Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

MENGGURITA - 002 - BERONTAK





BERONTAK 

Keputusanku sudah bulat. Aku akan pergi menerima pekerjaan itu. Pekerjaan Administrasi, katanya. Ibu mendengus kesal. Malam itu ia cemberut. Pak Jumani yang tengah berkunjung untuk melaporkan kemajuan proyek di desa, malah menjadi sasaran yang empuk curhatannya. Temanya, tak lain dan tak bukan, anaknya yang sudah mulai berpikir tak masuk akal. Dedy yang ingin bekerja. 

Pak Jumani memanggilku ke ruang tamu. Ia adalah pengawas lapangan yang sudah ikut ibu bertahun – tahun. Ibu sendiri adalah seorang kontraktor wanita yang berpengalaman. Keduanya sangat aku hormati. Aku masih mau mendengar nasehatnya. Tapi malam ini aku harus punya bantahan yang kuat. 

“Buat apa? Untuk apa, Heh? Bukannya enak di sini saja. Ikut Ibu. Ibu itu sudah tua. Tidak ada penggantinya. Pekerjaan ini lalu siapa nanti yang akan melanjutkan? Kenapa tidak di sini saja berbakti pada Ibu?” kata Pak Jumani dengan suaranya yang serak. 

Ini akan menjadi malam yang melelahkan. Ini perdebatan basi yang selalu aku lakukan di dua tahun belakangan ini. Semua dosa sepertinya tertuju padaku. 



Semua orang tidak pernah tahu kalau alasanku banting stir memilih jurusan kuliah menjadi Teknik Arsitektur karena di bayanganku dulu, adalah suatu hal yang benar jika suatu hari nanti aku harus menggantikan posisi Ibu atau minimal bisa membantu meringankan pekerjaannya sekaligus mengangkat derajat dan nama keluarga. Aku berkorban tidak lagi memilih Jurusan Bahasa Inggris, Psikologi atau Desain Grafis. 

Dua tahun lalu. Sesaat aku lulus kuliah, aku pun memutuskan langsung balik ke rumah untuk mendarmabaktikan diri menjadi anak yang baik dan ikut membantu orang tua. Ternyata keputusanku keliru. Aku malah jadi bulan – bulanan di kerjaan ini. Ibu malah melarangku untuk membantunya. Boleh memang sedikit membantu tapi tidak boleh menangani hal – hal yang vital dan fatal. Entah itu apa saja. Yang pasti sejauh Ibu sendiri masih sanggup menanganinya, aku tidak boleh ikut campur. Aku? Cuma makan dan tidur. Mungkin sedikit ketik sana dan ketik sini. Hal yang sangat tidak cocok dengan lulusanku yang sedang bekerja sebagai seorang pemborong. 

Kejengkelan Ibu terlihat makin menjadi – jadi. 

“Apa sih susahnya menurut sama orang tua?”, ujar beliau. Sebuah kalimat yang puluhan ribu aku dengar dari kecil yang belum sempat aku bantah. Belum sempat argumen keluar dari mulutku. Tetanggaku yang memang suka usil lewat dan semakin memanaskan suasana. Mbak Kamisa namanya. 

“Lho? Kamu mau pergi ninggalin ibumu ini sendirian? Ngapain sih? Kayak kurang kerjaan saja? Kenapa tidak menjadi anak penurut saja. Enak di sini. Ngapa – ngapain sudah keturutan. Nggak perlu kemana – mana. Sudahlah”. Ia hanya lewat. Mau minta garam katanya. Tapi sikapnya memuakkan. 

Senyumku kecut. Aku tidak pernah merasa seterdesak ini. Aku marah. 

“Aku perlu kerja ibu. Aku perlu dibayar. Aku perlu merasakan bagaimana rasanya menerima gaji. Menerima dan merasakan kegembiraannya”. Kataku dengan hati – hati dan perlahan. 

Ibu berdiri dan marah besar. 

