Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Sepatu Untuk Darma


Salam Budaya!

Gybran teman baik Saya bertahun - tahun lamanya. Ada masanya kita sama - sama susah. Ada saatnya semuanya berkembang dan berubah menjadi lebih baik. Situasi lebih baik. Bahasa kerennya, suatu saat Gybran menjadi lebih kaya. Uangnya lebih tersedia daripada zaman dahulu.

Di sisi lain yang memang tak ada hubungannya Sepatuku sudah lusuh. Sepatu itu putih terbuat dari plastik. Saya suka bentuknya. Singset dan terlihat gagah saat Saya mengenakannya. Harganya juga cukup murah. Hanya 50 ribu saja. Cuma umur dan perjuanganlah yang berakibat sepatu itu akhirnya pun tak dapat mempertahankan ketampanannya.

Sepatu itu ternoda banyak lumpur. Putihnya menjadi tak secemerlang, malah menjadi coklat. Pada bagian bawah bolong. Sebenarnya sudah Saya coba untuk menambalnya, tapi kalau tidak hati-hati menginjak genangan atau sesuatu yang basah, tetapi saja air akan masuk dan melembabkan kaos kaki.

http://pdrclinics.com

Saya tak memaksa. Memang hanya sepatu itu yang Saya punya. No complain. 

Sepertinya Gybran mengenali hal itu. Mungkin kasihan. Mungkin prihatin. Atau memang punya keinginan untuk membalas segala kebaikanku selama ini. Entah. Yang jelas, dia mengajak Saya jalan - jalan ke Grand Indonesia suatu sore dan dengan kesengajaan yang luar biasa masuklah kami ke salah satu Toko Sepatu yang mewah.

http://shoegazing.se/

Saya duduk, dengan sabar. Karena Saya pikir memang Gybran ingin berbelanja sepatu yang mahal. 

Dia melambai, menyuruhku mendatanginya. Ia tengah memegang sepasang sepatu berwarna coklat yang memang bagus desainnya. Sesekali ia memutar sepatu itu, senyum sambil mengangguk - angguk.

"Sepatu ini lagi diskon, lho", Gybran membuka percakapan.
Saya lagi - lagi mengangguk. Saya memang rekan belanja yang baik. Saya hanya akan berkomentar bila ditanya.

"Berapa persen?", tanya Saya.
"70 persen," jawab Gybran dengan gembira.
"Jadi berapa?"
"750 ribu," jawab Gybran dengan nada lebih gembira.
"Wow, itu dipotong saja harganya masih 750 ribu. Berapa harga aslinya, " respon Saya dengan gerakan sedikit menjauh untuk memberi kode "itu-terserah-kamu-bagiku-sih-mahal-tapi-kalau-kamu-mau-ya-beli-saja-kan-kamu-yang-punya-uang".

Gybran menepuk.
"Ini buatmu." 

Saya sedikit kaget. Sebenarnya sudah curiga. Tapi ...
"Jangan". Saya menolak.
"Kenapa?", desak Gybran.
Saya gelagapan.
"Kemahalan. Sayang duitnya". Saya menjawab asal walaupun masih masuk logika.

Gybran memasang wajah terheran - heran.
"Kan Aku yang bayar".

Saya cukup tegas.
"Nggak usah deh", pinta Saya dengan memelas. Tanpa menoleh Saya keluar toko. Entah apa yang Saya rasakan. Antara malu, merasa miskin, sungkan, nggak enak, nggak nyaman. Tapi ada sisi diri yang berkata Goblog!. Tapi suaranya lemah. Kemudian menghilang. Karena kalah dengan harga yang menurut Saya mahal itu.

Di sudut mata, Saya lihat Gybran marah karena dia dengan sengaja menghempaskan sepatu itu ke lantai. Entah dia bilang apa ke penjaga toko. Yang jelas, dia juga keluar.

Kami berdiam - diaman agak lama.

"Kita makan saja", ajaknya.

Kami pilih di salah satu ruangan agak terbuka. Biar sesak napas Saya perlahan menghilang. Gybran masih terlihat marah tapi napasnya mulai teratur. Dia makan dengan tak memperhatikan makanannya.

Kita kayak sepasang kekasih yang lagi marahan. Shit!

Saya pandangi teman sekosan yang sudah Saya anggap seperti adik sendiri ini.

"Gybran yang baik. Terima kasih ya sebelumnya sudah mau dan berniatan baik untuk membelikan sepatu buat aku. Terima kasih, mbangeeet. Tapi mohon maaf. Bagi aku itu masih kemahalan. Kelas itu nggak bisa dipaksain lho. Aku akuin aku itu masih sekelas ITC (Kuningan atau ambassador adalah mal murah dekat kosan kami). Kamu sudah kelasnya Grand Indonesia. Aku nggak akan mungkin dan tidak berhak memaksamu membeli barang murah atau kawe misalnya di ITC. Itu namanya pemaksaan. Nggak sesuai dengan kata hati.

Sebaliknya Kamu juga nggak boleh sembarangan memaksa Aku beli barang - barang di sini kan? Selain sudah pasti aku nggak mampu?".

Saya mengedipkan mata sedikit. Berusaha melucu membuat Gybran tertawa.
Ia akhirnya senyum sedikit.

"Ya, aku pikir kan, memang memberikan yang terbaik, buat dan untuk bantu mas Dedy kan sepatunya sudah tak layak pakai", ujar Gybran dengan pandangan prihatin tapi mengandung unsur jengkel.

"Oh, ya? Terima kasih. Tapi kalau memang kamu pengen yang terbaik dan pengen bantu aku. Kenapa tidak uang 750 ribunya saja kau kasih ke aku. Dengan uang sebesar itu, aku belanja di ITC aku bisa dapat 3 bahkan 4 sepatu. Pas untuk semua kebutuhanku. Sepatu pantofel, sneakers, sport, atau sandal mungkin. Lebih pas. Lebih puas. Lebih murah. Untuk kelas aku".

Saya pandangi Gybran dalam - dalam. Ini bisa semacam brainwash untuknya. Siapa tahu uang 750 ribu itu langsung bisa cair dan Saya melesat ke ITC. Tapi sepertinya Saya gagal.

Mengecewakan. Hahahah ....

Kami pulang setelah makan. Malam itu berlalu dengan tanpa ada kegiatan pemberian  uang sedikitpun.

Keesokan paginya, Saya terbangun karena ada sesuatu yang mengganjal di kepala. Ada kotak sepatu baru tergeletak di dekat tempat tidur.


"Punya siapa ini? Dari siapa ini?", tanyaku pada Belbie yang sedang duduk dekat pintu.

"Oh ya, itu titipan Papa (Gybran). Buat Oppa (Darma - panggilanku di kosan)."

"Oh, ya? Wah terima kasih", Saya tak kuasa menahan senyum dan mengamati sepatu yang jelas untuk kebutuhan jalan -jalan itu.

"Oh, ya," lanjut Belbie, "Ada pesan dari Papa tadi. Katanya. Jangan khawatir. Itu harganya 100 ribu, kok!".

Saya mengumpat.

Bangsat. Gagal kali ini pengaruhku.



Salam Budaya.

Komentar

  1. Waaahh, sayang sekali, rayuanmu kurang maut, Maasss, haha..
    Ya, ya.. aku dan kamu sebenarnya sepemikiran. "Wes kene endi duite 750 ribu!" Mending cash daripada bentuk sepatu.

    Duit 750 ribu dibelikan sepatu 100ribu, sisanya melbu saku haha..

    BalasHapus

Posting Komentar