Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Kisah Dedy Kecil - Ibu Prihatin




Namanya Ibu Prihatin. Ia seperti biasa datang lebih pagi dari matahari. Memakai bedak berlebihan dan sedang berbincang hangat penuh semangat dengan Ibu di pinggir jalan depan rumah. Entah apa yang dibicarakan tapi Ibu menanggapi beliau dengan serius. Sesekali ada raut kecemasan di wajah kedua orang itu dan bahkan beberapa kali Ibu sempat menutup mukanya dengan basuhan tangan kosong. Sepertinya dia merespon suatu kesedihan entah apapun itu.

Jalanan rumah masih melompong. Satu dua tukang sayur dan beberapa becak melintas. Udara masih dingin. Beberapa orang yang lewat menyapa dengan bahasa Madura yang lantang. Ibu sesekali membalas sapaan itu walaupun tidak yakin itu siapa karena mata beliau tak sanggup melihat jauh.

Dedy Kecil mengintai dari ruang tamu dari kaca jendela. Berharap ia segera bisa mencium tangan ibunya, berpamitan, menerima uang saku dan cepat kabur berangkat sekolah. Tapi terlihat beberapa kali mimik ibunya terbersit kekalutan. Dedy Kecil tak tega.

Beberapa menit kemudian pembicaraan itu usai, terlihat dari cara Ibu menutup mantelnya ke dalam sisi pinggannya, Ibu masuk dengan bersikap santai seolah hal yang ia alami tadi tak pernah terjadi. Pura - pura kah Ibu?

Dedy Kecil segera menggamit dan mencium punggung tangan ibunya sambil bertanya,

"Ibu punya masalah dengan Ibu Prihatin?"

Ibu merapihkan rambutnya dan menggelungnya sambil mengangguk dan mengulurkan uang seribu rupiah, uang jajan Dedy Kecil pagi itu.

"Hutang?", sembari memasukkan ke sakunya, Dedy Kecil merasa harus tahu dan harus menjaga Ibunya kalau ada apa - apa.

Ibu tersenyum dan dengan lembut menjelaskan,

"Segala permasalahan keuangan Ibu, kamu gak semuanya perlu tahu ya? Biar Ibu sendiri saja yang hadapi. Ibu cuma perlu sabar dan prihatin saja. Prihatin menghadapi Ibu Prihatin."



Dedy Kecil tak begitu bahagia mendengar jawaban itu. Ia memeriksa sebentar tali sepatunya dan dengan semangat melangkahkan kakinya menuju ke sekolahnya yang bisa sekitar 45 menit ditempuh. Cukup untuk bermain - main dengan pikirannya.

Pandangan Dedy Kecil melayang membayangkan Ibu Prihatin dengan sasaknya yang tinggi dan lipstiknya yang merah menyala. Rumor memang beredar di kalangan ibu-ibu, ia adalah seseorang yang sangat berurusan dalam hal pinjam meminjam duit. Orangnya membawa tas kecil, kemana - mana, kabarnya ada buku di dalamnya yang berisi catatan lengkap sesiapa saja yang hari itu siap untuk dia datangi dan tagih. Kalau nggak orang yang menunggak, pastinya ada saja orang yang ingin menego untuk hutang yang baru.

Matahari mulai terasa hangat di perempatan jalan dekat bioskop Kusuma. Dedy menyeberang dengan hati - hati. 

Ia menghela napas, masih berpikir keras dan merasa benar-benar tak menyangka kalau ibunya bakal berurusan dengan Ibu Prihatin dan mulai bertanya-tanya seberapa besar sang ibu punya tanggungan dan untuk apa sebenarnya kepentingan ibu menggunakan uang itu hingga harus meminjam ke Ibu Prihatin.

Entah.

Dedy Kecil dengan sedih merasakan kepedihan. Bapak sudah meninggal. Kasihan Ibu harus menanggung beban yang sangat berat menghadapi hidup ini. Menyekolahkan kami, berlima, yang sedang giat-giatnya belajar.

Hari mulai beranjak. Dedy Kecil menyegerakan berjalan kakinya. Sebentar lagi sekolah telah sampai, tapi Ia tetap ingin berjalan agak santai. Ia tak mau seragamnya basah oleh keringat.

Pikiran tentang Ibunya yang bertemu dengan Ibu Prihatin masih terbayang di otak sederhananya. Mengganggunya.

