Divo yang Terselamatkan



Salam Budaya!

Disclaimer : Berdasarkan kisah nyata dan dibumbui untuk sekedar memperindah tulisan. Semua nama baik orang dan tempat Saya samarkan untuk menjaga ketenangan masyarakat.


Mengungkapkan sesuatu itu ternyata tak mudah. Orang akan menilai kita sebagai orang yang aneh. Padahal aku sebenarnya juga orang yang aneh. Tapi memang sudah jadi nasibku sejak kecil. Selalu dianggap aneh. Aneh saja. Atas apa yang aku lakukan atau mungkin cara pandang mereka ke akunya yang aneh. Entah mana yang benar. Namun keanehan - keanehan itu sebenarnya bagiku adalah sesuatu yang masih bisa saya jelakan secara runtun dan ceritakan ulang sehingga bakal mampu dipahami meski oleh beberapa orang saja. Tak apa. Mulai sekarang aku akan coba rangkai keanehan itu menjadi suatu kisah yang paling tidak pernah aku alami dan aku coba keluarkan sebagai uneg - uneg. Mudah - mudahan bisa membuat sebagian orang manggut - manggut. Boleh percaya, boleh juga hanya sebuah karangan semata.


2015

Whatsapp mengganggu tidur siangku. Tulisannya singkat tapi membahagiakan:

"Selamat siang, Mas Darma. Bisa nggak datang ke audisi? Kami membutuhkan penyanyi pengganti untuk Pentas Drama kami. Jadi kami perlu melihat terlebih dahulu, Mas cocok apa nggak. Boleh kah, datang besok lusa?"

Hati ini seakan mau lompat dari tempatnya, bangganya bukan main rasanya, karena Kelompok Teater yang mengundangku itu adalah Teater Kondang yang legendaris dan adalah suatu impian di siang bolong, akhirnya aku bisa berkolaborasi dengan mereka. Apalagi mereka mencari penyanyi utama, Divo. Yang akan unjuk suara di penghujung acara. Itu sesuatu yang sangat didambakan oleh semua penyanyi.

Siang itu aku tidur dengan pulas. Mimpiku indah.


Ilustrasi dari Photo by Andrea Piacquadio from Pexels
MINGGU PERTAMA

Audisi berjalan cukup lancar dua hari kemudian. Ternyata mereka memang sangat membutuhkan penyanyi laki - laki untuk membawakan salah satu lagu pamungkas di Pertunjukkannya, karena sampai saat itu, sepertinya mereka belum menemukan penyanyi yang pas dan sesuai yang mereka inginkan. Ujiannya menyanyinya langsung berhadapan dengan Kepala Musik yang ditabuhin sekitar 6 musisi. Saya langsung diterima setelah diminta hanya membuktikan kalau aku bisa menyanyi. Begitu saja.

Tantangan yang paling berat berikutnya adalah latihan. Karena latihan ini bisa berjangka waktu 3 bulan lamanya. Pertama yang kukhawatirkan adalah lokasinya. Ternyata aku waktu itu baru dapat kabar kalau entah kenapa latihannya yang biasa di wilayah Sana diubah dan dipindah mendekati kosan. Alhamdulillah, itu bisa menghemat waktu, energi dan biaya. Tantangan berikutnya adalah siap untuk hadir latihan setiap hari, sudah ada di tempat jam 4 sore padahal di pagi harinya aku juga nerima job di suatu tempat yang sorenya kalau pulang memerlukan sekitar 3 jam menuju tempat latihan. Aku sedikit mereasa keberatan karena pastinya aku akan terlambat. Aku minta keringanan dan diijinkan.

Okay. Saya harus sanggup. Toh, konsen Saya hanya perlu bernyanyi pada 3 lagu saja. Baiklah.

3 BULAN KEMUDIAN

Semua sudah siap. Segala bentuk promosi telah tersebar. Tibalah kami berpentas dengan megahnya di gedung itu. Dua belas hari penuh dengan kejayaan dan kebanggaan yang tiada hentinya. Karena aku akan selalu tampil di penghujung pertunjukkan, sebelum tampil aku sering berjalan - jalan di sekitar gedung untuk sekedar mencari udara segar, menghangatkan suara atau juga biar tidak bosan. Estimasi aku tampil adalah pukul 10 an malam. Jam 8 aku menyelinap keluar.

