- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Salam Budaya!
Pertengahan 1980.
Kaki Dedy Kecil tergolek lemah. Pagi sudah mulai terdengar waktu sudah mulai menjemput siang. Sayup - sayup TK "Siwi Bakti" yang berjarak satu bangunan dengan rumahnya tengah membunyikan suara anak - anak yang bernyanyi bersama - sama. Merdunya begitu familiar. Lamat lamat mengucapkan lirik,
"... Tuhan - Tuhan Pemurah ..."
Kenapa Dedy Kecil merasa tak asing mendengarnya. Atau melihatnya. (Kenapa dengan melihat?) Ia berusaha menikmati lagu itu sambil memandangi kakinya yang perlahan ia coba luruskan karena sudah mulai kesemutan, tanda ia juga mau lebih konsentrasi menerima lagu itu dengan baik.
Suara mereka terdengar tak terlalu kompak tapi merdu. Suara yang masih bersih dan polos. Merayu dan meliuk bak Pohon Kelapa. Dedy Kecil memejamkan matanya, mencoba memusatkan pikirannya.
Dimana ia pernah melihat itu lagu itu? Kenapa melihat? Melihat dimana?
Dengan sedikit usaha, Dedy Kecil pergi ke pojokan ruang tamu dan matanya tertuju ke tempat koran yang berasal dari anyaman bambu. Beberapa koran dan majalah yang lusuh dan tak lagi berguna teronggok disana. Dedy Kecil yakin ada sesuatu yang bisa dia temui di sana. Matanya kemudian tertuju ke satu majalah yang sangat tidak menarik, berasal dari satu Departemen Pemerintahan, yang selalu dibawa pulang oleh Bapaknya ke rumah. Biasanya di halaman terakhir ada sesuatu yang berkaitan dengan ini lagu.
Ya, di halaman terakhir biasanya akan selalu ada not balok atau solmisasi dari suatu lagu yang ingin dibahas redaksi. Sayangnya Dedy Kecil tak bisa membaca not atau doremi di usia saat itu. Dia hanya merasa punya modal, sepenggal lirik lagu itu saja. Tuhan Tuhan Pemurah.
Setelah membuka 4 edisi majalah, Dedy Kecil menemukannya di pertengahan tumpukan. Judulnya ternyata adalah "Anugerah" karya bapak AT Mahmud.
Alam terhampar dibumi ini
Alangkah indah berseri
Lembah yang hijau sawah yang mengemas
Semua berpadu serasi
Tuhan Tuhan pemurah
Sadar aku pada-Mu
Betapa agung nikmat anugrah-Mu
Bagi bumiku tercinta
Matanya berteriak kesenangan. Ia menyeret kaki kecilnya kembali mendekati beranda rumahnya dan kembali duduk bersimpuh. Ia memicingkan telinga dan berusaha dengan cermat menyanyikan lagu itu lagi dengan panduan majalah. Dua sampai empat kali dia menyenandungkan lagu itu, berkali - kali. Dedy Kecil mengikutinya dengan perlahan dan di nyanyian yang kelima ia berhasil membawakannya.
Dedy Kecil tersenyum dan membayangkan sesuatu. Pikirannya melesat ke awang - awang.
---
Hari itu adalah hari penentuan apa yang harus ditampilkan masing - masing murid TK Arni. Besok adalah hari yang besar dan bersejarah. Mereka akan tampil live di Radio Republik Indonesia. Sebuah hal yang begitu prestisius bagi bocah - bocah TK.
Segerombolan anak yang ingin menari langsung berteriak - teriak mencari perhatian. Ibu Pur, sang Kepala Sekolah dengan sabar menenangkan sekelompok putri - putri kecil yang memang senang berolahtubuh. Ibu Ani, sang guru, mengawasi dan menyapu pandangannya ke seluruh ruangan.
Dedy Kecil mengacungkan jarinya. Ibu Ani mengangguk.
"Saya ikut, bu Guru."
Ibu Ani tersenyum. Ibu Pur memandang Dedy Kecil dengan sedikit takjub.
"Mas Dedy mau jadi apa?".
"Saya mau menyanyi, Ibu."
Teman - teman yang tadi berisik mulai mereda dan menoleh dengan heran. Mereka mulai memandangi Dedy Kecil dengan cara pandang yang aneh yang sesuai dengan level anak TK.
