lahir pada tahun 1976 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Agung mendapat gelar Doctor dalam bidang seni dari Fakultas Seni dan Desain, ITB pada tahun 2012. Sejak tahun 1997, Agung telah aktif dalam dunia seni sebagai kurator, pengamat, pengajar, penulis, dan peneliti. Salah satu pameran yang dikuratorinya pada masa awal karirnya adalah pameran tunggal Jajang Supriyadi berjudul “Between Walls and Doors” di Galeri Barak, Bandung. Agung kemudian mulai menjadi kurator berbagai pameran dan acara seni, antara lain yaitu: OK Video – Jakarta Video Festival (2003, and “SUB/VERSION”, 2005); Bandung New Emergence (2006, 2008, 2010); pameran tunggal Agus Suwage “I/CON” (2007); pameran tunggal Handiwirman Saputra “In Lingo” (2008); pameran tunggal Heri Dono “Nobody’s Land” (2008): kurator “Fluid Zones”, pameran utama dalam program Jakarta Biennale: ARENA (2009); serta salah satu kurator dalam Biennale Jogja XII Equator #2 (2013).
Pada tahun 1999-2000, Agung menjadi asisten kurator di Soemardja Gallery, ITB. Agung juga menjadi staff pengajar di ITB selama tahun 2001-2012. Kemudian sejak tahun 2007, Agung menjadi kurator di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Di tahun 2015, Agung menerbitkan bukunya yang berjudul “Kurasi dan Kuasa”.
Dalam tulisannya yang berjudul “Interpretasi Tehadap Seni Rupa”, Agung mengungkapkan gagasannya terhadap posisi seorang pengamat atau kritikus seni rupa. Menurutnya kritik seni rupa adalah sebuah disiplin keilmuan. Oleh karena itu, dalam mengamati dan menilai sebuah karya seni perlu menggunakan metode tertentu, salah satunya adala metode yang dikemukakan Edmund Burke Feldman. Dalam metode tersebut, karya seni dapat dinilai melalui empat tahapan, yaitu Deskripsi, Analisis Formal, Interprestasi, dan Penilaian. Agung juga berpedapat bahwa metodologi dari Feldman tersebut mungkin bukan yang paling sempurna, namun setidaknya akan lebih mudah dalam menentukan obyektifitas dan standarisasi dalam kritik yang dihasilkan.
Sumber:
NIRWAN DEWANTO
dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 28 September 1961. Saat masih di SMA dia sudah menulis puisi; karya-karyanya diterbitkan di majalah antara lain Kuncung dan Kartini. Nirwan kuliah di Institut Teknologi Bandung di Bandung, Jawa Barat, dari tahun 1980 sampai 1987. Setelah meraih gelar Sarjana Geologi, kemudian dia berpindah ke Jakarta.
Pada tahun 1991 Nirwan menjadi pembicara di Konferensi Budaya Nasional. Dia kemudian lebih dikenal untuk banyak membicarakan soal budaya. Nirwan pernah menjadi satu redaktur majalah sastra Horison periode tahun 1990-an, saat susunan dewan redaksi diketuai oleh sastrawan Goenawan Mohamad. Nirwan menjadi redaktur majalah Kalam saat diluncurkan pada bulan Februari 1994, bersama sastrawan Goenawan Mohamad. Pada tahun 1996 Nirwan menerbitkan koleksi esai yang diberi judul Senjakala Kebudayaan. Dua dekade sejak dikemukakan, kelemahan Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991 dibongkar oleh Putri Karyani, blogger Kompasiana, yang menolak premis pascamodernis Nirwan mengenai posisi sains dalam kebudayaan.
Nirwan menduduki dewan juri pada Penghargaan Kusala Khatulistiwa pertama, pada tahun 2001. Di kemudian hari, Nirwan menyatakan bahwa proses seleksi kurang baik, sampai-sampai dewan juri sering tidak memahami karya yang dinilai dan kadang-kadang menilai karya secara sembarangan. Pada tahun yang sama, dia menghasilkan antologi puisi Buku Cacing.
Nirwan memenangkan Penghargaan Khatulistiwa pada tahun 2008 untuk antologi puisi Jantung Ratu Lebah; penghargaan ini juga termasuk honorarium senilai Rp 100 juta. Penulis cerita pendek Seno Gumira Ajidarma, seorang juri, menyatakan bahwa antologi tersebut merupakan karya monumental. Pada tahun 2010, Nirwan menghasilkan antologi puisi yang berjudul Buli-Buli Lima Kaki. Tahun berikutnya beberapa karyanya ditampilkan bersama musik oleh Dian HP dan istri Nirwan, penyanyi Nya Ina Raseuki; Nirwan juga membaca puisi pada kegiatan tersebut.
Saat ini, ia aktif di Komunitas Salihara, yang didirikannya bersama sastrawan Goenawan Mohammad dan seniman Jakarta lainnya.
(lahir dengan nama Arahmayani Feisal di Bandung, 21 Mei 1961; umur 58 tahun) adalah seniman Indonesia kelahiran Bandung yang berbasis di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Arahmaiani adalah salah satu figur penting dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Ia merupakan salah satu pelopor dalam perkembangan performance art di Indonesia dan Asia Tenggara. Arahmaiani kerap kali menggunakan seni rupa sebagai media kritik terhadap isu sosial, agama, dan budaya.
Ayahnya adalah seorang ulama dan ibunya adalah seorang Muslim yang berasal dari latar belakang agama Hindu-Buddha. Dia menjelaskan bahwa namanya merupakan perwakilan bentuk sinkretisme atau percampuran dua budaya yang ia alami dalam asuhannya: "Arahma" berasal dari bahasa arab yang berarti "cinta" dan "iani/yani" berasal dari bahasa Hindi yang berarti "manusia".