Gedung itu bergaya neo-renaisance yang dibangun tahun 1821 memang terlihat seram dan antik. Aku selalu mengagumi gaya arsitekturnya dan cara dia dirancang sebagai gedung pertunjukan. Ruang belakang panggung selalu menyimpan misteri bagiku. Banyak misteri - misteri yang 'katanya' terjadi. Atau beberapa pertanyaan menggantung seperti: Apakah Gedung itu memang dirancang dari dahulu atau apakah memang sudah terjadi banyak perubahan. Apakah ruang - ruang itu seperti itu aslinya? Karena selain penuh sesak dengan properti, tiang - tiangnya memang terasa kadang mengganggu. Aku beberapa kali harus menunduk dan menembus sepi dan gelap, karena memang semua lampu harus mati di belakang panggung dan keadaan harus dalam keadaan sesenyap mungkin.



ilustrasi dari Photo by Irina Iriser from Pexels

Dari ratusan orang yang terlibat di pentas kali ini, aku hanya akrab dengan beberapa orang saja. Bukan berarti karena mereka terkenal dan sombong, tidak, tapi sering kali aku nggak terlalu nyambung kalau aku memulai pembicaraan. Makanya aku akrabnya hanya dengan beberapa orang saja. Termasuk dengan Mbak Arini, ia adalah seorang penata busana. Ia tersenyum suatu hari ketika aku lagi berusaha membantu bagian dekor menggunting aksesoris kupu - kupu. Mbak Arini selalu tersenyum.

Ia sepertinya memergoki keluar ruangan. Aku seharusnya tidak melakukan itu. Aku harus komit, mengikuti pertunjukan dari awal sampai akhir walaupun belum tampil. Tapi entah kenapa aku bosan dan melanggarnya. 

Mbak Arini tersenyum melihat ulahku malam ini. Matanya mengisyaratkan hal penting. Ia takkan melaporkan kejadian ini ke siapa - siapa. Semua juga terserah para musisi, kalau mereka tidak melapor ya sudahlah. Semuanya aman. Yang jelas posisiku di balkon takkan terlihat oleh siapapun di saat aku menyelinap keluar.

Kami tertawa. Seperti semuanya diatur. Nakal katanya aku. Kami beberapa kali terlibat pembicaraan tidak penting. Ya, untuk mengatasi rasa bosan yang mendalam kita perlu melakukan hal yang sia - sia. Yang bahkan tidak pernah terpikirkan. Walaupun cuma berujung cerita saja. 

"Tau cerita tentang tempat ini yang serem - serem dan aneh - aneh, nggak sih? Kemaren, ada anak 'prajurit' dicari ama Tante. Yang bilang gitu mbak - mbak. Dia nyapa dengan nyantai. Hei, kamu disuruh ke sana. Tahu, nggak sih, anak itu nemuin Tante dan mereka saling tanya. Karena Tante nggak pernah merasa menyuruh seseorang".

Tante yang dimaksud adalah pemilik Grup Teater kami dan anak 'Prajurit' adalah salah satu pemain yang berpakaian prajurit.

Saya mengerti dan cuma berbasa - basi menanyakan ulang.

"Maksud, Mbak. Seseorang itu tak ada sebenarnya dan menyuruh anak itu menemui Tante?"

Ia tidak menjawab.

"Pernah dengar cerita kalau ada sekumpulan penari yang lupa membawakan tarinya tapi di atas belakang panggung ada seseorang yang memberi petunjuk setiap gerakan yang akan ditampilkan? Tapi itu bukan bagian dari mereka?"

Mbak Arini tersenyum lagi. Dia sepertinya tahu sesuatu tapi tak pernah bercerita langsung.

"Seru, ya?"

Saya terdiam. Merasa menambah asupan yang menyegarkan. Mirip makan apel langsung dari kulkas. Enak, renyah dan melegakan.

Saya terbatuk sebentar. Beberapa hari belakangan ini agak terganggu tenggorokan. Suara serasa hilang. 



Ilustrasi dari https://surehealthremedy.com/chesty-cough-home-remedies/

HARI KEEMPAT

Akhirnya sesuatu fatal terjadi.

SUARAKU HABIS. LENYAP. Aku kesulitan di beberapa lagu karena tiba - tiba nafasku pendek dan terasa ngap. Sia - sia. Keanehan terjadi menjelang pertunjukkan. Sesaat setelah pemanasan di luar gedung. Aku baik - baik saja. Tapi begitu aku masuk, semuanya buyar. Ambyar.

