MENGGURITA - 006 - KERJA KERJA KERJA




KERJA KERJA KERJA 

Dua orang karyawan diperkenalkan lagi pagi itu. Namanya mbak Fatima dan Mbak Cici. Mbak Fatima adalah orang yang selama ini bertanggungjawab dalam inventaris gudang sedangkan mbak Cici adalah perwakilan dari kepala Gudang. 

Aku mengangguk – angguk mencoba dengan perlahan minum banyak pengetahuan yang sudah sedari tadi disodorkan oleh semua orang. Aku memang harus siap. Hari ini hari pertama aku kerja. Aku merasa masih meraba – raba dan belum tahu apa yang harus dilakukan. 

Mbak Wiwik yang memang rencananya aku gantikan ternyata, punya perjanjian khusus bahwa sebulan pertama ini ia akan menemaniku untuk menyusuri apa – apa saja yang harus aku lakukan dan kerjakan. 

Ia tiba – tiba muncul dengan buku tebal berwarna kuning. 

“Ini daftar harga, Mas Dedy. Tiap hari, minggu dan bulan ia bergerak naik atau turun, berubah sesuai dengan kurs mata uang Dollar, Dollar Singapura dan Yen Jepang. Ada 8 kali kenaikan dari harga beli impor asli, harga pembelian, harga distributor satu, dua, tiga, harga toko, harga gudang sampai ke harga pelanggan”. 

Ia dengan sigap menjelaskan bahwa adalah tugas pertamanya di pagi hari, setiap hari untuk menelpon BCA cabang terdekat untuk tahu kurs hari ini. Mencatatnya dengan baik. Kemudian dengan hati – hati menanyakannya ke pak Maryanto, memeriksa harga import aslinya dan dengan beberapa perhitungan persen, mereka berdua akan menemukan keseluruhan delapan jenis harga itu. 

Wait. 

Menggunakan apa? 



“Kalkulator.”. Seketika itu pandanganku agak buram. 

“Mbak, kamu selama ini memakai kalkulator?”. 

Mbak Wiwik tersenyum. Gingsulnya menyembul bangga. 

“Ya. Mas, kita belum ada komputer di sini. Mungkin nanti bisa diajukan atau diusulkan”. 

Mbak Wiwik kembali nyerocos sambil menerangkan sesuatu yang tak aku dengar. Aku hanya merasa heran. Ada perusahaan belum menggunakan komputer untuk penghitungan dasar harga jual barangnya. 

Pak Maryanto kan orangnya kaya. 

Hari sudah menjelang siang. Mbak Wiwik akhirnya menutup ceramah perekonomiannya dengan kalimat, 

“Semuanya harus kamu simpan baik – baik, Mas Dedy. Buku Harga. Suatu hari ini akan menjadi panduanmu. Cicil dengan baik. Mungkin kalau beruntung, mungkin dengan bantuan komputerpun, bisa empat dan enam bulan baru Buku Harga ini bisa kelar semuanya.” 

Aku menghela nafas. Itu sepertinya PR pertama. 

Kemudian aku harus menjalani pelatihan bagaimana cara memesan barang dari luar negeri. Bagaimana menerima laporan, mengirim laporan, memesan dan mengkonfirmasi semuanya melalui mesin yang namanya. 

Fax. 

Fuck. Bukannya seharusnya bisa dilakukan dengan email ya? Ini kan sudah jamannya internet. Apa lagi ini? Aku bakal mencatatnya sebagai suatu kemunduran kalau memang nantinya aku gagal mengusulkan bahwa komputer dan jaringan internet yang memadai adalah suatu keharusan. 

Aku masih membaca dengan cermat beberapa jenis dan merk alat musik yang nantinya bakal berseliweran karena aku penjualannya. Terlintas ada nama atau merk yang baru ku kenal, Behringer, Phil Collins yang ternyata merek drum. Belum lagi jenis - jenis Speaker. Atau Microphone. 



Ok. Malam nanti aku akan membaca itu semua. Ini bakal akan jadi PR berikutnya. 

Tiba – tiba mbak Yuyun mengingatkan sesuatu yang membuat pikiranku ambyar. 

“Mas Dedy kalau makan siang, silakan hubungi mbak Siti di bawah saja ya. Dia juga ada sesuatu yang mau disampaikan dari pak Maryanto”. 

Aku menatap ke mbak Yuyun. Ada apa lagi ini? 

Aku berlari dengan cepat ke lantai satu. Terdengar suara keramaian, seperti banyak orang bekerja di lantai dua. Aku masih belum pernah masuk ke lantai itu. Sepertinya ada serombongan tukang yang tengah mengerjakan sesuatu. 