---

Keesokan harinya ada saja drama di depan rumah. Di kerumunan ibu - ibu yang sedang belanja di Wlijo (Orang yang menjajakan sayuran yang meletakkan tampah di atas kepalanya), terdapat Ibu Prihatin yang sedang ditenangkan oleh Ibu Dedy Kecil. Sesekali Ibu Prihatin mewek. Mukanya terlihat pucat. Tanpa dandanan sama sekali. Putih kayak mayat kaget setengah mati. Sesekali ia merangkul Ibu. Drama kecil itu juga menyayat ibu-ibu tetangga lainnya. Mereka memberikan dukungan dan menguatkan dengan beberapa kali mengucapkan kata Istighfar atau sabar. Entah mana yang asli, entah mana yang palsu. Karena Dedy Kecil yakin, Ibu Prihatin ini bukan jenis orang yang menjadi kesayangan masyarakat sekitarnya.

Dedy Kecil mengintai di jendela kaca ruang tamu, melakukan itu sebagai rutinitas pagi. Menunggu uang saku dari Ibunya. Seribu Rupiah.


Drama itu akhirnya berakhir. Sekumpulan Ibu-ibu itu pun buyar dengan sendirinya. Dedy Kecil merasa lega, pertanda uang sakunya bakal cair. Anehnya Ibu malah menggelandang Ibu Prihatin masuk ke rumahnya.

Hei. Hei. Dramanya ternyata berlanjut ke dalam rumah.

Ibu dengan lembut memperkenalkan Dedy Kecil ke Ibu "Versi Pucat" Prihatin.

"Ini Dedy, Ibu Prihatin. Putra saya yang kelima."

Dedy Kecil sungkem. Ibu Prihatin membalasnya dengan membenamkan tangannya ke dadanya. Memberikan ekspresi prihatin. Hampir-hampir menangis.

"Ibu Prihatin ini sedang dapat musibah. Beliau ini diusir oleh anaknya sendiri. Sekarang, Ibu Prihatin nggak tahu harus pergi kemana. Biar beliau tidak bingung. Ya, sudah, biar istirahat dulu di rumah kita, ya?" terang Ibu penuh dengan welas asih.

Dedy Kecil mengangguk. Dari arah belakang, kakak perempuannya muncul dengan tanda tanya yang sama.

"Mulai nanti malam, biar Ibu Prihatin menginap kalau beliau mau. Tidurnya sama Ibu. Nanti kalau kalian makan atau punya makanan yang masih bisa dibagi. Jangan lupa sama Ibu Prihatin, ya? Sekarang beliau anggota keluarga kita." Ibu menerangkan persis seperti Ibu - Ibu PKK.

Dengan haru, Ibu Prihatin menanggapi,

"Mereka anak-anak yang nurut, ya, Jeng. Coba saja anak saya seperti mereka". Dia mewek sekali lagi. Mukanya yang pucat berkerut jadi semakin bertambah. Kesannya membuat kami begidik.


Kami memandangi drama itu dengan aneh. Tidak salahkah ini? Bukannya Ibu Prihatin ini orang kaya yang jarang dapat kesusahan? Kenapa pagi ini dia hanya mengenakan Daster dan Roll Rambut dan berurai air mata? Apa yang terjadi? Ini nyata kah?

Dedy Kecil menanggapi hal itu dengan ekspresi yang kurang tepat karena benar - benar bingung bagaimana seharusnya menyikapi kejadian ini. Ada tamu yang bakal menginap di rumah dan tamu itu berupa Ibu Prihatin yang Dedy Kecil tah, beliau itu jenis orang yang sombong, kejam, tak berperikemanusiaan dan jangan lupa, sinis.

Dedy Kecil tersenyum kecut. Sambil menerima uang saku dari Ibunya dan langsung berpamitan dengan mencium tangan Ibunya.

Ia berjalan dengan pikiran penuh kecurigaan. Ia ingin segera sampai ke sekolah dan mendiskusikannya dengan teman sebangkunya. Takkan ada jawaban yang pasti. Tapi ia tetap perlu seseorang untuk curhat.

