MERESENSI DAN MENSINOPSIS FILM ALA SAYA

Terintimidasi


Salam Budaya!

Ya profesi Saya sehari-hari adalah seorang Tarot Reader. Banyak yang bilang itu sekedar freelance. Banyak yang juga bilang bahwa pekerjaan ini banyak tersisa waktu alias menganggurnya daripada kerja 9 to 5 nya. 

Saya cuma bisa meluruskan kalau memang benar adanya bahwa pekerjaan Saya ini masih menyisakan banyak waktu dan kesempatan bebas untuk mencicipi kehidupan lain yang lebih berkualitas.

Tiba-tiba saja, suatu hari, Saya memutuskan untuk bekerja (lagi). Bukan untuk mengkhianati profesi Saya sendiri, tapi untuk lebih memberi makna pada waktu yang kosong melompong itu. Dengan sedikit browsing dan tanya kanan kiri. Saya menemukan dua perusahaan besar yang kabarnya berani membayar karyawannya dengan gaji tertinggi dalam hitungan hariannya. Ok. 

Saya cenderung memilih salah satu dari pilihan itu karena Perusahaan yang satunya menawarkan pilihan waktu kerja yang gila - gilaan. Saya butuh santai, memanfaatkan waktu dan menikmati uang dengan pekerjaan segampang mungkin.

Lamaran saya diterima. HRD mengisyaratkan dan mengundang Saya untuk interview tahap terakhir sebelum nego gaji. Untuk menyegarkan ingatan Saya akan perusahaan - sebut saja B ini - Saya membaca latar belakang sang Pemilik Perusahaan B hingga sesukses sekarang. Perjalanan yang sangat menarik untuk dibaca dan mengagumkan. Saya ingin jadi dia. Saya ingin sesukses dia di Perusahaan B ini.


Wawancara yang Hampir Selalu Mengintimidasi
Hari itu tiba. Saya sudah mampir di gedung mereka yang punya kantor di ruang bawah tanah. Tanpa cahaya dan aliran udara alamiah. Kotak - kotak kantor dan sekat - sekat putih menampilkan kantor elegan yang membuat saya yakin. Inilah pilihan Saya seandainya Saya harus ngantor lagi. Elit. Mewah. Representatif.

Ruangan tempat Saya wawancara juga tak berhias apapun. Putih. Tembok, kursi, meja dan 2 atau 4 carik kertas di atasnya. AC nya menghembuskan udara dingin yang membuat grogi.

Seorang wanita gemuk berkulit gelap masuk dengan gempita,

“Welcome, mas Dedy. Halo saya A. Saya kepala HRD di sini. Overall, Saya sangat - sangat suka dan menerima mas di sini. Resume dan nilai bagus. Hasi tes juga memuaskan. Dan jangan lupa. Multitalenta. Wow. Pada dasarnya Kami telah menerima mas Dedy apa adanya. Saya senang sekali dan sangat berharap mas Dedy bisa bergabung bersama kami secepat mungkin. Tapi sayangnya masih ada satu tahap lagi yang harus dilalui mas Dedy. Sebentar lagi ada interview dengan salah satu pegawai kami. Kebetulan ia adalah Floor Manager. Memang ia kelihatan tidak berkaitan dengan penerimaan pegawai. Tapi ia dari kami yang tertua dan terpandai. Apapun hasilnya kita akan akan menerima dari sudut pandang dia. Kalau menurut dia mas Dedy baik. Kami sangat bersyukur. Kalau dia menolak, dengan sangat terpaksa kami tak bisa menerima mas Dedy sebagai pegawai”.

Okay. Saya menurut saja. Walaupun masih terkesan aneh. Yah, mereka yang punya peraturan. Saya mengalir.

Mbak itu pergi meninggalkan Saya sendiri. Entah karena hembusan AC yang cukup kencang atau memang ada setan di ruangan ini. Secarik kertas di hadapan saya terbuka.

