MERESENSI DAN MENSINOPSIS FILM ALA SAYA

Dedy Kecil - Pongah



Dedy Kecil akhir - akhir ini agak susah tidur. Ia sering mendengar suara mini electone Casio PT 30 itu berbunyi dari rumah sebelah. Mengulik kupingnya yang pagi itu, seperti biasanya tetap saja mengeluarkan cairan. Entah itu cairan apa.

Bunyinya terus menyiksa telinganya. Tititit tititit tit it. Berulang tapi tak membosankan. Dedy Kecil berusaha mengerjap - kerjapkan matanya. Seperti biasa pula matanya juga tertutup. Semalam ia sudah mengolesinya dengan obat. Dia harus dengan perlahan membersihkan kotoran yang menutupinya supaya matanya terbuka. Sedikit tak nyaman tapi tetap perlu untuk penyesuaian pandangan, ia mengamati, menjelajah sudut kamar dan mencari dari arah mana suara kecil itu berasal.



Si alat kecil itu benar - benar membuat dia tersadar. Suara itu datang pasti berasal dari putra ibu tetangga yang tengah memencet - mencet alat itu dengan bahagianya. 

Ibu Dedy Kecil membuka pintu kamar depan dengan lembut. Memastikan putranya terbangun dan matanya terbuka setelah olesan salep matanya telah mengering.

"Ibu. Kapan - kapan boleh dong, aku pinjam piano kecilnya Santos. Pianonya bagus, deh, Bu. Bisa ngeluarin bunyi - bunyian."

Dedy Kecil mulai bisa memfokuskan pandangannya dengan jelas ke ekspresi Ibunya, namun responnya terlihat kurang senang.

"Itu milik orang, Dedy. Jangan sering - sering dipakai atau dipinjam. Kita gak sanggup beli kalau seumpama barang itu rusak. Pakai saja piano minimu. Sama aja kan?. Kamu banting juga tak apa. Itu milikmu sendiri, kan?".

Dedy Kecil teringat piano mini birunya yang terbuat dari kayu. Bentuknya memang bagus tapi hanya bisa berdenting tapi tak bisa mengeluarkan bunyi - bunyian yang bersahut - sahutan.



Dedy Kecil berusaha tidak mengeluh. Tapi sudah terlambat. Ibunya bukan jenis orang yang bisa dibantah. Mungkin ia tidak berpengetahuan yang sama, tapi mencoba menjelaskan sesuatu yang lebih teknis ke beliau tentu bakal menjadi hal yang sia - sia.

Ia mencoba turun dari tempat tidurnya dengan waspada. Pangkal pahanya yang begitu lemah dia coba turunkan terlebih dahulu. Ibu mengawasinya sambil mengingatkan untuk menghabiskan sop ceker ayam sepanci yang selalu Ibu dan mbak Jum sediakan demi menguatkan kakinya.

Dedy Kecil tak begitu memperhatikan. Ia hanya konsen dengan langkahnya dan sempoyongan berjalan menuju teras depan. Badannya agak hangat. Udara pagi itu masih begitu segar.

Santos di rumah sebelah, di bagian teras tengah memainkan Robot besar yang lagi - lagi mengeluarkan bunyi - bunyi yang lain, yang, Astaga, selama ini belum pernah ia dengar.

"Itu robot baru, ya?", tanya Dedy Kecil iri.

Santos tersenyum, "Ya. Mau coba? Lompatlah ke sini. Masih baru robotnya. Tak boleh dibawa kemana - mana kata Mama".

Dedy Kecil melihat situasi. Tetangganya ini hanya dibatasi satu gang dan memang perlu hanya melompat untuk sampai di sana. Tapi melompat adalah salah satu hal yang melelahkan baginya. Dia harus berpikir supaya tak terjerembab di usahanya itu. Dedy Kecil perlahan mengarahkan kakinya yang jenjang untuk turun perlahan dan melompat kecil saja; beringsut ke teras Santos.