---

Sore itu adalah sore pertama kami duduk bersama di ruang keluarga dengan Ibu Prihatin.  Ruang itu cukup besar untuk beberapa aktivitas sekaligus. Dedy Kecil sedang mengerjakan PR di meja tengah yang berhadapan dengan televisi. Ibu seperti biasa menyelesaikan sulamannya berupa sprei besar dengan beberapa hiasan bunga dan sulur daun yang cukup rumit.  Mbakku tengah membantu Mbak Jum menggoreng Sukun dan Pisang di dapur. Adikku sedang sibuk mengedip-kedipkan matanya sambil sesekali menyisir bonekanya. Masku yang lain tengah menulis sesuatu di bukunya berdua dengan temannya di meja makan. Kami sedang sibuk. Ibu Prihatin menyapu pandangannya ke seluruh ruangan dan memperhatikan kami satu per satu.

Dengan nada mirip seorang Ibu Peri ia bertanya pada Dedy Kecil,

"Dedy sedang ngerjain apa?". 

Mukanya yang pucat mendekat. Pori-porinya aneh. Mungkin bedak yang digunakan jenis yang murah. Membekas tak keruan di kerutan wajahnya.

Dedy Kecil tersenyum dengan sopan dan berusaha membalas dengan basa basi tingkat tinggi.

"Ini Ibu. Ngerjain PR. Matematika."

Ibu Prihatin memasang muka trenyuh dan memegang dadanya. Ia memandang Ibu dengan penuh keharuan.

"Putra Ibu ini benar benar membanggakan ya, Bu!"

Ibu memperbaiki letak kacamatanya yang besar sembari tersenyum lebar. Ia tengah lebih sibuk membuat dedaunan dengan sulamannya yang penuh detail.

Ibu Prihatin kembali memandangi Dedy Kecil.

"Di sekolahnya. Ranking?", tanyanya dengan nada penuh drama.

Dedy Kecil menjawab dengan senyum lebih basi lagi.

"Ya, Ibu. Tapi bukan ranking satu."

Ibu Prihatin mengeluarkan desahan bersuara O yang panjang dan mulai menjilat lebih parah,

"Duh, Senangnya pasti Ibu ini. Bisa membuat anak-anak menjadi seperti begini. Mau belajar bersama. Di sekolahnya ya, pinter-pinter. Padahal fasilitas mereka itu apa ya, di sini juga ternyata biasa saja. Tak ada yang mewah".

Ibu menurunkan sulamannya sebentar.

"Kami memang terbiasa begini, Ibu Prihatin. Hidup apa adanya. Anak-anak terbiasa belajar ya caranya begini, apa adanya juga. Ngerjakan PR, ya boleh sambil nonton TV. Di meja makan sana, yang lebih besar juga lagi belajar. Besok ada ulangan. Ya, Ini yang kami punya. Ndak ada yang ditutup-tutupi. Ya ini apa adanya", terang Ibu sambil mencopot dan memasukkan kacamatanya ke dalam wadahnya.

Keterangan ibu barusan seperti sebuah jawaban pembelaan. Bahwa kami biasa-biasa saja. Kami bukan orang kaya. Tapi juga tidak miskin. Dedy Kecil berpikir itu pasti salah satu jawaban untuk urusan beliau dengan Ibu Prihatin. Bisa jadi ada kaitannya dengan keuangan atau pun hutang.

Ibu Prihatin mengeluarkan senjatanya yang paling mutakhir. Mewek.

"Makanya saya sedih banget, Bu. Kenapa sampai anak saya mengusir saya. Saya nggak punya siapa siapa. Saya nggak punya apa-apa." Sumpah, Ibu Prihatin terlihat lebih menyeramkan. Tak tega memberi penilaian bahwa ia Jenis Ibu berwajah menakutkan.

Dedy Kecil memutar otaknya. Kenapa? Apa yang terjadi sebenarnya? Alasan apa Ibu Prihatin bisa diusir oleh anaknya? Bukannya selama ini mereka punya rumah sendiri-sendiri? Bukannya mereka juga bukan orang miskin?

Mbakku keluar dari dapur dan membawa sepiring penuh Sukun dan Pisang Goreng. Ia berusaha senyum (sedikit) dan menyuguhkan piring itu ke depan meja.


Ibu tersenyum dengan lebar. Ia berusaha menenangkan Ibu Prihatin dengan lembut.

"Sudahlah Ibu Prihatin. Nggak usah dibahas lagi. Tenangkan hati dulu. Ayo, kita makan ini. Makanan sederhana. Cuma ada Sukun dan Pisang Goreng. Monggo. Ya cuma ini yang kita punya, lho Bu Prihatin."

Ibu malah tertawa kecil sambil menyodorkan garpu dan piring kecil ke Ibu Prihatin itu.

