Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Dedy Kecil - Penyanyi Cengeng




Pertengahan Agustus 1999.

Hasrat untuk menyanyi memang takkan pernah padam. Ibu sudah tak sanggup lagi memberi nasehat, bahwa betapa sia - sianya seorang Dedy Kecil untuk meneruskan hobi yang tak berkelanjutan akan masa depan itu. Semua ide dan usahanya memang seperti sudah tertutup. Bahkan untuk sekedar membayar uang pendaftaran lomba menyanyi saja, Ibu menolak, meski sekedar hitungan 5 ribu rupiah. Masih beda dengan permintaan uang jajan misalnya, Ibu bisa membelikan Dedy Kecil semangkok bakso 50 ribu rupiah sekalipun.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia banyak mengubah hal. Beberapa event atau lomba besar tak lagi diadakan. Entah dampaknya memang sebegitu jauhnya atau memang orang sudah tak lagi mau berpikir akan keuntungan dan mulai mengurus dirinya sendiri.

Biasanya tiap tahun, Radio Republik Indonesia akan mengadakan lomba yang bernama Bintang Radio dan Televisi (BRTV) dari tingkat regional yang nantinya semua finalis bakal diadu di tingkat Nasional, yang tiap tahunnya berpindah kota untuk pelaksanaan finalnya. Untuk penyelanggaraannya sendiri, kategori bakal digilir berselang - seling tahun, tahun ini tingkat remaja dan tahun depannya tingkat dewasa. Tahun 1999 semestinya diperuntukkan untuk kategori dewasa, tapi sepertinya pemerintah pusat tidak mengadakannya.



Sempat terbersit kekecewaan, tapi ternyata pihak RRI Regional Jember tetap mengadakan lomba sejenis dan tahun itu mengubah namanya menjadi Pesona RRI dengan sekaligus mengikutkan dua kategori bersamaan: tingkat remaja dan juga dewasa.

Hati Dedy Kecil berkecamuk. Dia ingin ikut tapi pasti ibunya tetap melarang. Semuanya pasti menentang. Ia duduk menghadap ke guru vokalnya, Pak Wasis. Matanya berkaca - kaca. Mau menangis tapi gengsi.

Pak Wasis terlihat marah.

"Ya, ikut saja. Nanti kita belajar bersama."

Dedy Kecil menyapu ruangan dengan memelas. Ada Okta, Sonny dan Robbit di situ. Menemaninya. Mereka adalah para jago menyanyi yang usianya jauh di bawahnya. Mereka sudah siap bersama - sama mendaftar untuk kategori remaja. Dedy Kecil sendiri yang harus masuk kategori dewasa. Umurnya sudah 23 tahun waktu itu. 

Mata Dedy Kecil memandangi penuh dengan permohonan.

Robbit yang akhirnya angkat bicara. Dia memang putra seorang keturunan bangsawan yang kaya.

"Biar biaya pendaftaran Saya yang bayar. Tapi Mas harus tetap ikut. Kita sudah seperti keluarga. Semua harus ikut. Kita bersama - sama belajar di grup ini. Ok?"

Ya, begitulah gambaran nasib Dedy Kecil. Meratap. Mengharap dan ternyata solusi yang sangat ia harapkan hanyalah, ujung - ujungnya dibayari oleh temannya. Dia adalah seorang mahasiswa yang miskin, kalah dengan beberapa anak SMA yang sudah mampu membiayai diri mereka sendiri.

Cengeng.

Bagaimana Dedy Kecil berlatih bernyanyi sendiri, sedangkan semua adik - adik itu bisa berlatih bersama. Itu urusan nanti. 

Latihan sangat dipercepat karena kebetulan memang lagu yang Dedy Kecil wajib nyanyikan cukup familiar di telinganya. "Selamanya Cinta" milik Yana Julio. Ini sebenarnya lagu kemenangan teman Dedy Kecil, Okta. Beberapa lomba ia menangkan dengan mudah lewat ini. Bahkan kabar santer terdengar kalau memang suara Okta selintas mirip Yana. 



Hal itu bisa jadi perkara mudah. Dedy Kecil tinggal belajar dengan mengingatnya. Tapi tidak. Beberapa kali ia disalahkan memang karena tidak bisa mengatasi beberapa nada tinggi di bagian tertentu lagu itu. Semuanya jadi serba salah. Semua nada salah. Warna suara tiba - tiba menjadi salah satu yang menjadi perdebatan pada waktu itu. Perlukah meniru seorang Yana Julio? Atau diperlukan interpretasi pribadi seorang Dedy Kecil?

