Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

ENGKLEK - CERITA PENDEK



Berita kematian Angeline di Bali jadi bahan pembicaraan empuk bagi masyarakat di daerah kami. Orang tiba-tiba saja mengkhawatirkan keselamatan putera dan puteri mereka dimanapun saja mereka berada. Sekolah, tempat bermain, alun-alun, pasar, kebun, sungai - tak ada yang aman. Semua tempat itu seakan - akan telah diintai oleh sepasang mata yang besar namun tak kelihatan. Bersembunyi dari kejauhan. Menunggu saat yang tepat. 

Ponadi tak ke pasar hari ini. Ia mengeluh capek dan terbangun hampir menjelang asar. Bukan adzan yang membuatnya tersadar, tapi beberapa kali alunan suara kentong mengganggu tidurnya. 

Ia memicingkan mata dan menoleh ke ibunya yang sudah muncul dari bilik rumahnya yang sederhana. 

"Suara apa itu, Mak?", nadanya gelisah, penuh kekhawatiran. 

Ibunya yang tak begitu peduli menjawab dengan asal, "Seharusnya ya tanda bahaya. Kalau nggak, kucing atau ada anjing ketabrak, ternak dicuri, kalau nggak ya mestinya ya ada anak yang hilang". Tangannya yang tua tengah mengiris daun pepaya untuk masakan buat selamatan nanti malam. 

Ponadi sedikit merinding. Ada anak hilang? Apa benar bisa, kejadian seperti Angeline itu terjadi di desanya, yang tak tercium harta kemewahan ini? Apa benar iblis ketamakan telah masuk dan mencabuti rumput - rumput kehidupan yang rimbun dan tengah mekar itu? Dia sedikit berkeringat. 

"Ada anak hilang mestinya, Mak". Dia menoleh dengan kesungguhan yang luar biasa. 

Ibunya menggeleng. "Bukan urusanmu, Pon. Yang penting kamu anak Mak dan kamu baik-baik saja. Sekarang cepat mandi dan ambil bumbu pecel di Mak Saenah. Masakan ini harus jadi dalam dua jam". 

Ponadi putra yang patuh, mengangguk. Dia hanya sempat membasuh muka dan segera pergi mengitari dua kebun pak Wakir untuk sampai ke Mak Saenah. Jalannya tak cepat. Sore masih panjang, dia berjalan lambat seraya melihat jemari kakinya sambil sesekali menghirup aroma lamtoro yang tumbuh di sepanjang jalan setapak itu. Kakinya terhenti beberapa saat. Di pekarangan tak jauh dari rumahnya. Beberapa anak main engklek. Mereka melompati beberapa kotak yang nanti akan menjadi "sawah" yang bakal jadi miliknya bila telah tertandai dan terlempar batu. 



Ada Wiji, anak Pak Mul yang berdiri dengan tertawa memegang perutnya. Sementara Parlan, dengan baju kotornya, beberapa kali terjungkal karena melompatnya ketinggian. Di sampingnya ada dua anak lain yang sedang jongkok. Tak terlihat. Mereka sedang berpikir keras, menikmati dan berusaha memenangkan permainan itu. 

Ponadi melintas mereka dengan cemas. Siapa yang mengawasi anak-anak itu nanti ? Bukannya beberapa saat yang lalu ada pengumuman anak yang hilang ? Ngerti nggak ya, mereka ? Ponadi dengan cemas memacu langkahnya, segera mengambil bumbu pecel ke Mak Saenah, menghantarkannya ke ibunya dan bergegas kembali menemui anak-anak itu dengan rasa khawatir yang begitu tinggi.

Mereka menoleh serempak melihat Ponadi datang membawa air muka kegelisahan. Wiji, yang berkepang dua, paling besar di antara anak - anak itu bertanya dengan heran dan penasaran. Mereka berhenti bermain sejenak. 

"Ono opo, Lik Pon?" Matanya yang polos jadi sedikit mengendurkan kegelisahan Ponadi. Dia merasa tak boleh menakuti mereka. Mereka harus merasa cuma main. 

"Ojo sampek Maghrib ya, mainnya! Segera pulang kalau wis gelap.", katanya dengan penekanan hati - hati.

Anak anak yang berumur sekitar 5 sampai 10 tahun itu mengangguk taat. Wiji tersenyum. 
"Sini. Ikut main, Lik Pon?". 