Santos ini adalah putra ke 3 dari 4 bersaudara dari pasangan Oom dan Tante Huddin. Mereka keluarga baru yang beberapa tahun ini pindah menjadi tetangga kami. Keluarga mereka baik. Sepengetahuan Dedy Kecil, mereka juga keluarga yang tengah mengalami kesuksesan finansial. Oom Huddin jarang terlihat di rumah karena harus menjalani dinas ke luar kota. Pastinya mereka punya banyak uang. Santos dan kakak adiknya punya barang - barang yang menakjubkan.

Dedy Kecil tidak berkedip melihat dan meneliti robot baru Santos. 




Begitu robot itu dinyalakan sinar matanya mengeluarkan lampu merah, tangan dan kakinya bergerak seirama. Suara mesin dan geraknya, membuat hati Dedy Kecil berguncang dan sorak sorai bergemuruh.

"Bagus, kan?" tanya Santos memegang erat di dadanya, takut Dedy Kecil menjamahnya.

"Mau tahu, hebatnya apa lagi?". Dedy Kecil mengangguk dengan cepat, menunggu kejutan apa yang bisa dilakukan si Robot Merah Hitam itu.

Santos menyetel sesuatu di punggungnya dan terpampang jelas. Dada Robot itu mengeluarkan warna - warni dan siluet seperti film bioskop.

Wooooow..




Santos tertawa terbahak - bahak. Batin Dedy Kecil menangis. Ia pengen robot seperti itu. Robot yang dari perut dan dadanya menampilkan semburat warna - warni yang memikat.

Dari arah dalam muncul Tante Susi. Senyum dan bedaknya yang tebal tetap terlihat di kacamatanya yang besar dan berkaca gelap.

"Ahhh, Dedy. Sudah lama main sama Santos. Sudah tahu Robot Santos? Bagus, kan?", ujarnya sambil memilin celemeknya yang norak bermotif bunga - bunga.

Dedy Kecil mengangguk. Kakinya sudah lelah. Dia tak lagi jongkok tapi selonjor.

"Bagus, ya? Ya kan? Sering mampir ke sini aja. Main sama Santos. Eh, Dedy sudah mamam? Tante punya buah, nih."

Dedy Kecil hanya terperangah. Kenapa keluarga ini selalu punya hal - hal yang baru baginya.

Tante Susi keluar sambil membawa sesuatu yang berwarna merah tua, mengkilap mirip apel dan ada sesuatu putih yang menempel di permukaannya.

"Ini Apel mahal. Dedy pasti belum coba". Dedy Kecil menelan ludah sambil sudah separuh mengulurkan tangannya saat suara yang ia kenali merusak suasana.

"Dedy pulang. Dedy belum sarapan kan? Bu Susi jangan dikasih apa - apa dulu. Maaf. Sepurane. Takutnya nanti sakit perut. Kalau mau makan apel nanti saja, habis makan siang. Ibu ke situ atau kamu putar sendiri pulang ke sini?".

Dedy Kecil menyeringai kecut. Ia tak berani membantah. Kalau ketahuan ia menerima sesuatu padahal sudah dilarang, hal itu pasti dilaporkan ke Bapak. Kalau Bapak marah, pasti dia dipukul. Dia tak mau kena sabet sabuk lagi. Panas rasanya. Dedy Kecil kapok. Dedy Kecil tak mau dipukul. Ia langsung bangkit dengan susah payah memutari teras depannya dan masuk ke rumahnya sendiri.

Ibu tak berekspresi apa - apa. Ia cuma memerintahkan Mbak Jum mengambil kuah ceker ayam untuk makan pagi putra kelimanya itu.

Dedy Kecil mengerjap-kerjapkan matanya. Bibir bawahnya agak keluar menandakan ia tengah dalam keadaan jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa.



