Sekala dan Niskala - The Seen and Unseen Movie of Indonesia



Di pertengahan film, ada adegan dimana Tantri (diperankan secara apik oleh Ni Kadek Thaly Titi Kasih) sedang menemani anjing kesayangannya makan. Di dampingi oleh Happy Salma (berperan sebagai salah satu perawat di rumah sakit) yang bertanya, 

"Tantra adikmu?".
Tantri menggeleng.
"Dia kakakmu?"
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Tantri menimpali,
"Kami kembar"
Perawat itu akhirnya paham.
"Oh, kalian Kembar Buncing. Dia beruntung mendapatkan kamu. Kamu beruntung mendapatkan dia".

Perasaan Saya jadi mandeg. Malu. Seandainya Saya boleh browsing (kalau gak mau dikutuk sebelah kiri, yang kebetulan Ernest Prakasa dan sebelah kanan Saya Sam dan juga ada mbak Christine Hakim, karena menyalakan layar hape di bioskop), Saya hanya diam. Mungkin itu kunci dalam film ini.

Nyolong sebentar. Selfie.

Ceritanya sebenarnya menurut Sipnosis cukup sederhana tapi membuat kita berpikir:

Suatu hari di kamar rumah sakit, Tantri (10 tahun) menyadari bahwa ia tidak memiliki banyak waktu dengan saudara kembarnya, Tantra (diperankan oleh Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena). Kondisi Tantra melemah dan mulai kehilangan indranya satu per satu. Tantra menghabiskan waktu terbaring di rumah sakit saat Tantri harus menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani hidup sendirian. Tantri terus terbangun di tengah malam dari mimpinya menemui Tantra. Malam hari menjadi tempat bermain mereka. Di bawah bulan purnama, Tantri menari; ia menari tentang rumah, alam dan perasaannya. Seperti bulan yang meredup dan digantikan oleh matahari, begitu pula dengan Tantra dan Tantri. Bersama, Tantri mengalami perjalanan magis dan relasi emosional melalui ekspresi tubuh; antara kenyataan dan imajinasi, kehilangan dan harapan.


Sore ini Saya cukup beruntung karena Blomil (Blogger Mungil) diundang baik untuk press conference maupun Gala Premiere. Beruntung karena, entah kenapa, beberapa bulan lalu Saya berjanji untuk nonton film ini tapi entah bagaimana caranya. Karena kabarnya film ini adalah Film Festival.



Dan benar adanya Sekala dan Niskala adalah pembuka dari Plaza Indonesia Film Festival hingga 2 Maret nanti dengan tem Love Philosophy
Film Lainnya yang bersanding dengan Sekala dan Niskala
Nah, nah, nah
Sebelum Saya terima undangan, teman sekosan bilang, Film nya pasti berat-berat, ya Bang. Saya tersenyum (aslinya panik). Saya jelaskan, kemungkinan tidak kemungkinan iya. Toh akhirnya mereka tayang di bioskop yang merakyat macam Cinema XXI. (Fiuh!). Seberat apapun satu-satunya jalan kita memang harus nonton dulu, baru kita bahas apakah itu berat, apakah itu sebenarnya kita yang terbiasa menonton film yang hanya bereja ABCD tapi belum siap ke tingkat XYZ.

Teman sekosan saya manggut-manggut.
Bukankah biasanya film-film Festival itu tak kita mengerti apa yang mereka sampaikan?

Lebih Panik Lagi
Saya tersenyum bijak. 

Berpikir dengan keras selama 2 menit untuk mendapatkan jawaban yang cukup sakti. 

"Menurutmu Spongebob itu lucu?", tanyaku asal.
"Lucu lah, Bang!, kata dia 
"Darimananya?,"
"Bentuknya. Kotak. Dari Sponge. Itu saja cukup menggelikan".

Saya mengangguk.

"Kamu tidak membahas jalan ceritanya? atau filmnya?", tanyaku menjebak.
Dia mengernyit,
"Gak Bang! Kadang nggak ngerti, kadang mereka kejar-kejaran gak jelas. Tapi lucu, tanpa tahu artinya apa."

Saya menunjuk ke arah itu.
"Itulah keindahan dunia seni. Khususnya seni layar gambar gerak. Kita sebagai penikmatnya sangatlah berhak untuk membuat pendapat keindahan dari sudut pandang manapun kita lihat. Mungkin bahkan tidak sesuai atau tidak seperti yang diharapkan pembuat filmnya. Tapi dia juga tidak berarti gagal. Itu namanya interpretasi. Keindahan interpretasi dalam melihat film itu begitu penting. Apalagi kalau itu film-film festival, kita penontonnya benar-benar diberikan ruang seluas-luasnya untuk menterjemahkan gambar, atau gerak atau akting yang dibawakan oleh sang pemain atas arahan sutradara dan kemauan penulis. Kalaupun itu berakhir dengan diskusi, selalu akan ada pembicaraan yang menarik dari sudut pandang manapun. Tak ada yang benar, tak ada yang salah. Tak ada yang buruk, tak ada yang baik".