"Mas Dedy mau nyanyi lagu apa?", tanya Ibu Pur mulai mendekat dengan lembut dan sopan.
"Anugrah, Ibu", jawab Dedy Kecil mantap. Tangannya memegangi sapu tangan yang terpasang dengan peniti di dadanya. Ada degup aneh menyeruak. Menyenangkan tapi berbalut rasa takutnya. Suatu hari nanti Dedy Kecil mengenali ini sebagai salah satu bentuk NERVOUS nya.
Kedua ibu guru yang mengenakan rok lebar itu saling berpandangan. Mereka tak mau menuduh tapi bertanya sekali lagi.
"Mas Dedy sudah bisa menyanyikannya? Sudah hapal? Sudah tahu cara bernyanyinya?".
Dedy Kecil mengangguk dengan cepat beberapa kali. Senyumnya lebar.
Kedua guru itu berembug sebentar dan mengumumkannya ke seluruh ruangan.
"Mas Dedy nanti mau bernyanyi, ya. Kita sudah punya penyanyinya."
Beberapa orang tua yang berada di luar siap menjemput anak - anaknya bertepuktangan. Mereka bukan membanggakan Dedy Kecil. Mereka senang karena akhirnya ada yang memberikan saran yang masuk di akal. Tampil di Radio Republik Indonesia itu, tentu saja hanya berupa suara. Seluruh kelas masih repot, dengan harus menjelaskan, kalau mereka itu bukan tampil di Televisi Republik Indonesia dan tentu saja menari bukan pilihan.
Beberapa anak menangis. Orang tua kerepotan. Ibu Pur menenangkan sekali lagi. Dedy Kecil tersenyum bangga.
---
Di seberang Dedy Kecil ada seorang bapak memakai kacamata dan berkumis duduk di depan piano. Dedy Kecil kagum pada bilah hitam putih itu. Ia bisa mengeluarkan suara yang sangat merdu dan suara itu bukan berasal dari kaset tapi langsung terdengar dari kotak yang tingginya seukuran dua kali lipat badannya.
Bapak Anton dengan lembut bertanya,
"Mas Dedy sudah bisa lagunya?".
Sebelum memberikan jawaban, Dedy Kecil malah terpikirkan kejadian tadi pagi. Ibu , dibantu pembantunya, tengah membantu Dedy Kecil mengenakan seragam TKnya.
Dedy Kecil mengingatkan kalau ia hendak bernyanyi. Ibunya hanya tersenyum dan mengiyakan. Ia cuma mengingatkan kalau Dedy Kecil harus segera pulang dan tidak boleh mampir ke manapun atau menerima ajakan siapapun bila acaranya telah usai. Segera pulang saja! Tegas beliau.
Dedy Kecil mengangguk. Setegas anggukannya ke Bapak pemain piano. Dia tak mengerti nada. Tak mengerti not. Dia hanya mengingat lagu itu. Lagu yang menarik pendengarannya.
Setelah mencoba beberapa kali latihan. Sampailah dia masuk ke suatu ruangan. Ruangan itu besar dan di tengah - tengahnya terdapat mikrofon. Satu hal yang selalu menarik perhatian Dedy Kecil sejak dahulu dan setelah tahu apa fungsinya. Dia bisa memperindah suara. Bisik, pamannya suatu hari.
Sebuah perasaan yang sampai saat ini tak bisa digambarkan dengan kata - kata. Begitu melompat - lompat hatinya hanya dengan melihat bulatan mike yang punya kabel panjang itu. Sambil berucap dan memejamkan mata sejenak. Dedy Kecil berdoa dan berharap di a takkan melakukan kesalahan apalagi di bagian reffrainnya yang kadang terasa tinggi.
Dedy Kecil mulai bernyanyi sepenuh hati. Di bayangannya seluruh orang akan memuji suaranya. Semua tetangganya akan mendengarkan di rumah lewat berbagai macam transistor. Ibunya akan menghidupkan radio antik di ruang tamunya sambil bebersih. Dedy Kecil membuka suaranya.
Dedy Kecil tersenyum dan membayangkan sesuatu. Pikirannya melesat ke awang - awang.
