MENGGURITA - 003 - BOSS BESAR




BOSS BESAR 



Perjalanan menuju ke Tretes memakan waktu sekitar 3 jam-an. Mas Eko, sang sopir tenyata orang yang lucu. Dia jenis orang Probolinggo yang berparas gelap dengan logat Jawa Timur – Madura yang lengkap. Sepertinya aku bakal akan akrab dengan model orang yang seperti ini. 

Mbak Yuyun yang hamil tua duduk di depan dan di sepanjang jalan ia menceritakan dengan rinci apa dan bagaimana perusahan yang nantinya akan aku hadapi ini. 

Dia sering tersenyum untuk mengungkapkan kegembiraannya. 

“Kamu akan senang kerja sama kami, Mas Dedy. Tenang, wis (sudah). Apalagi Boss kita itu orangnya baik. Dia pasti cocok sama mas Dedy”. 

Aku hanya melihat geliginya di kaca depan. Mas Eko yang kocak hanya menimpali sesekali dengan guyonan Jawa. 

“Kami itu perusahaan penjual alat musik, Mas. Kemaren kan mas Dedy sudah mampir ke tempat kami. Suara Musik namanya kan? Nah ini pusatnya, Mas. Mas yang bakal akan membantu di pusatnya. Membantu pak Boss. Boss kami namanya Pak Maryanto. Dia orang cina yang sukses sejak muda, Mas. Orangnya yang hebat. Kalian pasti cocok. Kamu akan senang kerja sama beliau”. 



Perusahan Musik itu dikelola lebih dari 30 tahun yang lalu. Pak Maryanto dulunya hanyalah seorang pengajar les musik yang nyambi menjual beberapa alat musik kecil semacam pianika atau suling, door to door. Dia dikenal sebagai orang yang tak gampang menyerah. Orangnya supel dan akhirnya banyak dibantu karena semua orang akhirnya menyukainya. Perlahan tapi pasti dia mulai mengembangkan usahanya hingga sekarang cabangnya berada di seluruh Indonesia. 

Pagi itu begitu cerah, tidak terlalu panas. Jalanan tak begitu macet jadi kami cukup cepat sampai hingga Bangil untuk melanjutkan ke dataran tinggi Prigen menuju ke Tretes. 

“Kamu akan senang kerja bersama kita, mas Dedy”. 

Kami tertawa karena Mas Eko menghitung kalimat itu telah diulang delapan kali oleh mbak Yuyun. 

Pikiranku melayang. Baru kali ini aku tesadar kalau nantinya aku akan terjun di bidang jual beli alat musik. Semoga saja tidak terlampau rumit. Aku sendiri sudah punya pengalaman menangani administrasi sepatu dan sebuah kafe di Sanur, Bali. Pastinya, model pekerjaannya, tak jauh – jauh dari itu. 

Kami sampai di sebuah tempat yang seperti kota kecil di pertengahan gunung. Sebuah tempat yang menurut mereka adalah penghentian terakhir dari angkutan umum. Untuk ke atas, ke Tretes bagian atas perlu mobil pribadi. Angkot hanya akan mengantar setengah jam sekali dan itu pun terakhir jam 5 sore. 

Sebuah dataran tinggi hijau tertutup awan mengintai dari atas. Menyapaku tak terlalu ramah. Sepertinya di atas dingin. Wilayah Tretes memang berada di kaki dan lereng pegunungan Arjuno-Welirang. Kami kali ini berada pada ketinggian rata-rata 600–900 m di atas permukaan laut. Pantesan dingin. Suhunya sudah mulai berkisar antara 18-22 derajat Celcius. 

Mbak Yuyun dan mas Eko menepi sebentar, membeli sesuatu dan segera memutuskan untuk langsung ke Tretes atas. Jam masih menunjukkan sepuluh lebih sekian menit, tapi sepertinya suasana terasa mendung atau keadaan mirip sore saja. 

Setelah melewati beberapa menit penuh kelokan dan rumah penduduk di lereng. Aku semakin curiga bagaimana nanti kantorku itu berbentuk? Vilakah atau rumah kuno? Kok rasanya aku seperti di film – film saja. 



Seperempat jam kami tiba di sebuah bangunan yang memang hanya kotak bentuknya. Bangunan yang sepertinya tak diselesaikan tembok luarnya. Di luar hanya ada rolling door menganga. Membuat kita seakan – akan diundang untuk buru – buru masuk. 

Rumah kotak itu kabarnya berlantai delapan. Kami menemui Boss di ruang kerjanya yang ada di lantai tiga. Dengan menenteng tas yang agak berat aku menaiki tangga demi tangga memasuki rumah, yang, nanti akan aku bakal bahas satu per satu. Luar biasa bentuknya. 

Kami ke lantai tiga, tempat yang satu – satunya, kedua sisi dindingnya terbuka sehingga kita bisa melihat lingkungan sekitar. 

Di tengah telah menunggu seorang yang tampan, keturunan cina, berumur sekitar 50 tahunan tapi masih terlihat sangat muda, bahkan imut – imut. Pastilah itu Pak Maryanto. Kabarnya memang dia orang yang cerdas. Dari senyumnya aku yakin omongan orang itu benar. 

Kami beramah tamah, di sampingnya ada mbak berpakaian ketat yang bohay, yang kemudian diperkenalkan sebagai Mbak Wiwik. Seorang hitam berkumis tebal, perwakilan toko di Surabaya, bernama pak Willy dan seorang yang pendek, berpakaian lusuh bernama Siti. Bukannya menuduh, Siti ini pastinya adalah seorang pembantu. Seorang pembantu yang ceria. Dia tersenyum riang dan langsung semangat menyajikan hidangan bagi para tamu. 

Kami sore itu menikmati rujak cingur sambil mendengarkan Pak Maryanto menceritakan bisnisnya di meja makan besar yang terbuat dari kayu, yang pastinya mahal harganya. 

“Kami itu pemasok alat musik, mas Dedy. Banyak barang kebanyakan kita datangkan dari China. Semua barang itu nantinya akan diproses dan disimpan di Jember. Pihak keuangan di sana akan menghubungi kita sebagai perantara dengan pemesan yang ada di seluruh Indonesia. Kita membaginya dua. Indonesia Bagian Barat, perwakilannya di Bandung dan untuk perwakilan Indonesia Bagian Timur kita tempatkan di Surabaya. Kita sibuk sekali mas Dedy. Kita butuh orang untuk mengawasi itu semua. Mencatat perhitungan angka harga alat musik yang tiap hari, bisa saja berganti harganya karena memang kurs mata uang berubah – ubah, “ terang Pak Maryanto yang ternyata masih bujang ini. 

Bapak Maryanto memegang lengan mbak Wiwik. 

“Sayangnya mbak Wiwik harus pamit undur dari jabatannya selama ini. Mau kawin ya, mbak?”, godanya. 

Semua di meja makan tertawa. 

Mbak Wiwik tertawa, tapi dengan lirih menjawab, “Nggak juga, sih Pak. Cuma pengen istirahat saja. Mencari udara baru”. 

Ekspresinya terlihat tertahan. Ada apa dengan mbak Wiwik. Bahagiakah dia? 

“Mas Dedy adalah pengganti dari mbak Wiwik.” Senyum pak Maryanto. Matanya tinggal segaris. 

Mbak Wiwik tersenyum padaku. Senyum kelegaan tapi juga alisnya menandakan kekhawatiran. 

Inikah pekerjaan Administrasi? 



BERSAMBUNG

Komentar

Posting Komentar