HARU BIRU DUA GARIS BIRU



Salam Budaya!

Saya punya beberapa grup WA di handphone, dan beberapa minggu belakangan ini sedang ramai dan mulai diperbincangkan satu film yang katanya sangat 'bobrok' dan 'tak pantas' untuk dilihat karena mengajari remaja kita melakukan seks bebas.

ARE YOU KIDDING ME? Jadi Badan Sensor kita meloloskan Film Biru, begitu?

Pasalnya, Dua Garis Biru dianggap film yang tidak pantas untuk dikonsumsi hak layak umum. Karena adanya adegan-adegan dewasa yang di pertontonkan serta menggambarkan kehidupan para remaja dengan pergaulan bebasnya. Maka, sangat disayangkan jika film semacam ini tayang dibioskop dan lolos oleh Lembaga Sensor Indonesia padahal menuai Kontraversi di tengah-tengah masyarakat.

diambil dari


Waduh!

Sampai sepertinya sangat perlu diadakan petisi bertajuk “Jangan Loloskan Film yang Menjerumuskan! Cegah Dua Garis Biru di Luar Nikah!” di situs change.org sejak April 2019.


Berisik banget ya, kenapa sih, ada apa? 

Ujung - ujungnya petisi itu pun ditarik. "Mohon maaf atas ketidaknyamanan akibat kesalahpahaman terhadap petisi kami. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan akibat petisi kami yang disalahartikan, kami memutuskan untuk menghapus petisi. Mari menjunjung tinggi etika dalam bermedia sosial,” demikian keterangan yang tercantum di laman petisi.

Tunggu. Ini kenapaaaa? Permasalahannya selalu sama. Ada kemungkinan mereka nggak nonton filmnya. Saya juga belum nonton filmnya. Untunglah PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) mengundang kami untuk nonton di Cinema XXI Blok M Plaza hari Jumat 19 Juli 2019 bersama para blogger. 

Nah ini saatnya, Saya nonton, sebenarnya seporno apakah sih film ini?

Astaga. Untung Saya tak tertawa. Saya malah menangis di sepanjang film. Sutradara sekaligus penulis naskah mbak Ginatrie (Gina) S. Noer benar-benar hebat. Bahkan Saya tak menyebut film ini film, tapi sepenggal potret kita, masyarakat yang awam akan pendidikan seks dan kegagapan dalam menghadapi putra - putri yang tertimpa musibah dengan kehamilan dini, yang berhasil diangkat dengan apa adanya.

Saya dan (the Best) mbak Gina

Film sederhana yang berkonflik murni dan tidak mengada - ada ini bercerita tentang dua sejoli yang tengah asyik masyuk, Dara (diperankan oleh Zara JKT48) perwakilan sang kaya, pintar dan mulus yang lagi dimadu asmara dengan Bima (diperankan oleh Angga Yunanda) sang bumi langitnya, tolol (pelajar yang digambarkan bodoh), miskin dan dekil (kemungkinan orang miskin digambarkan seperti ini).

dari www.riaria.com

Kedua mahluk lucu ini memang hubungannya terlalu dekat hingga akhirnya berbuat zina tanpa ada adegan apapun yang menggambarkan secara detail hubungan seksual (baik ciuman ataupun telanjang). Yang ada cuma adegan dimana mereka setelah berhubungan yang diawali dengan bermain dandan - dandanan, menggambarkan ekspresi mereka yang bingung dan takut karena menyesali apa yang telah mereka perbuat dengan tentu saja berakibat, Dara hamil. Itu saja.

Ini adegan paling tidak layak itu. Apa ini yang dituntut? (gambar dari cdns.klimg.com)

Klasik kan? Menurutku itu hebatnya film ini. Apa sih ujung-ujungnya kalau cerita macam begini. Sinetron kita telah penuh dengan ratusan rinai hujan air mata akibat cerita hamil di luar nikah. Ekspektasi Saya rendah dari awal. Ternyata Saya yang salah. Sutradara telah memasak sesuatu yang sederhana menjadi nikmat dan enak dipandang mata.

Konflik menakutkan dan memalukan bagi seluruh keluarga termasuk Dara dan Bima menjadi begitu dekat karena mereka adalah kita. Anak muda yang sebenarnya takut dan sama - sama tidak tahu apa yang harus dilakukan berikutnya.

