MENGGURITA - 001 - BOSAN






BOSAN

Alasan kenapa selama ini aku tidak boleh bekerja, sama sekali tak pernah terbukti dan tak pernah terungkap oleh siapapun. Ibu selalu menutup rapat – rapat pendapatnya. Tak pernah sama sekali Beliau menunjukkan penyesalan atas keputusannya itu. Entah apa itu. Bagi beliau keputusannya sudah final. Aku tak boleh kerja. Kerja apapun. Bagi beliau, aku akan tetap menjadi tanggungan beliau sampai kapanpun juga. 

“Sesusah apa sih ibumu ini memberi kamu, makan? Apalagi aku lihat dirimu juga bukan jenis anak yang pengen aneh – aneh. Biasa – biasa saja. Jadi bukannya lebih enak tidur saja, terus makan, atau nonton VCD sepuasnya. Ibu belikan nanti playernya”. 

Di tahun 2002 awal, pemutar film masih VCD Player dan itu merupakan barang mewah yang selalu aku dambakan. Ibu tahu itu. Begitu ada VCD Player di rumah, aku akan tertancap di situ saja. Takkan mau kemana – mana. 



Aku tak pernah tahu kalau Ibuku sekeras kepala itu. Dulu beliau di sepanjang pengetahuanku adalah jenis ibu – ibu yang baik – baik saja. Entah kenapa dan apa yang merasukinya. Sialnya, aku juga bukan anak yang gampang membantah dan memberontak. Aku kebanyakan diam dan menurut. Cuma memang kadang kalau dipikir tak masuk di logika saja. Alasan terkuat apa yang menyebabkan aku tak layak bekerja. Tak mampu? Tak boleh? Atau apa? Jelasnya kemungkinan ternyata aku adalah seorang Pangeran yang punya kerajaan dan warisan istana dari almarhum Bapak sepertinya bukan pilihan yang realistis. 

Hidupku memang kacau. Berantakan atau mungkin nggak well-planned, kata orang – orang yang lebih cerdas. Dimulai sejak SMA. Atau sejak SD. Aku kadang menyesal menjadi anak pandai. Waktuku terbuang hanya untuk latihan cerdas cermat, menghapalkan UUD 1945, Butir – Butir Pancasila, GBHN dan Bank Soal. Belum lagi les lukis, les pelajaran dan mengaji. Semuanya hanya sia – sia. Aku hanya tercetak menjadi anak pintar dan capek. 

Belum lagi waktu SMA aku sangat sibuk. Lengkap dengan segala aktivitas ekstra kulikuler. Aku tak pernah menganggur. Tak pernah bisa. Seperti sekarang. Hanya makan dan tidur. Anak yang tidak berguna. 

Nah, menganggur itu memang tidak enak. Mungkin awalnya memang terdengar dan terasa enak. Tapi jujur, ego, harga diri dan perasaan kayak sedang diperjualbelikan. Apalagi kalau ketemu teman di jalan. Mampus. Ketemu dua kali sudah basi dan persiapan bohong yang lebih canggih lagi. 

Aku nggak tahan lagi. 

Aku harus bekerja. Pagi harinya aku baca koran Surya. Koran setempat yang yah beritanya masih di bawah Jawa Pos tapi cukup hangat di masyarakat lokal. Aku cari di kolom lowongan pekerjaan di bawah nama kota Jember dan berharap ada pekerjaan apapun yang remeh sekalipun yang penting kerja. Ada nggak ya? 



Urut punya urut. Ada di kolom terakhir. 

“Dibutuhkan untuk Administrasi. Pria atau Wanita. Minimal lulusan S1. Siap kerja. Hubungi Mbak Yuyun. Di nomor berikut.” 

Hatiku berteriak. 

“Ibu. Lebih baik aku kerja di sini atau aku pergi ke luar kota lagi?”, tantang aku. 

Ibu yang tengah menyiangi rumput yang tumbuh di suflirnya mendadak menghentikan pekerjaannya sejenak. 

“Kamu di sini. Nggak perlu ke luar kota lagi. Di Jember. Saja. Titik”. Okay aku segera mencatat nomor telpon itu dan mulai mengatur janji dengan mbak Yuyun. Ada setitik kebahagian di hatiku. 



--- 

Mbak Yuyun meminta maaf kesekian kalinya dan dengan agak berat berusaha duduk karena hamilnya sudah mendekati masanya. 

Aku agak meringis sedikit dan sekali lagi menanyakan apakah dia baik – baik saja. Dia menjawab tidak apa – apa dan senyum. Mbak Yuyun cantik sekali orangnya. 

“Mau tanya saja, nih, Mas. Apa mas yakin mau kerja di tempat ini? Soalnya kelihatan pendidikan mas Dedy itu tinggi sedangkan kerjaan ini cuma administrasi lho! Apa nggak sayang nih?”. 

Aku tersenyum dan menjawab diplomatis. Nggak apa. Memang lagi pengen kerja saja kok, mbak! 

Entah kenapa yang terlihat dan terdengar ragu – ragu memang sepertinya mbak Yuyun itu sendiri. Siang itu dia mengenakan baju hamil biru tua dan sedari tadi selalu mengibaskan kipasnya yang besar. Dia sepertinya kehausan. 



Mbak Yuyun sepertinya mau memberitahuku sesuatu. Dia tersenyum lagi. 

“Saya sih sebenarnya mau jujur sama mas Dedy. Kalau lihat dari lulusan dan kesanggupan kerja, Saya pikir, sepertinya Saya dan nanti bos kita sih, fine fine saja. Tapi Saya akan menanyakan mas Dedy tentang kesanggupan mas sekali lagi. Karena sebenarnya pekerjaan ini tidak untuk di tempatkan di kota Jember, Mas.” 

Menarik. Menarik sekali. Sekalian aku bisa pergi dari rumah, pikirku. Aku mengatur ekspresiku supaya terkesan kaget alamiah. 

“Oh, ya? Maaf, memangnya di kota mana, mbak? Kenapa tidak disebutkan dari awal?”. 

Mbak Yuyun minta maaf. 

“Ya, karena Pak Boss minta seperti itu. Sebagai ujian katanya. Nantinya pekerjaan mas Dedy ini kalaupun bersedia. Akan di tempatkan di Tretes, Mas!”. 

Jarak Tretes ke Jember itu 174 km. Cukuplah untuk menjauh dari rumah sementara. Tinggal nanti bagaimana aku cari alasan untuk membantah ke Ibu. 

Aku tersenyum. 

“Saya terima, Mbak”. 

Mbak Yuyun sepertinya tambah kepanasan. 



BERSAMBUNG 



Komentar

Posting Komentar