Kaya atau (Setidaknya) Merasa Kaya

Saya pernah, sedang dan masih pengen kaya!

Salam Budaya!

Akhir - akhir ini Saya bertemu dengan beberapa klien yang cukup membuat Saya tergelitik untuk bertanya - tanya mengenai apa sebenarnya arti kaya itu.

Wealth
is an abundance of valuable material possessions or resources.

(menurut wikipedia). 

Kaya itu ternyata kalau terjadi kalau kita punya KELEBIHAN harta benda atau penghasilan atau materi yang bernilai.

Setuju?

Tunggu dulu.

Suatu hari di Suatu Acara bertajuk Pameran Rumah Impian, Saya bertemu dengan seorang yang baru kenal tapi langsung lancara mengeluh (dengan berlebihan) tentang betapa susahnya kehidupannya, betapa susahnya dia menjalani kehidupan ini hanya dengan mengandalkan pekerjaannya, betapa susahnya dia mencari apa yang semua orang cari yaitu uang, dan ujung - ujungnya dia mengklaim dirinya orang miskin.

Sepertina ada sesuatu yang menjadi salah kaprah.

Jangan gampang mengaku dan memaksa Anda adalah orang yang miskin
Poverty 
is the shortage of common things such as food, clothing, shelter and safe drinking water, all of which determine our quality of life. It may also include the lack of access to opportunities such as education and employment which aid the escape from poverty and/or allow one to enjoy the respect of fellow citizens.

(lagi - lagi menurut Kitab Ilmu persilatan Wikipedia)

Orang miskin adalah orang yang kekurangan atau kesulitan dalam memperoleh sesuatu hal - hal umum yang penting dan menentukan kualitas kehidupan seperti makanan, pakaian, tempat berteduh, air bersih yang layak minum, bahkan pendidikan dan pekerjaan.

Saya membalas keluhan orang itu dengan senyuman. 

Mas - mas itu adalah pria di awal 30 tahunan, cerdas, berkulit bersih dan tampan. Pekerjaannya adalah Jurnalis pemula. 
Saya bahkan berusaha menanggapinya dengan serangan pertanyaan balik yang cukup ekstrim,

"Apa Mas itu itu buta? Tidak bisa melihat? Apa Mas itu jelek orangnya? Gak ganteng? Apa Mas itu (maaf) tidak utuh salah bagian tubuhnya? Hanya punya satu tangan mungkin? Apa Mas hari ini belum sarapan atau tidak sanggup membeli makanan? Apa Mas memperoleh baju yang Mas pakai sekarang dengan meminta orang?"

Orang itu melongo. Diam.Tak bisa menjawab balik. Bagai tersambar sesuatu yang jelas itu karena bombardir pertanyaan dan bukan petir.

"Lalu, miskin apanya? di mananya?"

Salah satu peserta acara tersebut mengajak diskusi dengan memanggil saya di hari yang lain.

Menurut Abang ini, di kehidupan kita ternyata ada 3 level kemakmuran yang ujung - ujungnya sebenarnya berakhir dengan nama kekayaan.

Apakah kaya itu suatu kesuksesan? Ataukah Kesuksesan itu berawal dari kekayaan?
Level 1 
Orang yang Mencari kehidupan (mencari kekayaan)

Level 2 
Orang yang Menjalani kehidupan (sedang kaya)

dan

Level 3
Orang yang Menikmati kehidupan (udah merasa kaya dan biasa - biasa saja)

Saya mengangguk-angguk saja dengan ceritanya dan dan bertanya balik:

"Sampeyan di Level mana?"

Dia tiba - tiba mengeluh karena masih ada di Level 1, sangat ingin menuju ke Level 2 dan selalu merasa bertemu dengan orang - orang dari Level 3 yang yang malah membuatnya kian stress dan amburadul.

Lagi-lagi saya tersenyum dan bertanya,

"Menurut Abang, Saya di Level mana?"

Hmm, dia tiba-tiba mengarahkan pandangannya ke Saya, secara kilat menilai Saya lewa cara Saya berpakaian, menaksir dengan subyektif berapa harga baju Saya, dan mungkin di salon mana Saya terakhir mencukur rambut, dan dengan sinis, dan hampir tanpa basa-basi ia menjawab,

"Mungkin di Level 2"

"Oh ya? Apakah kalau Saya bilang Saya sudah di Level 3, Abang bakal percaya?"

Ia menggeleng.

"Apakah kalau saya bilang Abang sudah di Level 3, Abang akan percaya?"

Dia membantah.

"Gak mungkin, Mas!"

"Naik apa Abang kemari?", langsung kusambar dengan pertanyaan itu.

"Taksi."

"Kenapa?", tanya Saya balik.

Kemudian dia bercerita bahwa dia punya semacam trauma yang tak membolehkan dia naik sepeda motor dan mengharuskan kemana - mana naik taksi.

"Abang, menikmatinya?"

"Ya!", katanya tegas.

"Itu ada di Level 3 kan?".

Ia melongo.

Saya menceramahinya dengan segala beban kehidupan di Jakarta ini yang makin berat yang tak semua orang mampu menukarnya dengan naik taksi ke mana-mana.

Baru kemarin saya juga sempat chat dengan teman di Jember. Dia baru saja membaca buku dari KH. Yusuf Mansyur mengenai sedekah sebagai kunci menjadi kaya.

Di ujung cerita, Saya sendiri juga sempat berpikir keras. Akhirnya Saya sadar kalau ternyata, Orang yang bersedekah itu adalah salah satu "identitas kekayaan". Identitas orang yang mau berpikir kalau dirinya seharusnya lebih beruntung karena masih ada orang yang perlu dan harus dibantu. Di lain cerita tetap saja ada orang yang kemudian mau tetap menjadi miskin yang ternyata kisahnya cuma terletak pada kehilangan suatu sisi materi saja yang sebenarnya takkan pernah benar - benar hilang, masih bisa kita peroleh  lagi begitu kita berusaha.

Jadi jangan sembarangan mengatakan Anda Miskin, ya?
Setuju?
Hmm.

Siapkah Anda?
Enjoy menjadi miskin tapi sebenarnya masih kaya?

Salam Budaya!

Komentar

  1. Setuju! Enjoy your life! :)

    And, sedekah pangkal kaya:)

    Keren, Kak.

    BalasHapus

Posting Komentar