Saya akhirnya paham.

eh kepergok!

Ya itu sebenarnya wawancara Imajiner antara Saya dan Saya sendiri. Ok. Abaikan.

Dan itulah yang terjadi di saat Saya menonton film ini. Ingat pemirsah, Film ini telah mendapatkan penghargaan bergengsi dari 

  • Unggulan di Film Tempo 2017 untuk Pemain Anak Terbaik, Skenario Terbaik, Sutradara Terbaik, Film Terbaik
  • Tokyo FIlMex 2017 - Japan Premiere Grand Prix Winner
  • Best Youth Film Asia Pasific Screen Award di Brisbane
  • Toronto International Film Festival (TIFF) di Kanada
  • Berlin Film Festival untuk Kategori Generation KPlus for The Best Film
  • Busan International Film Festival - Asian Premier A Window on Asia Cinema Competition
  • Singapore International Film Festival 2017 - Southeast Asian Premiere - Silver Screen Awards, Competition
  • Dubai International Film Festival 2017 - MENA Premiere - Cinema of The World
  • Yogya - NETPAC Asian Film Festival 2017 - Indonesia Premiere - Golden Hanoman Award
Para pemenang kebanggan dari Indonesia - Sang Koreografer Ida Ayu Wayan Satyani


Kamila Andini dan penghargaan di Berlin
Kamila Andini sendiri lahir di Jakarta 6 Mei 1986. Lulusan Sosiologi dan Seni Media dari Universitas Deakin, Melbourne Australia ini memang sangat tertarik pada gejolak sosial budaya, kesetaraan gender dan lingkungan hidup yang akhirnya membuat wanita ini membuat film yang beda sudut pandangnya berupa bertutur cerita. Di tahun 2011, ia merilis film pertamanya, "The Mirror Never Lies" yang membidik kehidupan pelaut lepas di lautan Indonesia. Film ini telah merantau ke lebih dari 30 festival film termasuk, Berlinale, Busan, Edinburgh, Seattle dan menerima penghargaan lebih dari 15 buah dari semua itu. Dua film pendeknya "Following Diana" dan "Memoria" menceritakan isu wanita di pinggiran Jakarta dan konflik di Timor Lesta. "The Seen and Unseen" ini adalah film keduanya yang dikembangkan bersama di Program Cinefondation Residence dari Festival Film Cannes dan didukung oleh Hubert Bals Fund, Asia Pasific Screen Awards Fund dan Doha Film Institute Grants. 


Tapi ingat atas penghargaan hebat. Pemirsa jangan terbebani sendiri. Nikmatilah saja apa yang dilukis oleh Sang Sutradara, Kamila Andini selama 86 menit. Nikmati koreografi yang panjang dan melelahkan yang ditampilkan anak-anak atas arahan mbak Dayu dengan latihan selama setahun.
Nikmati keindahan Bali dengan sawahnya yang menghijau, Bulan Purnama yang terang atau suara merdu, mbak Ayu Laksmi (sang Ibu di Pengabdi Setan) yang nembang Bali.








Kecantikan Penata Kamera : Anggi Frisca

Sambil meresapi bahwa di Bali ada adat namanya Sekala (Duniawai/The Seen/Nyata) dan Niskala (Gaib/The Unseen/Tak Terlihat) dimana Bayi kembar Buncing (berbeda kelamin) bila lahir di kalangan kerajaan dianggap keberuntungan, dimana mereka harus dipisahkan dalam membesarkan tapi suatu hari harus dipertemukan dan dikawinkan. Sedangkan di luar kerajaan dianggap sebagai Aib karena dianggap di dalam kandungan sudah berhubungan seksual. Mereka harus dikucilkan, menjalani ritual pembersihan yang nantinya juga akan mengalami perkawinan.

Sekala dan Niskala (Instagram The Seen and Unseen)
Hubungan absurd kedua anak inilah yang coba diusung film ini, yang juga banyak menggambarkan keseimbangan hidup. Bahwa hidup ini akan semakin seimbang kalau kita percaya dengan apa yang terlihat dan yang tak terlihat. Imajinasi mungkin suatu kata yang kadang orang tua sudah lupa, tapi bagi anak-anak, dunia imajinasi itu sangat luas dan membuat mereka lebih peka terhadap alam sekitarnya. Semua dibalut dengan keindahan Bali yang tentu saja sudah mempesona seluruh dunia. Adat dan atmosfer mistis serta kepercayaan mereka masih sangat kuat dan melekat.

Film ini baru akan tayang 8 Maret 2018 mendatang. Penasaran kan?

Mari kita cintai Film Indonesia.

Mari kita cintai Budaya Indonesia.

Salam Budaya.

Dari Kiri Ke Kanan dengan Sutradara Kamila Andini, pemain Tantri dan Koreografer

Bersama Mbak Christine Hakim

dengan Mas Garin Nugroh yang ternyata Ayah Kandung sang Sutradara

dengan Mas Rangga Buana dari Teater Koma






Komentar