---
Hari itu adalah hari penentuan apa yang harus ditampilkan masing - masing murid TK Arni. Besok adalah hari yang besar dan bersejarah. Mereka akan tampil live di Radio Republik Indonesia. Sebuah hal yang begitu prestisius bagi bocah - bocah TK.
Segerombolan anak yang ingin menari langsung berteriak - teriak mencari perhatian. Ibu Pur, sang Kepala Sekolah dengan sabar menenangkan sekelompok putri - putri kecil yang memang senang berolahtubuh. Ibu Ani, sang guru, mengawasi dan menyapu pandangannya ke seluruh ruangan.
Dedy Kecil mengacungkan jarinya. Ibu Ani mengangguk.
"Saya ikut, bu Guru."
Ibu Ani tersenyum. Ibu Pur memandang Dedy Kecil dengan sedikit takjub.
"Mas Dedy mau jadi apa?".
"Saya mau menyanyi, Ibu."
Teman - teman yang tadi berisik mulai mereda dan menoleh dengan heran. Mereka mulai memandangi Dedy Kecil dengan cara pandang yang aneh yang sesuai dengan level anak TK.
"Mas Dedy mau nyanyi lagu apa?", tanya Ibu Pur mulai mendekat dengan lembut dan sopan.
"Anugrah, Ibu", jawab Dedy Kecil mantap. Tangannya memegangi sapu tangan yang terpasang dengan peniti di dadanya. Ada degup aneh menyeruak. Menyenangkan tapi berbalut rasa takutnya. Suatu hari nanti Dedy Kecil mengenali ini sebagai salah satu bentuk NERVOUS nya.
Kedua ibu guru yang mengenakan rok lebar itu saling berpandangan. Mereka tak mau menuduh tapi bertanya sekali lagi.
"Mas Dedy sudah bisa menyanyikannya? Sudah hapal? Sudah tahu cara bernyanyinya?".
Dedy Kecil mengangguk dengan cepat beberapa kali. Senyumnya lebar.
Kedua guru itu berembug sebentar dan mengumumkannya ke seluruh ruangan.
"Mas Dedy nanti mau bernyanyi, ya. Kita sudah punya penyanyinya."
Beberapa orang tua yang berada di luar siap menjemput anak - anaknya bertepuktangan. Mereka bukan membanggakan Dedy Kecil. Mereka senang karena akhirnya ada yang memberikan saran yang masuk di akal. Tampil di Radio Republik Indonesia itu, tentu saja hanya berupa suara. Seluruh kelas masih repot, dengan harus menjelaskan, kalau mereka itu bukan tampil di Televisi Republik Indonesia dan tentu saja menari bukan pilihan.
Beberapa anak menangis. Orang tua kerepotan. Ibu Pur menenangkan sekali lagi. Dedy Kecil tersenyum bangga.
---
Di seberang Dedy Kecil ada seorang bapak memakai kacamata dan berkumis duduk di depan piano. Dedy Kecil kagum pada bilah hitam putih itu. Ia bisa mengeluarkan suara yang sangat merdu dan suara itu bukan berasal dari kaset tapi langsung terdengar dari kotak yang tingginya seukuran dua kali lipat badannya.
Bapak Anton dengan lembut bertanya,
"Mas Dedy sudah bisa lagunya?".
Sebelum memberikan jawaban, Dedy Kecil malah terpikirkan kejadian tadi pagi. Ibu , dibantu pembantunya, tengah membantu Dedy Kecil mengenakan seragam TKnya.
Dedy Kecil mengingatkan kalau ia hendak bernyanyi. Ibunya hanya tersenyum dan mengiyakan. Ia cuma mengingatkan kalau Dedy Kecil harus segera pulang dan tidak boleh mampir ke manapun atau menerima ajakan siapapun bila acaranya telah usai. Segera pulang saja! Tegas beliau.
Dedy Kecil mengangguk. Setegas anggukannya ke Bapak pemain piano. Dia tak mengerti nada. Tak mengerti not. Dia hanya mengingat lagu itu. Lagu yang menarik pendengarannya.
Setelah mencoba beberapa kali latihan. Sampailah dia masuk ke suatu ruangan. Ruangan itu besar dan di tengah - tengahnya terdapat mikrofon. Satu hal yang selalu menarik perhatian Dedy Kecil sejak dahulu dan setelah tahu apa fungsinya. Dia bisa memperindah suara. Bisik, pamannya suatu hari.