Sepertinya aku mendapatkan hukuman yang setimpal. Tiga lagu yang harusnya aku nyanyikan, dua lagu pertama terpaksa diambilalih oleh penyanyi lain dan beberapa suara latar belakang. Alasan sutradara, suaraku terderangar kurang keras dan kurang gagah.

Ini hari keempat dan bertambah parah. Masih seminggu lagi pertunjukkan. Ada apa ini? Kenapa dengan tenggorokanku. Tenggorokanku makin parah. Aku sudah mencoba berbagai cara. Minum  madu, mengunyah kencur. Semuanya sia - sia. Suaraku seperti menghilang. Sakit sekali bila harus teriak di lagu puncak. Ada beberapa nada fals dan pemusik tahu itu. Sesekali mereka melotot. Penonton tidak ada yang tahu. Aku panik.

HARI KELIMA

Besoknya aku disidang.

Ibu pengasuh anak-anak bagian casting menghela nafas. Ia meminta dengah hormat agar aku memeriksakan diri ke rumah sakit. Segera. Berapapun biayanya mereka akan tanggung. Beliau merujuk ke RS FULAN. Itu rumah sakit mahal tapi memang pelayanannya paripurna. Mereka biasanya selalu pergi kesana. Pengobatannya terbaik. Cepat sembuh, ujarnya menutup pembicaraan dengan dingin. 


Sedingin badan dan dompetku. Baru teringat kalau aku benar - benar cashless. Dalam artian sebenarnya. NO MONEY. Jalan satu - satunya adalah NO DONG ke Ibu. Ini emergency, karena di dompetku hanya tersisa 25 ribu saja. Tak mudah untuk datang ke rumah sakit tapi tak membawa  uang sebagai pegangan. Untunglah ibu memahami dan segera mentransfernya.

Satu masalah teratasi.

HARI KELIMA

Aku orangnya nurut. Cuma kali ini aku butuh teman sekedar menguatkan. Aku aja Soleh, teman kosan. Tapi sepertinya dia benci rumah sakit. Begitu aku memaksanya masuk, dia menolak. Dia hanya mau menunggu di parkiran saja. 

Okay.

Segera aku menuju ke wilayah THT (Telinga Hidung Tenggorokan), mendaftar sebentar dan langsung menuju ke ruangan Dokter Sis karena tidak ada antrian. Siang itu tampaknya bagian samping bangunan ini sepi dan tak ada pasien duduk.


Ilustrasi dari Pexels


Dokter itu adalah seorang yang berumur dan ramah serta menyinggung betapa seringnya Kelompok Teater merekomendasikan bila ada anggota mereka yang sakit, khususnya untuk masalah tenggorokan karena itu masalah terbesarnya.

Dokter itu mengambil suatu alat aneh dan memasukkan ke tenggorokanku. Memegang leherku beberapa kali dan mengernyit.

"Kok gak ada apa - apa ya? Sehat - sehat saja tuh!".

Aku tak berkomentar apapun. Antara malas dan berpikir keras. Kenapa aku tidak menanyakan biaya pemeriksaan ini di depan tadi. Tolol!

Aku terdiam tak berani berkomentar apa - apa. Yang jelas masih ada yang terasa aneh dengan tenggorokanku dan entah itu apa. 

"Coba masuk ke ruang itu. Suster, beri aja dia vitamin ya!".

Ruangan itu tidak begitu besar. Suster itu langsung masuk dan berusaha menenangkan. Dia akan menyuntikku dengan vitamin. Tiga jenis vitamin, bentukannya indah dan berwarna - warni. Saya menjadi makin stress. Dengan disuntiknya itu padaku. Berapa ini ujungnya total pembiayaannya? Hah?

Mau nggak mau aku harus menanyakannya. "Maaf, suster. Boleh tanya,nggak? Berapa ya biayanya ini semua? Saya takutnya tak membawa uang cukup hari ini."

Suster itu tampaknya cukup mengerti. "Standar Dokter di sini tiga ratus ribu rupiah. Dokter bilang tambahan vitamin ini tak perlu dihitung. Sudah menjadi satu dengan biaya beliau. Mas tinggal ambil obatnya nanti. Ditebus di bagian obat di kasir luar".