Ia tak paham. Sambil mengunyah perlahan makanannya. Ibu memangkunya. Beliau berbisik dengan perlahan,


"Kan sudah berulang kali Ibu bilangi dan ajari. Jangan suka usil dengan barang orang lain. Cukup dilihat saja, jangan dipegang atau bahkan dipinjam. Nanti kalau rusak, bagaimana? Kita nggak mampu. Ada masanya nanti kalau kamu mau berusaha, mencoba, nabung sendiri. Beli sendiri itu nggak masalah. Tapi itu kan punya orang lain, kalau ada apa - apa jangan sampai kita yang ganti, ya? Mulai besok Dedy cuma lihat - lihat saja, ya? Dan jangan lupa kalau ditawari apa - apa sama Tante Susi bilang saja terima kasih, ya? Ngerti?".


Dedy Kecil mengangguk tanpa sama sekali paham. Kenapa orang berbuat baik dilarang. Bukannya Tante Susi ingin berbuat baik menawari sesuatu. Bukannya dia orang kaya? 

Malam itu, Dedy Kecil bermimpi. Robot milik Santos itu tengah bermain piano canggih yang mampu mengeluarkan suara - suara ajaib.

---

Dedy Kecil melihat putra dan putri Pak Huddin tak nampak siang itu. Mereka adalah Mas Anton, Mbak Yayuk, dan Santos. Biasanya di hari minggu mereka bermain dengan Dedy Kecil. Mulai mainan yang tersederhana yakni bermain pasar - pasaran dengan beberapa tanaman Ibu atau yang lebih pelik, memamerkan mainan mereka yang semunya hidup dan bergerak.

Kali ini sepi. Dedy Kecil melongok sebentar. Tak ada panggilan jawaban. Ada sayup - sayup suara seperti logat orang asing berasal dari dalam rumah. Sepertinya suara orang Jepang yang ngotot.

Dedy Kecil masuk ke rumah mereka beringsut tanpa bersuara.

Di ruang tengah, Santos dan Mbak Yayuk tengah nonton tv dan film yang ada di layarnya menggambarkan seseorang yang berambut panjang, berapi dan menyala - nyala. Seru tampaknya.




Tapi Dedy Kecil yakin film itu bukan berasal dari siaran televisi. TVRI tak mungkin memutar film sebagus itu. Judulnya, katanya Megalomania. Film dari Jepang.

Dedy Kecil melongo. Baru kali ini ia merasakan apa yang berbau luar negeri, bukan Indonesia.

Lebih anehnya, film itu terputar dari satu kotak kecil di bawah televisi. Kotaknya berwarna abu - abu bercampur hitam. Begitu film itu selesai. Ia memuntahkan kotak layaknya kaset tape tapi berukuran lebih besar. Katanya itu Video. Kasetnya punya nama yakni VHS.



Dedy Kecil takjub sekali, bagaimana mungkin pita hitam itu bila terputar akan malah menghasilkan gambar ya? Ia cuma beberapa kali mengerjap-kerjapkan matanya dan dengan antusias yang tinggi bercerita pada ibunya.

Dia begitu bersemangat dan berisik menceritakan bagaimana sang pahlawan yang rambutnya kemerahan itu memang rambutnya menyala bak api berkobar. 

Ibu sebenarnya hendak menasehati dengan mengulang, kalimat - kalimat standar yang selalu beliau nasehatkan. Bahwa benda - benda itu bukan milik mereka dan jangan sering - sering ke sana hanya untuk minta diputarkan video.

Kali ini tidak. Beliau hanya memeluk erat sang putranya. Karena walaupun di peluk erat sekalipun Dedy Kecil tak henti bercerita tentang begitu hebatnya teknologi zaman sekarang yang telah mereka punyai.

Ibu tersenyum. Matanya berkaca - kaca. Hatinya menangis.

---

Ratusan kali berlalu Dedy Kecil tetap dengan rajin membersihkan matanya di pagi hari. Suara keramahan Ibu membangunkannya. Ibu tengah berbasa - basi dengan tetangga sebelah. Dedy Kecil beringsut mengintip dari jendela ruang tamu. Tempat favoritnya untuk mengintai.

Pak Huddin muncul tak seperti biasanya. Beliau seorang yang tampan, wajahnya kearab-araban dan mengenakan safari yang necis sekali.