Di situ dengan keadaan terbalik, Saya baru paham. Kenapa Mbak itu begitu memuji saya. Karena semua item yang diujikan semuanya A. Ya Ampun. Itu lembar nilai Saya. Kenapa bisa terbuka begitu ya. But wait, ada yang tidak A? Apa itu?

Saya coba membuat gerakan memutar kepala supaya daftar nilai itu terbaca lebih jelas. 
B. Ada nilai B? Atas apa? AMBISI? AMBISI Saya B? Saya tidak berambisi begitu? Ataukah Saya terpergok oleh tim HRD kalau tujuan Saya bekerja hanyalah mengisi waktu dan itu dikategorikan tidak AMBISI? Tidak AMBISI terhadap apa? 

Nilai itu cukup mengganggu. Cukup mengintimidasi.


Tak Perlu Menilai Orang Berdasarkan Rambut Panjang dan Bertato
Beberapa menit kemudian seorang pria berambutpanjang dan bertato muncul. Orangnya tinggi besar. Keren. Entah kenapa dia adalah jenis manusia yang merasa dirinya tak mau dijangkau dengan mudah oleh siapapun.
Perasaanku tidak enak.

“Sudah mendengar alasan yang diberikan oleh Ibu A tadi, mas Dedy?”, bukanya tanpa tedeng aling - aling.

Saya mengangguk dan tersenyum. Entah kenapa tubuh saya menghangat. Saya punya keyakinan baru.

“Ok, Saya sih tidak mau terlalu panjang lebar. Saya hanya ingin mas Dedy menjawab pertanyaan yang saya berikan. Kalau jawabannya memuaskan Kami menerima mas Dedy. Tapi kalau tidak ya berarti tidak. Okay?”.

Itu kalimat pertanyaan berikutnya setelah dia menambahkan dirinya bahwa dia adalah seorang lulusan luar negeri yang sudah beberapa kali dipekerjakan oleh perusahaan besar dan dipercaya sebagai orang yang sanggup menentukan siapa yang berhak diterima di perusahaan B ini.

Mengagumkan. Itu pikiran prasangka baik saya.

“Ok. Saya hanya ingin tahu. Apa yang sebenarnya mas Dedy inginkan ketika mas Dedy memilih untuk kerja di perusahaan B ini dan apa yang ada di bayangan dan apa yang bakal mas Dedy lakukan seandainya sudah bekerja di sini?”.

Pertanyaannya standard. Alhamdulillah. Saya bisa menjawab pertanyaan ini.

“Terima kasih. Mas. Kenapa Saya ingin bekerja di perusahaan B ini karena saya pernah membaca riwayat dari Pak T sang pemiliknya. Menurut saya, ...”

“Stop. Saya tidak butuh jawaban seperti itu. Jawaban Anda muluk - muluk. Maaf ya Mas Dedy. Saya gak suka. Saya tidak menerima mas Dedy.” ujarnya penuh dengan arogan.

Paling Tidak Dengarkan Dulu Pendapat Orang Lain
Kening Saya berkerut. Ini wawancara paling TIDAK SOPAN yang pernah saya alami.

“Maaf, mas. Kalimat Saya belum selesai. Tolong hargai jawaban saya. Biarkan saya selesaikan jawaban saya setelah itu mas boleh meresponsnya apakah Saya diterima atau tidak. Okay?”.

Dia sepertinya menerima tapi dengan ekspresi enggan dan tak peduli. Manusia yang bodoh.

“Saya hanya ingin menegaskan betapa beruntungnya bisa bekerja di perusahaan B ini. Karena saya pernah membaca riwayat pak T dalam membangun perusahaan ini dari awal. Ia memulai semuanya ini dengan hobby. Menurut Saya betapa beruntungnya, sekali lagi, orang bisa bekerja di suatu tempat dimana hobby bisa dilakukan dan menghasilkan uang.”


Orang yang Paling Beruntung di Dunia ini adalah Orang yang Punya Kesempatan Mengerjakan Apa yang Ia Sukai
Mas Floor Manager itu bergeming.