Aku tetap menghembuskan nafas kebingungan. Antara malu, gengsi tapi tetap harus berkata jujur. " Sepertinya uang Saya tidak cukup. Saya cuma bawa uang tiga ratus ribu rupiah. Uang Saya tidak cukup untuk membeli obat." Saya beranikan omong begitu. Ini bukan lagi waktunya untuk malu.

Suster itu memandang dengan kasihan. 


"Saya mengerti kok, Mas, " bisiknya perlahan. "Begini saja, sebentar lagi Mas, langsung bayar untuk tagihan dokternya saja ke bagian administrasi, dari meja itu biasanya pasien akan mendapatkan resep yang harusnya ditebus di bagian obat. Nah setelah dapat resep itu, Mas diam - diam keluar saja dan tak perlu tebus obatnya. Nanti kapan - kapan kalau punya uang boleh tebus. Toh, sudah Saya beri vitamin. Okay?"

Sungguh mulia sekali mbak Suster itu. Aku pun menuruti langkahnya setelah sangat - sangat berterima kasih. Aku beranjak ke tempat administrasi. Di sana ada dua orang ibu - ibu yang menjaga dan segera menerima tanda terima dari ruang dokter. Tak sabar aku membayar uang tiga ratus ribu untuk mendapatkan resep itu dan segera keluar. Entah kenapa rasanya aku seperti melakukan yang tidak semestinya. Dadaku berdegup kencang.

Jantungku berhenti saat salah seorang ibu memanggil temannya ketika ia mencoba mencocokkan tanda terima dengan data di komputer. Ia sesekali melihat wajahku yang mungkin sudah berwarna putih. Ia tampaknya terkejut, menunjuk ke layar kaca dan meminta keyakinan ke temannya kalau penglihatannya tak salah.

"Ini. Benar kan? Apa memang begini? Aku nggak salah input, kan?", tanyanya keheranan.

Temannya menggeleng lalu mengangguk. Badanku jadi adem panas. Namaku dipanggil. Aku lemas.

"Mas. Maaf. Mas silakan langsung tebus obat di bagian sana saja, ya. Mas tak perlu bayar apa - apa. Di komputer kami, Masnya dilaporkan nol. Alias tidak perlu membayar dokter. Karena memang sudah ditanggung oleh pihak rumah sakit".


Ilustrasi Photo by TOPHEE MARQUEZ from Pexels


Aku terkesiap. Antara senang tapi pengen langsung lenyap di telan bumi. Entah harus bangga atau memalukan. Aku tersenyum dengan mencoba tenang mengambil resep dan segera melesat keluar dan berlarian ke arah parkiran motor. Tak sabar untuk menceritakan ke temanku.

Dua masalah teratasi.

---

HARI KEENAM

Esoknya ternyata tidak ada yang berubah. Tidak ada kata sembuh. Aku tetap fals dan suaraku tetap serak. Ini ancaman yang terakhir. Walaupun ada sedikit hiburan, Kelompok Teater itu mengembalikan secara penuh uang berobat (uang dokter dan obat yang sudah aku tebus di apotik di luar rumah sakit).  

Salah satu pengurus Kelompok Teater itu cuma bisa mendelik dan berharap aku punya jawaban yang pas untuk menjelaskan ketidaksiapanku itu. Apakah aku begadang? Apa aku tidak menjaga suaraku? Tidak pemanasan? Makan es krim? Sambal yang pedas? Teriak - teriak?

Malam itu di luar panggung, seperti biasanya aku menyelinap. Aku sudah tak peduli lagi. Terserah mereka mau pecat aku atau tidak. Aku cuma bisa menitikkan air mata. Bukan merasa kalah tapi bagiku tak dipercaya itu adalah suatu hal yang sangat menyakitkan.

Mbak Arini itu menyapa lagi dengan wajah menenangkan.

"Aku percaya kamu kok, Mas. Jangan khawatir. Hilangnya suaramu itu memang bukan maumu. Jadi ya sudahlah", ujarnya sambil tersenyum.

Entah kenapa dari ratusan orang yang terlibat produksi ini aku percaya dia. Hatiku juga agak adem. Posisiku memang terancam. Pimpinan produksi sudah melakukan gertakan. Beberapa pemusik juga sudah terpecah, ada yang membela, ada yang diam saja, ada yang mencoba selalu menenangkan dengan menasehati kalau tenggorokan yang bermasalah memang selalu menjadi kendala yang normal dan bisa saja terjadi ke semua orang. 