Pada saat sedang menempuh pendidikannya, sebagai mahasiswa seni rupa, Arahmaiani merasa dikecewakan dengan sistem pendidikan seni di negaranya, karena baginya pendidikan seni rupa saat itu sama sekali tidak berkaitan dengan realita kehidupan sehari-harinya. Ia lalu memutuskan untuk mencipta karya nya sendiri diluar institusi pendidikan seni, di jalanan, dan menjelajahi sendiri makna "performance art" secara intuitif.
Arahmaiani menempuh pendidikan seninya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 1992. Ia juga memperoleh pendidikan seni di Academie voor Beeldende Kunst, Enschede, the Netherlands pada tahun 1983 lalu di Paddington Art School, Sydney, Australia pada tahun 1985.
Meskipun cukup dikenal sebagai seniman "performance art", Arahmaiani juga menggunakan berbagai media lainnya seperti lukisan, gambar, patung, puisi, tari, dan seni instalasi (untuk membedakan diri dari istilah seni pertunjukan secara umum (Bahasa Inggris: performing arts) yang merujuk pada misalnya seni tari, teater, dan musik, seni "performance" dalam hal ini adalah seni aksi, satu kategori dalam seni rupa kontemporer dimana tubuh atau aksi tertentu dalam suatu ruang, waktu, dan situasi sosial tertentu menjadi media utama). Karyanya menyentuh isu-isu mengenai diskriminasi, kekerasan dan penindasan terhadap tubuh perempuan, feminisme, seksualitas, agama dalam masyarakat modern, kapitalisme dan industrialisasi. Dari sejak awal tahun 1980-an, karya-karyanya banyak menuai reaksi yang keras dari sebagian pemimpin komunitas Islam and beberapa pemimpin politik yang berakibat dengan hukuman penjara dalam waktu singkat pada tahun 1983.
Salah satu lukisannya yang berjudul Lingga-Yoni 1993 dan salah satu karya instalasinya yang berjudul Etalase 1994 adalah satu contoh bagaimana dalam karya-karyanya Arahmaiani menggunakan dan mencampurkan berbagai simbol yang berkaitan dengan persoalan seksualitas, budaya barat, dan agama Islam. Karya Etalase terdiri dari beberapa benda temuan berupa kitab Al Quran, Patung Budha, cermin, sebungkus kondom, botol Coca-Cola, sekotak tanah, kipas, rebana dan foto dirinya sendiri, semuanya disimpan di dalam kotak pajang dari kaca seperti yang biasa digunakan di dalam museum. Kata 'etalase' sendiri merujuk kepada kotak kaca panjang yang sering kita temukan di bagian depan toko-toko pusat perbelanjaan, sedangkan dalam karya ini Arahmaiani mempertentangkan banalitas etalase toko dengan bentuk kotak kaca museum yang biasa digunakan untuk menyimpan benda-benda penting. Karya ini merupakan bentuk kritik terhadap kapitalisme yang mulai berkembangan dan banalitas kehidupan modern yang pada saat pertama kali dihadirkan ke publik dalam bentuk pameran pada tahun 1994, menuai protes dan kritik tajam dari beberapa anggota kelompok Muslim garis keras. Karya tersebut segera disensor dan dengan terpaksa diturunkan dari ruang pameran. Arahmaiani sendiri memperoleh beberapa bentuk ancaman yang berpotensi membahayakan nyawanya sehingga ia harus meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu. Pada tahun 2013, karena kondisinya yang sudah tidak baik, Arahmaiani melukis ulang Lingga-Yoni sebagai bagian dari persiapan pamerannya di Herbert F. Johnson Museum of Art.
Pada sekali waktu, Arahmaiani juga pernah bekerja di salah satu kantor berita terbesar di Jawa Tengah. Ia bekerja sebagai kolumnis selama empat tahun dan banyak membahas berbagai isu berkaitan dengan praktek agama Islam dan budaya di Indonesia, sebelum akhirnya diberhentikan dari pekerjaannya karena mengkritik sesuatu yang berkaitan dengan praktek agama Islam di Indonesia. Dalam salah satu wawancara, Ia menyatakan bahwa sebagai seseorang yang berasal dari latar belakang percampuran agama Islam, Hindu, Budha dan Animisme, ia ingin memberikan kontribusi kepada diskusi mengenai bagaimana praktek agama yang berbeda-beda di Indonesia saling mempengaruhi satu sama lain.
Arahmaiani pernah mewakili paviliun Indonesia dalam Venice Biennale ke 50 pada tahun 2003, bersama dengan tiga seniman kontemporer lainnya, yaitu Dadang Christianto, Tisna Sanjaya, dan Made Wianta. Pameran tersebut diberi judul Paradise Lost: Mourning of the World.
Karya-karya Arahmaiani telah dipamerkan di berbagai tempat seperti Australian Center of Contemporary Art (Melbourne), Hokkaido Asahikawa Museum of Art, Lasalle-SIA College of the Arts (Singapore), Der Rest Der Welt, Pirmasens (Jerman) World Social Forum (Utrecht), Singapore Art Museum; and Asia-Australia Arts Center (Sydney). Salah satu pamerannya adalah Arahmaiani in Bangkok: Stitching the Wound pada tahun 2006 di Bangkok, Thailand. Ia juga berpartisipasi di pameran besar, antara lain: Traditions/Tensions di Asia Society, New York pada 1996, Global Feminism di Brooklyn Museum pada 2007, Suspended Histories di Museum Van Loon, Amsterdam pada 2013-2014, Women in Between: Asian Women Artist 1984-2012 di Mie Prefectural Art Museum, Japan pada 2013, serta pameran-pameran lain yang diadakan di Singapura dan Australia.
Komentar
Posting Komentar