Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Sejarah Jakarta Fair Kemayoran


Salam budaya.

Saya orang Jember yang merantau ke Jakarta. Dari dulu saja, Saya sering mendengar istilah Pekan Raya Jakarta, yang cuma bisa Saya lihat di televisi. Nampaknya keren, kayak pasar malam (yang memang malam bukanya hahaha). Orang bisa bersukaria berjalan - jalan menikmati suguhan gratis, masuk ke beberapa pameran dan wahana, dihibur oleh artis pendukung dan belanja baik makanan atau pakaian yang harganya kabarnya cukup terjangkau.

Mimpi kalau Saya bisa ke sana.

Doa Saya terkabul. 2007 Saya minggat ke Jakarta. Di tahun 2008 Saya niat masuk ke sana. Niatan yang sangat kritis dan riskan hahaha. Karena Saya pergi dengan teman Saya, cuma punya uang saku 50 ribu. Perjalanan ke sana naik bis gratis dari monas, berdua beli tiket 20 ribu (tiketnya bisa ditukar dengan teh dan roti) jadi sisa 10 ribu. Di dalam cuma gigit jari karena gak bisa beli apa - apa. Hahahaha.

Kisah yang mengharukan, karena kami memutuskan untuk pulang.

Anyway, kisah itu jadi kisah optimis karena Saya berjanji akan ke sana lagi kalau punya uang lebih banyak dan Alhamdulillahnya tahun ini Saya berniat ke sana. Aaaamiiiin.

Sejenak kita pantau yuk sejarahnya, apa dan kenapa Pameran tahunan terbesar di Indonesia ini diadakan tiap tahunnya hingga tetap memikat pengunjung untuk setia datang.

Pasar Malam Gambir era Belanda 1922 (koleksi Troppenmuseum)

Dulunya, waktu Jakarta masih bernama Batavia dan kita masih dibawah kepemimpinan Hinda Belanda, mereka punya acara khusus berupa pesta seperti Pasar Malam Besar untuk merayakan penobatan Ratu Wilhelmina di Batavia. Sesuai dengan keputusan Pemerintah Gementee Batavia, acara ini akhirnya dipusatkan di Koningsplein (lapangan Monas atau lapangan Gambir saat ini).

Pasar Malam Gambir pertama kali dicanangkan tanggal 13 Agustus 1898. Ternyata ide pasar ini sangat berhasil, terbukti banyak sekali rakyat datang hingga pada puncaknya di tahun 1907 saat Van Heutz mengadakan pesta besar, disana macam-macam pertunjukan tonil ada, menurut buku almenak Hindia Belanda keluaran 1921, disebut pada tahun 1907 banyak sekali panggung-panggung, ditengahnya ada ring tinju, lalu ada kembang-kembang gula untuk anak-anak, ada lempar bola, ada olahraga ketangkasan, dan banyak orang menjual baju-baju.

salah satu stand Pasar Gambir 1928 (sumber foto: uniqpost.com)
Pasar Malam Gambir juga menjadi tempat gaul kerena para anak muda jaman dahulu. Mereka pamer dengan kendaraan bendi atau mobil ford T berkeliling Gambir, kebanyakan adalah sinyo-sinyo Belanda ataupun pemuda keturunan Tionghoa yang kaya raya. Malamnya diadakan pertunjukan lagu-lagu. Bahkan Grup Tonil Miss Tjitjih juga pernah tampil disini.

Pasar Malam Gambir sebagai Pasar Malam kesukaan orang Batavia menjadi bubar ketika Jepang mendarat di Pulau Jawa pada tahun 1942.


Nah semangat dari Pasar Malam Gambir inilah yang akhirnya melahirkan Pekan Raya Jakarta atau pertama kali disebut dengan DF atau Djakarta Fair. Untuk pertama kalinya digelar di Kawasan Monas tanggal 5 Juni hingga 20 Juli tahun 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto dengan melepas merpati pos sebagai simbolisnya. 

(koleksi Troppenmuseum)

Sebenarnya siapa, pemirsah yang punya ide melanjutkan gempita Pasar Gambir Besar itu?

Tersebutlah Haji Mangan, seorang yang bernama asli Syamsudin Mangan, seorang kaya di bidang tekstil yang sering datang ke pameran internasional. Pak Haji ini sayangnya sudah mulai dilupakan orang. Saya tekuni rekam jejaknya digoogle juga, gagal, karena fotonya sudah tidak muncul lagi. (Sayang ya... Moga ada pihak yang unggah fotonya)

Beliau saat itu adalah Ketua KADIN (Kamar Dagang dan Industri) yang punya ide brilian sebagai upaya untuk mengembalikan peningkatan pemasaran produksi dalam negeri yang ambruk karena tercorengnya kejadian G30S/1965. Gagasan ini beliau sampaikan pada bang Ali Sadikin, sang Gubernur DKI di tahun 1967. Pemerintah DKI merasa okay dengan ide itu dan ingin menyatukan beberapa pasar malam yang waktu itu telah ada di beberapa titik di Jakarta. 

Biar lebih yahud lagi, Pemerintah DKI  mengesahkannya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) no. 8 tahun 1968 yang antara lain menetapkan bahwa PRJ akan menjadi agenda tetap tahunan dan diselenggarakan menjelang Hari Ulang Tahun Jakarta yang dirayakan setiap tanggal 22 Juni serta membentuk Yayasan Penyelenggara Pameran dan Pekan Raya Jakarta juga dibentuk sebagai badan pengelola PRJ. 

Pak Haji Mangan sayangnya tidak bisa melihat impiannya sukses karena beliau wafat sebelum PRJ benar - benar buka.

Peresmian Djakarta Fair oleh Bapak Presiden Soeharto dan Ibu Tien didampingi Bapak Gubernur DKI Ali Sadikin 17 Juli 1971 di Halaman Monas (dari x.detik.com)


PRJ 1968 atau DF 68 berlangsung mulus dan boleh dikatakan sukses. Mega perhelatan ini mampu menyedot pengunjung tidak kurang dari 1,4 juta orang. Fantastis! Acara yang digelar pun unik. Kala itu digelar pemilihan Ratu Waria. Yang ikut 151 peserta dan boleh dikatakan cukup banyak kala itu.

Hasilnya? Kereeeen.

DF 69 jadi hits waktu itu dan merupakan PRJ terlama karena berlangsung 71 hari yang umumnya hanya 30 - 35 hari saja. Semuanya senang. Semuanya menikmati hingga menyedot pengunjung 1,4 juta orang. 


For your information, di kala itu udah ada pemilihan Ratu Waria ya. Pak Ali Sadikin memang dikenal sebagai Gubernur yang Out of Box. Bahkan Presiden Richard Nixon juga sempat berkunjung di kala itu.

Karena alasan kemacetan dan perkembangan produk dan pengunjung yang kian bertambah akhirnya dari Kawasan Monas yang hanya seluas 7 hektar PRJ pindah ke Kemayoran - Jakarta Pusat yang "selega" 44 hektar yang merupakan bekas Bandar Udara Internasional Kemayoran.

Bagaimanakah Djakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta yang kekinian di tahun 2018 ini?

Nantikan laporan Saya selanjutnya ya?


#ayokejakartafair

Salam budaya.



Komentar

  1. Sayang banget google tidak punya koleksi foto h mangan. Coba deh hubungi keluarganya, siapa tahu punya foto kakek buyut nya. Wkkk emangnya mpo kenal juga siapa cucunya.

    BalasHapus

Posting Komentar