Malam itu terjadi sesuatu yang tak pernah terjadi seumur hidup. Salah satu pemain utama, Tante itu, tercekat dan tak mampu berkata apa - apa. Bagi penonton dia terlihat seperti lupa akan kalimat yang harus dia bawakan. Bagian pemantau naskah yang berada di bawah bibir panggung mengingatkan kalimatnya dan semuanya kembali normal. Tapi itu adalah sebuah malapetaka.

Beberapa saat kemudian, Tante itu memanggilku. Dia minta maaf. Merangkul sambil berkata yang menurutku di luar dugaanku.

"Maaf telah tidak percaya padamu. Saya sekarang percaya kamu. Semuanya ini sudah di luar nalar. Saya mengalaminya. Suara Saya tiba - tiba menghilang."

Aku tak sanggup berkata - kata menjawabnya. Hanya mengangguk. Sambil tak tahu harus punya solusi apa untuk menanganinya. Aku pasrah. Aku telur dan tidak saja diujung tanduk. Aku terjun bebas.

---

HARI KETUJUH

Suatu siang yang terik, Joanna, salah satu klienku menelpon.

"Mas, ikut aku yuk. Mamanya mas Arief pengen ketemu sama kamu".

Mas Arief adalah pacarnya dan aku nggak paham kenapa aku harus bertemu dengan mamanya.

"Untuk apa ya?"

Dia tak menjelaskan lebih lanjut. Dia cuma bilang akan menerangkan di sepanjang perjalanan. Sebuah permintaan aneh menurutku. Perjalanannya memakan waktu 45 menit untuk sampai ke ujung selatan kota ini. Kami menemui beliau di rimbunan rumah asri dengan warna cat kehijauan yang bikin adem mata.

Seorang Ibu yang mungkin tepatnya nenek muda membuka pintu.

"Eh, silakan masuk. Masya Allah, Selamat Datang, Nang. Aku sudah menunggumu sejak semalam."

Aku agak terhenyak atau semoga aku salah dengar. Nang itu adalah panggilan orang Jawa zaman dulu buat anak laki - laki atau cucu kesayangannya. Kependekan dari Lanang yang artinya Laki - laki. Tapi bukannya Ibu ini bukan orang Jawa menurut cerita dari Joanna?

"Silakan duduk, dulu. Mau minum apa?"

Aku menggeleng lemah tapi Joanna langsung ke dapur dan menyiapkan teh anget kesukaanku.

"Semalam, rumah ini berisik. Banyak anak - anak kecil datang. Berisik sekali. Mereka bilang. Besok kamu mau datang. Cah bagus dari Timur. Mau berkunjung. Sudah dinantikan, Nang".

Aku tersenyum kagok. Wah.

"Bagaimana?  Masih mau lanjut?", tanya beliau membuyarkan lamunan. Joanna juga sudah datang membawa baki berisi teh hangat manis dan pisang goreng yang entah dia beli darimana.

"Apanya ibu?"

"Berhenti, ya besok. Pulang. Kalau disuruh pulang. Pulang saja". Matanya seperti tajam dan menusuk. Tak membahayakan tapi tegas mendesak.

Aku benar - benar tak mengerti dan tak paham. Joanna yang tenang dan mendampingi beliau hanya sekedar memberi kode untuk menuruti saja. Aku yang tadinya mau protes dan ingin bertanya banyak hal hanya bisa terdiam bak terhipnotis. Sepertinya ibu ini belum selesai begitu saja. Ibu itu kemudian mempersilakan untuk minum dan makan pisang goreng.

Aku minum dan mengigit pisang goreng dengan perhatian lebih kepada apa yang ibu ini akan katakan. Ia juga ikut minum, menarik nafas terlebih dahulu dan berkata,

"Besok pulang saja. Banyak kabel. Nanti ada apa - apa. Lagian posisi mikrofonmu itu kenapa berpindah, ya? Nanti kalau ditawari pulang. Pulang saja ya?".

Entah kenapa aku merasa percaya dengan ibu itu. Sepertinya ia baik. Sepertinya ia tak punya niat apapun kecuali dia merasa khawatir. Walaupun aku nggak ngerti apa yang sebenarnya ia katakan.

Pisang goreng itu terasa agak masam.