“Jadi selama ini. Kamu kerja sama ibumu sendiri ini, berani perhitungan? Berani itung – itungan!?!? Ibu mana yang pernah menagih apa – apa yang telah kamu makan? Terus apa saja yang kamu lakukan setiap hari di sini. Ha? Semuanya bebas. Gratis. Tak perlu ada perhitungan pembayaran”. Nafasnya memburu. Ibu jadi salah tangkap. 

Aku menghela nafas dan mengatur strategi. 

“Aku bukan perhitungan, Ibu. Tapi aku harus tahu bagaimana menghargai diri sendiri kalau aku bekerja untuk orang lain. Menghargai diri itu bagaimana. Taruhlah ibu hanya membayar aku 10 ribu sehari. Aku terima. Biar aku yang memutuskan untuk mengatur bagaimana aku menerima uang sebesar itu. Bukan masalah nominalnya, Ibu. Tapi tanggung jawabnya. Moralnya”. 

Ibu berpindah dari ruang tamu dan dengan kesal duduk di sofa ruang tengah. Tampaknya dia mau ini personal dan menjauh dari Pak Jumani. 

Aku mengejarnya dan berlutut memegang kedua tangannya. Air mata mulai menggenang. 

“Mungkin Ibu tak bisa sadari sekarang. Tapi apa akibatnya buat aku nanti? Lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, seandainya saja kalau Dedy tak memulai untuk belajar bekerja dari sekarang. Apa akibatnya? Suatu hari nanti Dedy jadi Pria dewasa, Ibu. Menikah. Berkeluarga. Menjadi Ayah yang punya anak – anak. Punya kewajiban menafkahi istri dan anaknya. Apa akibatnya kalau dari sekarang Dedy tak memulai langkah? Apa jadinya, aku ini?”. 

Aku menangis sejadi – jadinya. Bagiku ini kesedihan yang luar biasa. Aku harus bagaimana? Mesti selalu diam saja dan tidak bisa berkutik. Ibu sudah bertindak keterlaluan. Setiap saat aku menulis lamaran beliau selalu mengancam dengan mengatakan ‘Kalau kamu bisa lolos dari lamaran itu berarti kamu hebat”. Aku tidak mengerti. Aku capek. Aku tidak mau tidak menjadi apa – apa. 

“Aku mohon, Ibu. Aku cuma pengen bekerja. Itu saja”. 

Ibu tidak menjawab apapun. Tak sepatah kata apapun. Beliau diam dan semenit kemudian beliau menangis. Pak Jumani datang dan menenangkan, ekspresinya terkejut dan malah melayangkan rasa kesalnya padaku. 

Aku jadi bingung. Kenapa beliau menangis. Terluka hatinya kah? 



Beberapa saat kemudian Ibu beranjak ke kamar dan menguncinya. Meninggalkan aku sendiri dalam kebingungan yang menjadi – jadi. Aku sudah tumpahkan semua uneg – unegku. Itu bukan bantahan, mungkin upaya untuk membela diri. 

You know what? Aku malah tidak peduli. Keyakinanku untuk pergi besok menemui boss di Tretes semakin menjadi – jadi. Aku yakin sebenarnya Ibunya tidak melarang mati – matian. Aku yakin Ibu itu hanya tidak menginginkan dirinya yang sedari kecil sakit – sakitan dan lemah ini akan tercabik – cabik dimakan oleh kejamnya dunia dan bengisnya pekerjaan di luar sana. 

Tapi Aku sudah siap. 

Malam itu aku mengemas beberapa pakaian untuk menginap di Tretes. 



--- 

07.00 WIB 

Mbak Yuyun datang bersama Mas Eko, pak Supir menjemput. Ia berbasa – basi sebentar dengan Ibu dengan memuji betapa asrinya tanaman – tanaman di halaman kami. 

Kami harus berangkat. Keburu siang. Aku mencium tangan Ibu untuk berpamitan. 

Ibu tidak berekspresi apa – apa. Aku peluk beliau. 

“Aku berangkat”, bisikku. 



BERSAMBUNG

Komentar

Posting Komentar