Akhirnya Dedy Kecil lebih percaya nalurinya. Dia menggunakan interpretasinya sendiri. Akibatnya beberapa orang malah membenci caranya. Karena menurut mereka lagunya tidak enak dan terdengar aneh.

Dedy Kecil tidak peduli.

Babak Penyisihan telah lewat. Dari 50 peserta telah tersisih 12 finalis Kategori Dewasa yang akan tampil di malam final. Beberapa keuntungan dari tingkat dewasa adalah Dedy Kecil masih terhitung muda. Dia bersaing benar - benar dengan para Mama dan Pak De - Pak De yang memang sudah matang tapi ada kemungkinan pula juga sudah mulai goyah cara menyanyinya. Atau mereka sudah tidak begitu lagi mengenal lagu hits pada tahun itu.

Itu saja sudah membuatnya sangat sangat bersyukur.

Dia duduk terdiam di depan Guru Vokalnya. Beberapa hari sebelum babak Final.

"Ya, sudah. Latihan sudah cukup. Ingat - ingat saja yang sudah Bapak ajarkan. Minimal kamu sudah masuk final saja sudah melegakan. Apalagi nanti menjadi beberapa besar, ya?"

Dedy Kecil mengangguk.

Ekspresi Pak Wasis sebenarnya jelas. Dia sebenarnya khawatir dengan nasib Dedy Kecil. Sepertinya Dedy Kecil belum siap masuk ke belantara dunia menyanyi dan tak ada yang menemaninya.

"Oke, untuk pesan Bapak terakhir. Besok datang. Ambil nada. Duduk diam saja. Tak usah banyak bicara. Tidak usah menerima apapun pemberian orang lain. Begitu nadanya sudah ketemu. Pulang dan istirahat." 

Entah kenapa ada rasa khawatir dari nada Bapak yang telah membidani beberapa penyanyi termasuk putrinya sendiri yang menjadi juara 1 BRTV Nasional. Yang jelas bukan nada yang marah.

"Mengerti?".

Dedy Kecil mengangguk dan menganggap itu nasehat, walaupun dengan nada sedikit menghardik, supaya dirinya nggak lembek, nggak cengeng. Beliau hanya khawatir saja. Itu saja.

---

Esoknya semua berjalan seperti biasa. Pengambilan nada dimulai sekitar jam 10 siang. Dedy Kecil telah tiba di ruang auditorium sekitar setengah sepuluh dan mengambil tempat duduk di tengah. Dia orangnya tidak terlalu suka menyendiri tapi juga tidak terlalu ingin tampil. Dia langsung menuju ke dekat seseorang yang pernah ia lihat beberapa kali datang di beberapa lomba. Mungkin seorang pelatih juga. Mungkin juga fans dari salah satu peserta.

Dedy Kecil duduk dan mengambil nafas, mengitari sekitar pandangannya dan mengenali beberapa orang yang menjadi lawannya lusa malam. Dia tersenyum pada bapak - bapak di sampingnya.

"Bawain lagu apa, Dik? Peserta juga, kan?"

Dedy Kecil mengangguk dan menjawab singkat, "Selamanya Cinta".

Bapak itu terlihat tertarik, "Wah susah lho itu, harus orang yang punya nada tinggi."

Dedy Kecil tersenyum dan menyipitkan matanya. Dia teringat pesan Pak Wasis bahwa tugasnya hanyalah mengambil nada dan langsung pulang.

Bapak itu kemudian mengulurkan sesuatu.

"Permen?". Dedy Kecil tersenyum, mengucapkan terima kasih dan memasukkan ke kantong dan dengan terpaksa pindah ke lain kursi untuk lebih konsen mendengarkan contoh nada lain yang tengah dinyanyikan oleh peserta dewasa berikutnya.



Sedari dulu pengambilan nada memang membosankan. Setiap peserta akan dipanggil satu per satu menyanyikan lagu pilihan dan wajibnya, menyesuaikan dengan kemampuan nadanya masing - masing. Hal itu akan sederhana bila setiap penyanyi punya kepastian dan keyakinan. Tapi beberapa orang malah membuatnya acara itu menjadi semacam latihan atau bahkan buat Show Off.

Makanya begitu namanya dipanggil. Dedy Kecil datang ke panggung. Berkata pada pianisnya bahwa nadanya flat. Mencoba satu bait pada awal dan refrain lagu dan menyudahinya. Ia mendengus sedikit. Antara malu dan jengkel. Ia menuruni tangga, menuju ke luar auditorium dan ingat bahwa ia masih punya permen. Dedy Kecil dengan santai, memasukkan permen itu ke mulut dan menunggu angkutan umum di pinggir jalan. Tanpa sadar ia telah memasukkan sesuatu yang bahaya ke dalam tubuhnya.