Menggugurkan kandungan? Atau menceritakan jujur pada orang tua bahwa telah terjadi sesuatu yang terlarang? Bagaimana nasib sekolah dan respon guru, kepala sekolah dan teman - teman menanggapi semua ini?

dari blue.kumparan.com

Nah inilah sebenarnya inti keresahan dari film ini, Peranan Keluarga, Sekolah, Lingkungan dan Pertemanan yang seharusnya telah teredukasi dengan baik tentang Pendidikan Seks ternyata belum menjamah di dunia nyata. Pendidikan Seks itu bukan mengajarkan orang untuk berhubungan seks ya, itu yang selama ini menjadi salah kaprah. Pendidikan seks itu lebih ke mengenal dengan baik tubuh kita, apa yang harus ditanamkan ke anak didik kita bahwa hamil atau penyakit menular seksual itu adalah resiko yang bakal dihadapai kalau kita salah arah dan berubungan badan sebelum menikah resmi. Apalagi di usia muda, dimana tubuh masih mengalami proses yang belum siap dalam menanggung bayi bagi perempuan.

Obrolan ini juga digambarkan dengan nasehat dokter yang ada di film bukan dengan gaya ceramah tapi berkesan menasehati.

Pria juga punya peran dan fungsi yang sama dalam hal ini, tidak hanya menjadi beban bagi perempuan saja. Karena mengasuh dan mendidik anak itu tidak hanya kewajiban seorang Ibu saja tapi tanggung jawab berdua. Mental dan masa depan bisa berantakan kalau tidak siap dalam menghadapi ini semua.

Tidak mudah untuk menjadi Orang Tua (gambar dari cinejour.com)

Pak Eko Maryadi selaku Direktur Eksekutif PKBI mengacungkan jempol terhadap film yang tepat untuk mengedukasi remaja soal seks bebas.

"Saya pengin kasih rating dari satu sampai lima, saya akan kasih rating lima buat film ini. Kenapa PKBI tertarik membuka diskusi ini? Pertama, kita melihat bahwa sudah ada revolusi informasi, revolusi teknologi. Salah satu yang menjadi aktor dan berpotensi jadi korban itu adalah para remaja," tandasnya.

Pembahasan setelah Nonton

Tak heran ternyata Masyarakat khususnya kaum milenial menyambut antusias terhadap film dalam seminggu saja sudah meraup satu juga penonton. Minimal film ini telah jujur menceritakan betapa 'hamil di usia muda' menjadi beban tak hanya sang pasangan tapi juga orang tua dan masyarakat sekitar, dan tentu saja negara dan pemerintah. Sehingga sebenarnya Hak dan kewajiban mereka juga harus dipenuhi termasuk pendidikan dan pengetahuan tentang seks.

Mereka juga anak - anak kita semua. 

"Saya bersyukur ada organisasi yang konsisten yang hidupnya melindungi anak dan keluarga Indonesia. Ini adalah persembahan saya buat mereka para aktivis dan relawan yang bekerja untuk anak Indonesia," sambung sang Sutradara.

Penasaran kan, bagaimana akting memikat dari Angga Yunanda berduet dengan Zara JKT48. Film ini aman kok untuk ditonton untuk keluarga. Tapi lebih baik bagi teman - teman yang sudah menginjak SMP dan SMA yang pertumbuhan seksualnya telah mulai.

Salut untuk semua pemain. Ini film bagus. Cut Mini sebagai ibu dari Bima telah membuat Saya teringat Ibu dan menangis tersedu. Semua ensemble bermain hebat di satu scene UKS yang one take shoot sedang ramai dibicarakan di twitter karena memang memikat.

Keluarga Bima

Keluarga Dara

Ayo nonton "Dua Garis Film" dan jadikan ini bahan renungan dan pelajaran bagi kita semua.


Salam Budaya!

Komentar

  1. Seringnya masyarakat kita tu gitu..nggak buku, nggak film...blm nonton kadang dah pada rame duluan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah makanya itu kita harus selalu bisa introspeksi

      Hapus
  2. Don't judge a book by its cover.. kayaknya istilah ini lebih tepat buat film ini. Sebaiknya buat mereka yang mengganggap jika film ini mengajarkan hal tak baik, mungkin harus menonton terlebih dahulu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget nih. Tonton dulu apa yang menjadi maksud sang sutradara.

      Hapus
  3. Dari awal lihat posternya aja udah yakin ini filmnya bagus dan layak tonton. Cuma gak nyangka aja akan se-heboh itu di masyarakat. Karena film ini lulus di Lembaga Sensor ya kenapa nggak ditonton dulu sih sebelum diributin haha. Cumaaa sampai sekarang belum nonton juga nih. Belum sempat, ga ada temannya, dan takut nangis di studio huhuhuuu.

    BalasHapus

Posting Komentar