"Proyek Saya memang banyak, Ibu. Kadang di Surabaya, kadang di Jakarta. Saya sebenarnya tidak mau sibuk tapi, ya kerjaan  yang nuntut."

Kemeja Safari

Mereka bertiga tertawa palsu. Ibu berusaha menghargai Pak Huddin dan sementara ini masih bisa menerima beropini kalau memang Pak itu sering bepergian ke beberapa kota besar layaknya perjalanan dinas, tapi entah di institusi atau perusahaan apa.

"Ma. Maaaa", panggil Pak Huddin ke istrinya. Bu Susi datang bak diatur, baju santainya yang mahal mirip daster penuh dengan lapisan - lapisan putih dan terawang melambai - lambai seolah mengklaim alam sekitar bahwa dia orang kaya.

Dia memang kaya. Tapi mungkin tidak sekaya itu. Itu yang terlintas di pikiran Dedy Kecil. Mau apa sih tante itu keluar dengan tangan yang menunjuk-nunjuk?

Ada apa sih sebenarnya?

Tante Susi sepertinya sekali lagi berpura - pura terkejut karena suaminya tengah berbincang dengan Ibu Dedy Kecil.

"Eh, Jeng ada di sini. Ini lho, " katanya sambil mengulang adegan menunjukkan tangan ke depan. "Mas Huddin ini sempat - sempatnya sibuk keluar kota, ya, kok nyempetin belikan Saya cincin dan kalung ini, Jeng. Bagus, nggak sih?"

Dedy Kecil tersenyum. Ya ampun itu toh tujuannya dia mengacungkan jari manisnya.

Ibu tersenyum juga. Lebih lebar. Senyum perpaduan. Kaum perempuan memang lebih rumit. Beberapa persen senyuman itu mengandung unsur kagum, iri, tapi beberapa persen ada unsur keluhannya. Tapi beliau tetap menekankan unsur takjub.

"Ya, ampun, Jeng Sus. Ini ya pasti mahal."

Roman muka Tante Susi hampir membuat silau pagi itu. Dia tersenyum sangat lebar membanggakan cincin dan kalungnya itu. Di pihak lain, kelaki - lakian Oom Huddin juga naik beberapa derajat. Puas rasanya bisa membuat para perempuan mengagumi prestasi pekerjaannya.

Ibu sekali lagi meningkatkan antusiasnya demi menyenangkan hati mereka dengan mengatur ekspresi wajahnya dengan sempurna. Itu pelajaran penting bagi Dedy Kecil. Pelajaran yang akan dia kenang seumur hidup.


---

Perjalanan mereka begitu indah di sepanjang ingatan Dedy Kecil. Karena karier Pak Huddin juga semakin berkembang.

Mereka tiba - tiba pindah suatu hari. Dedy Kecil hanya melongok sebentar ke beranda tetangganya. Tak sempat berpamitan. Dia sedih. Takkan ada lagi bunyi piano atau video. Tak ada apel atau buah dari luar negeri.

Ibu memandingnya dengan sendu,

"Mereka butuh tempat yang lebih luas, Le. Kamu tahu kan, putra putri mereka sudah mulai membesar. Rumah sebelah kan termasuk sempit", kata beliau dengan lembut sambil mengusap air mata Dedy Kecil yang yang membasahi pipi.

"Nanti, kalau ada waktu kita main ke rumah mereka, ya? Mereka masih tinggal di kota yang sama ini, kok. Nggak pindah ke luar kota. Sementara ini, main dengan mainanmu sendiri, ya, Nak".

Dedy Kecil adalah anak yang penurut. Walaupun kegundahannya dan kekecewaannya masih tersisa, ia hanya terdiam dan mulai merasakan bersyukur dia masih punya mainan yang tak sebagus punya mereka tapi ia bisa tetap bahagia.

Dedy Kecil melupakan keluarga itu sejenak. Atau mungkin selamanya.



BERSAMBUNG



Komentar

Posting Komentar