---

HARI KETUJUH

Dari arah luar kota memang perlu 3 jam untuk mencapai Gedung itu. Itupun beruntungnya aku naik kendaraan umum. Kalau pake online pasti sudah jebol kantongku. Persiapan di gedung mengharuskan aku datang sekitar jam 4 sore untuk bersiap tampil jam 8 malam. Aku sudah melangkah menuju ke selasar gedung, ketika terhenti karena beberapa kabel berukuruan besar tampak mengular di berbagai tempat.

"Kenapa banyak kabel, Mas?", tanyaku asal ke kru yang lewat.

"Hari ini mau diliput TVA dan TVB, Mas, Sekalian mereka mau rekam dari awal hingga akhir".

Penjelasan yang masuk masuk akal. Aku melangkah hati - hati melewati beberapa kabel yang rumit.

BANYAK KABEL ...

Aku tidak terlalu ambil pusing. Mau diliput atau tidak suaraku tak sesempurna seperti kemarin. Aku ambil positif saja. Mungkin tak akan terlalu disorot hanya suaraku saja. Langkahku terhenti. Salah satu petugas produksi menghentikan langkahku.

"Boleh kita bicara di ruangan lain?".

Aku mengangguk.

"Mas. Hari ini hari terakhir ya. Posisi mas akan digantikan oleh penyanyi baru. Sekalian kami akan take dan direkam oleh TVA dan TVB. Mas pulang saja. Nanti setelah pertunjukan selesai, pembayaran akan tetap dibayar lengkap seperti perjanjian semula. Pulang ya, Mas".

Aku terkesiap.

PULANG SAJA.

Aku jadi semakin pusing. Tapi aku paksakan untuk meminta izin sebentar ke arah balkon untuk membuktikan kata yang terakhir untuk mengurangi rasa penasaran dan menyimpulkan bahwa semua kata - kata ibu itu benar.

Aku berlari ke atas dan masuk pintu yang menghadap ke balkon dan aku lihat sendiri mikrofon yang sedari dulu ada di belakang kini bergeser ke arah depan pas di bibir balkon.

MIKROFONNYA BERPINDAH.

Aku ternganga dan berlari pulang. Pulang dan berusaha tidak berpikir apa - apa. Biarlah semua ini menjadi kenangan indah.


---

Seminggu kemudian keadaanku lebih baik. Pihak Grup Teater yang diwakili oleh Tante itu sudah meminta maaf atas apa yang terjadi. Pembayarannya juga telah dibayarkan penuh oleh Ibu Bagian Keuangan sembari minta maaf atas segala kekurangan yang terjadi.

Aku tapi masih penasaran. Aku harus tahu jawabannya. Yang seharusnya tahu adalah Mbak Arini. Aku harus berjanji bertemu dengan dia. Kami bertemu makan siang di suatu kafe arah dekat kosan.

"Bagaimana kabarmu?", tanya dia basa basi.

Aku tersenyum dan menjawab baik.

"Kamu hebat, ya. Bisa terselamatkan", katanya dengan mulai mengunyah Bakso Pedas.

"Malam itu. Sang penggantimu, yang memang dicari dengan alasan yang lebih kuat vokal dan nafasnya. Menghilang juga suaranya", katanya nyantai.

Aku ternganga tak percaya. Berarti semuanya bukan mimpi.

"Mau tahu kenapa mereka mencari penyanyi pengganti sewaktu awal? dan ketemu kamu?"

Aku menggeleng dengan kepala benar - benar tegak dan ingin tahu jawabannya.

"Ini perayaan besar. Mereka menampilkan 25 tahun kejayaan cerita itu lengkap dengan kostum yang mereka pernah pamerkan, beberapa pemain memang berganti karena kebutuhan milenial. Tapi para musisi dan penyanyi seharusnya hadir dengan format yang sama. Sang penyanyi. Malam itu kehilangan suaranya di saat mencoba pertama kali. Mereka bingung dan mengharuskan membuat audisi mendadak".

Wow.

"Lagi pula waktu itu, beruntung sekali kau disuruh pulang. Karena malam itu, tepat 25 tahun yang lalu terjadi hal yang mengerikan. Karena 25 tahun lalu, seorang penyanyi pria , sang Divo, tewas terjatuh dari balkon itu".

Mbak Arini tersenyum.

Mataku kabur.

---


Ilustrasi Photo by Alex Andrews from Pexels




Komentar