Sebuah perasaan yang sampai saat ini tak bisa digambarkan dengan kata - kata. Begitu melompat - lompat hatinya hanya dengan melihat bulatan mike yang punya kabel panjang itu. Sambil berucap dan memejamkan mata sejenak. Dedy Kecil berdoa dan berharap di a takkan melakukan kesalahan apalagi di bagian reffrainnya yang kadang terasa tinggi.
Dedy Kecil mulai bernyanyi sepenuh hati. Di bayangannya seluruh orang akan memuji suaranya. Semua tetangganya akan mendengarkan di rumah lewat berbagai macam transistor. Ibunya akan menghidupkan radio antik di ruang tamunya sambil bebersih. Dedy Kecil membuka suaranya.
Semua bertepuk tangan. Ibu Pur mengusap air mata bahagianya dan mengacungkan jempolnya. Dedy Kecil buru - buru pulang dan tak lagi mau tahu apa yang terjadi berikutnya. Ia segera menumpang becak yang telah dipesan ibunya untuk menunggu sepanjang acara.
Sampai di rumah ia langsung pergi mencari, menubruk dan merangkul Ibunya. Ada kebanggaan yang tak bisa diceritakan seorang Dedy Kecil di usianya yang masih belum 5 tahun.
Ibunya terkaget dan berjongkok menyambut,
"Ada apa? Kenapa?"
Dedy Kecil berteriak karena adrenalinnya memuncak,
"Bagaimana Ibu? Baguskah suaraku di radio? Semua pada dengar, kan?".
Ibu, sambil membantu melepas kancing seragam Dedy Kecil, dengan lembut berkata,
"Kamu menyanyi? Yang bagian mana? Ibu kan tak bisa membedakan suaramu dan beberapa temanmu. Kamu urutan yang ke berapa? Suaramu sepertinya berbeda, ya kalau di radio, ya, bukan? Kamu nyanyi lagu apa? Pas di jam berapa?".
Air mata Dedy Kecil mulai menggenang. Mata dan hatinya panas.
Dedy Kecil menegaskan dengan suara yang lemah,
"Penyanyi satu - satunya, ya cuma aku, Ibu. Yang menyanyi Tuhan - Tuhan Pemurah".
---
Perjalanan menyanyi di dunia Dedy Kecil memang menyesakkan. Tapi ini awal dari segalanya. Dedy Kecil memang bukan penyanyi. Tapi ia hanya ingin suaranya didengar.
Photo by Anna Shvets from Pexels |
Salam Budaya!
Komentar
Wah keren umur segitu udah berani tampil nyanyi... RRI emang andalan.. dulu rutin ya 1 kelas gitu giliran tampil di RRI..
BalasHapusYa begitu senangnya
HapusMasih kecil udah punyer nyanyi . Aku smp skr klo nyanyi nada kemana suara kemana.. hahahaha
BalasHapusTapi pinter masak
HapusIbu lupa nyetel RRI? 😢
BalasHapusAda kemungkinan ibu memang tak mau menyetel
HapusPasti sedih ya, anak seusia itu saat ingin suaranya didengar Ibu malah ternyata gak didengar. Tapi setidaknya sdh berani tampil
BalasHapusYa. Terima kasih
HapusMasyaa Allah.. luar biasa.. Dedy hebat..👍 Sejak kecil semangat. Jangan pernah putus asa. Terus berkarya ya. Semoga sukses selalu. 👍
BalasHapusAaaamiin. Wah terima kasihh.
HapusKeren tulisannya... bener2 bercerita dan kata demi kata yang terangkai menjadi untaian kalimat yang tergambar... membacanya seperti melihat layar film... tanpa susah membayangkan, gambarannya sudah hadir seiring tulisan yang terbaca... keren Ded...
BalasHapusYour friend, bondan :)
HapusWah terima kasih, Ndan
HapusJadi gimana foto si Dedy Kecil om? 😂
BalasHapusAku jadi ikitbbayangin. Gmn seorang anak kecil dgn keinginan tinggi, pasti ingin sekali diapresiasi yaaa. Ah, nice moment mas, unforgettable
BalasHapusMakasih, mbak Prita
Hapus