Ibu Prihatin pun tersenyum dengan terpaksa. Kamipun demikian.

Masku di ujung sana malah sedikit memicingkan mata. Curiga. 

Tapi kecurigaan itu makin menghilang. Paling tidak selama seminggu kemudian. Karena Ibu Prihatin tepat di hari ketujuh. Pagi-pagi benar. Ia telah menghilang.

---

Urusan Ibu Prihatin tak pernah menjadi pembicaraan kami lagi. Beliau hanya tiba-tiba menghilang dan Ibu tak pernah bercerita apapun tentang Wanita Berbedak Tebal itu hingga hari ketiga, dimana puncak drama itu mulai terkuak.

Minggu siang bolong. 

Rumah kami tercinta. Suasana sedang sepi. Hanya ada Dedy Kecil dan Masnya yang sedang membaca dan nonton TV. 

Suara Bel rumah berdenting 3 kali. Dedy Kecil membuka pintu kayu besar itu dan berharap tamu yang datang membawa keberkahan.

Dan ternyata berdirilah Ibu Prihatin dengan bibirnya yang kembali merah menyala. Bedaknya tetap sama, sedikit bertabur sana sini, berantakan dan kekuningan. Tapi sasak rambutnya telah berdiri dengan sempurna di singgasananya.

Dedy Kecil terkesiap. Sepertinya ini adalah sebuah tanda yang memang telah diperingatkan jauh - jauh sebelumnya. Ini jawaban tanda tanyanya selama ini.

Ibu Prihatin didampingi dua orang besar, berbadan gempal, berjaket kulit dengan muka yang sama-sama seram. Mereka pasti bodyguard, atau penagih hutang persis seperti yang di film-film Dedy Kecil tonton. Beliau tertawa sinis.

"Hey, anak manja! Jangan mentang-mentang kehidupanmu biasa-biasa saja, ya. Terus kamu, kalian, melupakan apa yang sudah menjadi tanggung jawab Ibumu, ya! Aku nggak akan kasihan lagi. Kalian ternyata masih bisa hidup enak, ya?. Masih bisa belajar, masih bisa sekolah. Huh! Nonton TV. Sore masih bisa makan sukun dan goreng pisang. Ngaku-ngakunya gak punya apa-apa! Sudah nggak usah bohong lagi. Saya sudah selidiki keluarga ini selama seminggu saya nginep di rumah ini. Ternyata kalian nggak seperti yang kalian omongkan. Mau bilang apa, kamu, Ha?!?".

Ibu Prihatin mendorong dengan keras Dedy Kecil hingga membentur pintu depan. Dua penjaga berbadan besar itu pun menyeruak masuk siap diperintah dan sigap memeriksa apakah situasi di dalam rumah aman.

Ibu Prihatin membentak,

"Ada siapa saja di dalam? Mana Ibu, Ha?!!?"



Dedy Kecil menjawab dengan menahan suaranya yang bercampur aduk takut, marah dan gemetar,

"Ibu lagi keluar ada urusan. Cuma saya dan Mas."

Diam-diam Mas, berlari ke arah dapur dan mengambil pisau kecil dengan penuh amarah. Ia sudah mengendus kecurigaan ini beberapa waktu yang lalu dan Ia siap membela kehormatan keluarganya.

"Ibu Prihatin, Apa yang harus kami angkut?", tanya salah satu penjaga itu. Entah Dedy Kecil merasa berlebihan atau sekedar fantasinya, wajah salah satu Penagih hutang itu benar-benar gambaran orang jahat di film. Ada luka di wajahnya, gondrong dan brewokan.

Mas berdiri di belakangku dan menempelkan tangannya yang memegang pisau. Ia bergetar penuh amarah. Dedy Kecil berusaha menenangkannya dengan menahan tangannya sekedar mengingatkannya bahwa urusan ini tak usah menjadi lebih besar dan panjang.

"Hmm, apa ya? Mending TV saja. Kalian ternyata masih punya barang mewah di rumah ini. Kalian masih bisa enak-enakan, lho. Nonton TV itu mewah, lho. Ingatkan itu pada ibumu!".

Kedua raksasa itu bergerak mendekati TV.

Dedy Kecil panik dan memohon,"Stop. Tolong jangan ambil TV kami, Ibu. Itu satu-satunya hiburan kami kalau malam hari. Kami tidak punya apa-apa lagi selain TV buat kami kumpul di ruang tengah ini. Tolong. Saya mohon. Kalau bisa jangan TV itu."