Mbak Siti lagi memakai celemeknya. 

“Begini mas Dedy. Kapan hari itu kan sudah jadi tugas mbak Wiwik yaitu mengatur menu sehari – hari makan untuk pak Maryanto, beberapa karyawan, Saya dan para tukang. Mbak Wiwik setiap siang akan memberikan uang yang diberi pak Maryanto, menentukan menu makanan untuk besok, memeriksa daftar belanjaan yang Saya beli dan besoknya begitu lagi.” 

Aku terengah – engah. Kaget dan bingung. 

“Sebentar. Jadi. Aku itu. …. Tahu apa aku tentang masakan? Aku nggak tahu sama sekali, lho”. 

Mbak Siti tersenyum. Matanya menyipit. 

“Gampang saja mas Dedy. Mas Dedy tinggal sebut satu saja nama masakan. Biar saya nanti yang mengaturnya. Misalkan. Rawon. Ya udah nanti Saya akan atur masakan utamanya Rawon. Bahan – bahannya nanti Saya yang atur belinya apa. Nanti dari notanya, mas Dedy periksa saja. Apakah yang Saya beli cocok dengan yang Saya bawa masuk ke dalam.” 



“Itu nanti Saya yang tentukan jatahnya mas Dedy. Saya kasih kamu nanti uang per minggu untuk pengeluaran rumah ini”, ujar Pak Maryanto. 

Aku menoleh, mengucapkan selamat siang dan mundur untuk memberi hormat. 

“Itu nanti kita bicarakan. ya. Ikut Saya dulu, Mas Dedy, ada yang perlu kita bicarakan. Yuk, kita ke Ruang Raksasa”. 

Damn! 

Apa lagi itu. 

Kami naik ke lantai dua. Beberapa bongkahan batu masih menghalangi jalan menuju ke sana. Kami tiba di suatu ruangan yang berukuran sangat luas, mungkin sepuluh kali sepuluh meter. Bening sekali. Karena lantainya terbuat dari marmer yang kecoklatan. Di tengah – tengah ruangan, terdapat empat kursi kayu dan satu meja yang berukuran raksasa. Untuk duduk di atas satu kursi, orang dewasa harus memanjat terlebih dahulu melewati kaki – kaki raksasanya yang berwujud tangga. Inilah ruang raksasa. 

Beberapa pekerja tengah menggilas lantai dengan mesin. Pertanda marmer tengah mengalami penghalusan untuk sentuhan terakhir. Warnanya yang putih sangat terang dan menyolok dibanding dengan perabotan dan warna coklat dindingnya yang … astaga, apa itu jaritkah (kebaya) kah? Bukannya itu kain untuk menutup jenazah? 

List merah di pinggir lantai sangat mengganggu. Aku meringis. Aku menyesalinya karena sepertinya aku salah mengeluarkan ekspresi. 

Pak Maryanto mengenali itu sebagai kegelisahan, beliau bertanya, 

“Kamu kan lulusan Teknik Arsitektur. Kamu bisa lihat kan, marmer yang sudah selesai kami pasang. Warnanya putih. Sekarang, menurut kamu. Match, nggak sama warna dindingnya? Kalau nggak, seharusnya diganti warna apa?”. 

Aku berdiri setengah gemetaran. Suara pak Maryanto menggema di ruangan itu. Beberapa orang menghentikan pekerjaannya. Menunggu jawaban yang pantas dariku. 

Aku bengong. Bagaimana ya cara menjawabnya? 

“Ayo. Kalau jawabannya salah, nggak akan kumarahi, kok!”. 

Aku memberanikan diri. Bukan sebagai seorang yang berasal dari lulusan Teknik Arsitektur tapi lebih sebagai penderita OCD yang terganggu dengan list merah di sepanjang sudut ruangan. 

“Karena warna dindingnya coklat tua dan perabotannya sewarna, eee …. mending, warna marmernya jangan terlalu putih, Pak. Tapi mending coklat susu, atau pink cerah biar tak terlalu mencolok”. 

Pak Maryanto tersenyum. “Oh, begitu ya? Masuk akal jawabannya”. 

Beliau berteriak memanggil kepala proyek pemasangan marmer itu. 

“Besok pagi, aku nggak mau tahu gimana caranya, marmer ini sudah jadi coklat susu atau pink cerah.”

Mas – mas berhelm itu melotot dan berkacak pinggang, 

“Tapi, Pak. Ini kan kita baru finishing, lho”. 



Pak Maryanto melebarkan matanya, mengultimatum. 

“Bongkar!”. 

Aku menelan ludah. 







BERSAMBUNG

Komentar