“Ya. Terima kasih. Tetap saja tidak mengubah pandangan Saya. Maaf kami tidak bisa menerima mas Dedy sebagai pegawai sini. Selamat siang.”

Hanyalah akan menjadi lebih bodoh bagi Saya kalau saya kalap, khilaf atau melakukan sesuatu yang menyerang balik. Saya hanya mengucapkan terima kasih, selamat siang dan mendoakan semoga bertemu kembali di kesuksesan mendatang.

Selesai sudah.

Beberapa minggu kemudian, entah ini benar atau tidak, Saya mendapatkan bocoran dari orang dalam. Seusai wawancara siang itu, Mas Gondrong berTato itu ngamuk dan menggelar rapat dengan seluruh HRD. Intinya hanya menegaskan, jangan pernah sekalipun menerima orang seperti mas Dedy di perusahaan mereka. Kalau orang seperti itu masuk dan menjadi pegawai, hanya 2 atau 3 bulan ia bisa dengan gampang menggeser kedudukannya.

Jadi? Selama ini Intinya Cuma Kalian Merasa Terintimidasi oleh Hak Saya? Kenapa Gak Omong Jujur? Ya Sudah Kalau Begitu. Ambil Saja. Habiskan Sendiri!

Hidup Harusnya Lebih Santai
Pemirsah, Saya menemukan tulisan bagus dari sini
Bagi orang yang terlahir dengan bawain Dominan (demikian biasa disebut dalam ilmu psikologis) sudah merupakan keharusan bagi dirinya untuk mengaktualisasikan dirinya melalui ke-aroganan, ke-angkuhan, ke-sombongan, dan ke-…, ke-…, ke-…, lainnya yang berkonotasi negatif.

Tapi dibalik semua itu orang yang mempunyai ciri sifat Dominan selalu ingin menang, tidak mau kalah dengan orang lain. Baginya menjadi orang nomor satu adalah salah satu kenapa mereka dilahirkan dimuka bumi ini. Banyak juga sisi positifnya, dengan catatan dapat mengkontrol kearah yang memang positif, seperti percaya diri yang tinggi, tidak takut dengan orang yang lebih pintar, mempunyai dorongan terus untuk mencapai hasil yang maksimal.

Salah satu ciri orang Dominan adalah mengintimidasi orang lain, karena biasanya orang dengan tipe ini sangat sensitif dan tidak mau terintimidasi oleh orang lain atau dimanfaatkan oleh orang lain yang tidak lebih baik dari dirinya. Baginya adalah mengintimidasi atau teritimidasi.

Salah satu solusi adalah biarkan diri anda seperti adanya karena dalam karakter diri orang berbeda-beda. Temukan diri anda sendiri bercirikan tipe yang seperti apa dan yang perlu dikontrol adalah kembangkan diri ada selalu ke-arah positif.

Tulisan ini tak mungkin berujung dengan kesimpulan yang sedeherhana. Tapi cukup membuat Saya muak, kalau ternyata apa yang kita punyai sebagai kelebihan ternyata menjadi suatu alat untuk menekan orang lain.

Hentikan.


Jadi bagi kalian pemirsah, yang sudah ketahuan pintar dan merasa tinggi derajatnya dibandingkan mahluk lain, sadarlah bahwa ilmu kalian takkan berarti apa-apa sebelum kalian tahu dan belajar akan RENDAH HATI.

Salam Budaya!
(agak ngambek dikit)


UUgh! 

Komentar

  1. Jadi, ditolak? Gitu doang? Ya ampun... Jadi maunya orang seperti itu dijawab apa ya , Mas? Karena saya cinta dengan pekerjaan yang ditawarkan gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada memang jenis orang kalau kita malah terlihat butuh dan menghamba dia akan makin suka karena faktor dominannya.

      Hapus
    2. Tapi kayane yo, banyak musuhnya, Mas he he he

      Hapus

Posting Komentar