Mas hanya diam. Dia ingin bergerak tapi ditahan lebih keras oleh Dedy Kecil. Urusan ini tak boleh ada darah yang mengalir.

Dua penjaga itu berpandangan dan menunggu keputusan Ibu Prihatin. Ia berdiri dengan angkuh. Dagunya terangkat, tapi matanya tiba-tiba sekilas tergambar rasa kasihan. Terdengar suara getir di jawabannya.

"Ada barang apa lagi yang berharga di ruangan ini selain TV?"

Dedy Kecil harus mengambil keputusan dengan cepat. Kenapa harus dia. Mana Ibu? Tiba-tiba di bayangannya yang lebih super cepat, terlintas ia butuh Bapak dan teringat almarhum Bapak. Ia tidak butuh Masnya yang masih terengah-engah dan coba ia tahan karena menghunus pisau dapur.

Ia menyapu sebentar pandangan ke arah empat puluh lima derajat dari dia berdiri. Satu-satunya yang bisa dijual dan berharga adalah Mesin Jahit Singer milik Ibu.


Aduh, kenapa harus itu pilihannya, sih? Mana yang lebih penting? Bukankah Ibu harus menjahit untuk menambah ongkos jajannya tiap hari? Bukannya itu adalah mesin yang sangat berguna bagi Ibu. Bukannya itu adalah mesitu itu adalah hal yang sangat berharga bagi Ibu.

Mata Dedy Kecil memerah. Ia tak mau menangis. Ini masalah yang tak akan selesai hanya karena menangis. Ia harus memutuskan sesuatu. Ia kepala keluarga sekarang. Ia menggantikan Bapak.

"Mesin Jahit Singer itu saja, Ibu Prihatin. Bawa saja. Itu mesin yang termasuk baru. Dia sudah modern dan canggih. Bawa saja itu kalau Ibu mau. Itu masih berharga kok, kalau dijual."

Ibu Prihatin tertawa. Ia dengan tega memerintahkan,

"Okay, kalau itu maumu. Ya, udah. Bawa TV dan Mesin Jahit Singernya sekalian. Ternyata ada dua benda yang berharga di keluarga ini".

Dua pengawal tadi merangsek ke dalam lagi dan mengangkat dengan enteng TV dan Mesin Jahit Singer dan keluar untuk meletakkan barang sitaan itu ke mobil Pickup.

Dedy Kecil dan Mas cuma terdiam. Terkesiap. JMas membatalkan amarahnya. Pisaunya tak jadi bicara apapun. Entah mereka yang bodoh atau Ibu Prihatin memang mahluk paling terkutuk di dunia ini. Beraninya hanya bisa mengancam dua mahluk kecil. 

Dedy Kecil tak sanggup berkata apapun. Ia menyesal.

Ibu Prihatin tertawa lagi dengan nada yang menyenangkan dirinya.

"Salam sama Ibu mu ya, Ded. Ibu Pamit dulu".

Dedy Kecil dan Mas, berdua terduduk lesu memandangi tempat TV dan tempat Mesin Jahit yang kosong. Sambil terus menerus berusaha merangkai kata yang benar. Apa yang harus Dedy Kecil terangkan ke Ibunya nanti.

_____

Agak sore Ibu datang.

Ia hanya berkata dengan santai waktu melihat Dedy Kecil menatap dinding kosang depan meja tengah,

"Lho TV nya mana? Mesin Jahit Ibu dimana?".

Dedy Kecil cuma bisa menubruk Ibunya. Tak berani menangis. Tak berani cerita. Bingung harus bilang apa.

"Diambil sama Ibu Prihatin. Sama dua bodyguardnya".

Ibu membelai kepala Dedy Kecil.

"Ya, sudah. Malam nanti, kita kumpul di ruang tengah saja ya, bercerita-cerita saja ya? Nggak usah nonton TV dulu."

Beliau tertawa dan dengan lembut dan berbisik,

"Besok Ibu beli TV lagi. Nah cerita lah, Gimana kok bisa Ibu Prihatin milih TV sama Mesin Jahit Ibu?".

Dedy Kecil terdiam. Ia cuma merangkul Ibunya lebih erat. Tak mau bercerita apa-apa.



Akhir 1989
Kenangan di Jalan Kenanga






Komentar