Ponadi menolak halus. Anak anak terlihat kecewa. Buru-buru ia meralat, "Sesuk, wae yo? Lik Pon mau bantu Mak e dulu. Masih ada Slametan malam ini. Yo?". 

Semuanya mengangguk dengan lucu. 

"Heri, giliranmu, saiki!", perintah Wiji yang membuyarkan pikiran Ponadi. Dia tiba-tiba merasa kikuk. Entah kenapa dia merasa wajib menjaga anak-anak itu. Padahal Saudara bukan. Anak pun bukan. 

Ponadi beringsut meninggalkan pekarangan itu dengan kecamuk di hatinya. Malamnya ia demam. Ia beralasan sakit lagi hingga tak bisa bantu Maknya berjualan di pasar. Ia terbangun di jam yang sama seperti kemarin. Suara derit pintu belakang rumahnya yang membuatnya terjaga. Beberapa detik kemudian suara bertalu-talu muncul sekali lagi dari kejauhan. Kali ini lebih gaduh. 

"Itu ada apa lagi, Mak?" Kali ini ia benar-benar basah akan keringat. 

Suara Maknya lebih bergetar.

"Ono anak ilang lagi, Pon. Heri, namanya. Dia ponakannya Mbah Jati yang tukang sumur itu. Maknya, Yu Ragil, teriak-teriak nangis dari semalam. Anakku ilang. Anakku ilang. Kemana ya, Le?" . Baru kali itu Ponadi melihat Maknya ikut merasa cemas.

Jantung Ponadi seperti jatuh melompat. Dia segera berlari ke pekarangan belakang. Wiji sedang bermain sendiri. Menekuni kotak - kotak sawahnya dan melempar cuilan genteng untuk menandai hasilnya. Ia melompat dengan kaku. Rambutnya yang terkuncir, menjuntai dengan gelisah. 

Ponadi memegang tangannya dengan hati-hati. "Heri, kemana, Wiji? Sopo sing mampir ke sini? Yang menjemput dia kemarin, sopo?". 

Wiji menangis. "Aku ndak tahu, Lik Pon. Kenapa ya semua orang tanyanya begitu. Dia pergi. Ya udah. Heri kalah. Heri kan kalah." Dia menunjuk petak permainan itu. 

"Kalah piye?". tanya Ponadi merinding.

Sesenggukan, Wiji menjawab, "Kan perjanjiannya, kalau kalah dan gak punya sawah, ya harus pulang. Kan kalah itu namanya. Ya Heri harus pulang to yaaa". 

Suara tangisnya makin mengeras. Ponadi agak menyesal bertanya hal itu tadi. Mereka tak tahu apa-apa. Dia malah menakut-nakuti anak perempuan itu. 

Cup. Cup. Cup. Ponadi menenangkan sambil memeluk Wiji. 

Wiji merajuk, "Ikut main, sini, Lik Pon. Aku sendirian. Janji nanti, kalau ada yang kalah. Harus pulang. Temani aku sepermainan saja, ya? Kan Lik Pon kemarin sudah janji." 

Ponadi mengangguk meluluskan permintaan. "Janji ya. Yang kalah, harus pulang?". 

Wiji mengangguk sambil mentautkan kelingkingnya ke Ponadi sambil tersenyum. Ponadi pun mengambil cuilan genteng dan mulai mengawali permainan itu. Dia melemparkannya ke arah kotak dan mulai melompatkan satu kakinya melewati sawah-sawah itu. Kepalanya sebenarnya agak pusing. Tapi ia melanjutkan melompati satu per satu. Keringatnya dingin mengucur. 

Angin sore tiba-tiba berhembus dengan gelisah. Dia melewati kotak sawah orang lain. Ia setengah berteriak. "Aku kalah, Wijiiii". Dia membalikkan badannya dan melihat Wiji tengah berurai air mata. 

"Lik Pon, kalah. Lik Pon harus pulang". 

Dia menunduk. Ponadi merasa pusing yang luar biasa dan gelap.

... 

Suara tabuh, gendang apapun bertalu-talu keesokan harinya. Menyusuri desa Anom Asri.
Mak Rohiyah menangis semalaman dan beberapa kali pingsan. 

Ponadi menghilang.


Komentar