasiswa dan Dosen untuk menerangkan pelajaran.



OHP adalah kepanjangan dari Over Head Projektor. OHP berguna untuk memproyeksikan media transparan kearah layar, dengan hasil gambar yang cukup besar. OHP secara umum digunakan untuk pengganti papan tulis dengan menggunakan pen khusus yang ditulis pada lembaran transparan.

Aku mengangguk-angguk pura - pura sabar. Karena pasti ujung-ujungnya OHP itu pastilah hilang.

"Ya? Hilang. Mati aku, Ko!", ujarnya dengan logat Surabaya yang kental. "Ya perkuliahan jadi terhambat. Untuk beli baru, kami masih belum punya dana segitu untuk keluar. Gimana? Dari kemaren, Papa muring muring  (marah - marah) thok, isine (isinya) !".

Ku taruh dengan perlahan gelas tehku yang tandas.

"Yang penting OHP itu balik, kan? Atau kekeuh pengen tahu siapa pencurinya?", nadaku sedikit kumiringkan biar terkesan pintar.

Anggie nampaknya tak peduli. "Ya. Yang penting OHPnya itu balik. Ko? Ya apa seh. Eh tapi embuh, ya. Tak telpon Papa ndisik (dulu)."

Mereka mulai terlibat percakapan bernada tinggi ala Cina Surabaya. Orang lalu lalang menyangka Anggie yang siang itu mengenakan setelan hitam, sedang bertengkar lewat henpon.

Dia duduk dengan cemas. "Papa ternyata juga pengen tahu siapa yang nyuri OHP itu, Ko? Ya apa ini?".

Aku tidak suka. Menggeleng dengan lemah. Mana yang lebih penting. OHP kembali atau siapa pencurinya. Siapa pencurinya tidak penting.

"Telpon, Papamu lagi, Nggie. Aku bakal kasih tahu siapa pencurinya. Asal dia berjanji takkan memperpanjang urusannya hingga ke Polisi. Cukup kita tahu saja. Deal?"

Dengan suasana tegang dan alot, dari kejauhan Papa Anggie mengiyakan. Kedengarannya sudah putus asa tapi tetap berlatarbelakang dendam.

Aku putuskan untuk segera memberi solusi.

"Pasang pengumuman besok dengan tulisan besar - besar. Mohon OHAPE kami dikembalikan. Kami takkan menuntut siapapun dan membawa persoalan ini ke ranah hukum. Terima kasih."

Anggie ngakak.

"Ko, ko. Emang dia tetanggaku yang minjem pisau atau minta garem? Terus kita tagih bakal dikembalikan?"

Aku malah bertanya balik dengan aneh, "Kok aku merasa kamu yang aneh, ya, Nggie? Bukannya kamu tadi tanya bagaimana cara mengembalikan OHAPE itu dengan cepat karena dibutuhkan?" 

Anggie kebingungan. Ruangan food court itu jadi semakin sempit rasanya. Aku sudah merasa cukup. Meninggalkan Anggie sendirian dan linglung.

Kami berpisah.



Dua hari kemudian, Anggie minta bertemu dengan segera. Kali ini suguhannya es krim. Anggie menjilat dengan nikmat.

"Dia taruh dimana, Ohapenya?," tanyaku sebagai pembuka.

Anggie menjawab, "Eh, ya. Ko. Ko Dedy benar lho. Kami menemukan tergeletak di bordes tangga darurat. Selamat. Tanpa cacat."

Aku tersenyum.

"Cukup, kan?", aku hendak bangkit dan mengingatkan untuk segera mentransfer uang hasil kerjaku.

Anggie memegang lenganku dengan lembut, "Belum, Ko! Papa meminta dan ingin tahu siapa pencurinya?". 

Mereka tidak sabar ingin tetap aku mengeluarkan kartuku.



Aku berpikir cukup keras. Kenapa yang keluar adalah Page of Wands. Di dalam teori, kartu ini adalah semacam perbuatan anak kecil atau bermakna anak - anak. Bagaimana mengkorelasikan itu? Itu sekolah lho, semua isinya ya pastinya anak - anak dan remaja. 

Tapi ...

"Nggie, Pekerjaan apa yang terendah di Yayasan Papamu itu?"

Anggie hampir tersedak kedua kalinya, "Ya. OB lah".

Aku melanjutkan, 'Ada berapa OB di tempatmu? Satu laki-lakikah? yang masih tergolong remaja kah?"

Anggie mengangguk. Matanya agak sedikit jereng karena berusaha mengiyakan tapi menyeruput mie di waktu yang bersamaan.

"Dia lah yang selama ini menyembunyikannya."

Anggie protes, "Mencurinya, maksud Koko?".




Aku menggeleng. "Dia cuma ingin karyawan kantor merasa gelisah dan takut. Dia mau sedikit balas dendam. Memangnya Kalian sering menyuruh dia membeli sesuatu tapi tak pernah kasih tips dan uang kembaliannya kalian tagih, ya?", cerocosku begitu saja.

"Ha? Darimana Koko tahu?", Anggie tersedak ketiga kalinya.

Manusia tak pernah puas.
Manusia kadang tak mau introspeksi.

Mohon menjadi cerminan diri.

Komentar