---

Dedy Kecil terbangun dengan kepala sangat berat,  seperti menahan berat sekarung batu bata. Matanya dan hidungnya berair, nafasnya tersengal karena batuk berat dan hingga sesak nafas.

Ada apa ini?

Ya Allah aku Dedy Kecil Flu berat. Akibat apa? Padahal ia merasa sepulang dari mengambil ada, ia langsung tidur. Sumpah, tak perna ada ceritanya minum es, tak makan apapun. Tak minum apapun. Kenapa? Rusak semuanya. Dedy Kecil merasa drop, ngomong saja dia terdengar sengau dan serak.



Ia terbatuk - batuk berat beberapa kali hingga terdengar ibunya. Ibunya marah besar dan berteriak dari ruang tamu seberang.

"Oh, begitu. Selalu bikin malu orang tua saja. Sudah tahu Ibu tak pernah ijinkan kamu ikut lomba. Masih saja ngeyel. Masih saja membantah. Sekarang. Katanya besok mau final. Kamu sakit batuk berat begitu, heh!?! Suara saja, nggak keluar. Terus besok kamu mau menyanyi dengan suara apa? Suara Sengau itu? Ha? Bikin malu, saja!"

Dedy Kecil menunduk lesu. Dia seperti kalah. Menyerah. Dan pasrah. Malu dan merasa terhina sekali. Air matanya yang lelah dan panas menetes berbarengan dengan ingusnya.

Hancur sekali hati Dedy Kecil. Pelatihnya pasti akan marah besar dan kecewa. Ia telah melakukan sesuatu yang memang bakal membuatnya seakan memalukan dirinya sendiri. Menyanyi dengan fals dan sengau dengan nada tersengal dan berat.

Malam itu Dedy Kecil meringkuk saja di dalam kamar. Baru hampir tengah malam ia berani menelepon ke Pak Wasis dan kebetulan yang menerima adalah putrinya, Mbak Dian.

"Kamu tadi makan apa, mas?", sapanya.

Dedy Kecil menggeleng.

"Kamu makan apa sewaktu di auditorium?", desak Mbak Dian.

"Aku tidak makan apa - apa, Mbak. Sumpah!", katanya sambil mulai mengusap air mata dan keringat dingin yang membasahi punggung.

"Tidak minum atau ngunyah permen? Sedikitpun?", terdengar nada khawatir.

Astaga Naga!

"Ya, Allah, Mbak! Aku ngunyah permen!", aku Dedy Kecil.
"Dan dari siapa permen itu?", selidik suara di ujung.

"Dari salah satu peserta." Dedy Kecil ternganga.

Terdengar pekikan dari seberang telpon. "Kamu ingat, ya, Mas, Bapak pernah bilang apa? Tidak usah menerima apapun pemberian orang lain. TIDAK USAH, MAS!"

Oh, My God.

Kenapa dengan permen? Apa salahnya?

Dedy Kecil dan teman - teman harus menarik mundur masalah ini menjadi penjelasan tentang gaya dan model hidup orang Jember pada umumnya. Agama, klenik dan mistis kadang menjadi suatu kebiasaan yang seimbang. Semacam Believe System yang sudah berkembang di masyarakat. Kota Jember yang menjadi terkenal karena banyak memiliki pondok pesantren, di beberapa tempat lainnya; kyai, dukun, tabib, orang pinter yang memang punya skill masing - masing, dalam menangani masalah dan memperlancar tujuan juga tumbuh dengan subur.



Apapun akan mereka lakukan, menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya masing - masing. Skripsi yang berhasil, bagaimana memikat sang mertua, bisnis yang mulus tanpa ada penawaran, hingga pemasangan jampa - jampi supaya orang kalah menyanyi atau menaruh sesuatu agar lawan kalah atau bahkan terluka.

Itu wajar.

Seseorang telah memasukkan sesuatu ke permen itu dan merusak suaranya.

Pak Wasis menggantikan telpon itu.
"Bapak cuma sekali ya, berpesan. Sekarang bukan saatnya menyalahkan. Berusahalah semaksimal mungkin. Jangan putus asa. Semua sudah terlanjur terjadi".

Semua sudah TERLANJUR terjadi. Percuma cengeng. Dedy Kecil memang gampang menangis tapi dia tak mau dikenal sebagai Penyanyi Cengeng. Dia akan menepati janjinya. Dia akan menuntaskan lomba itu.

Malam itu walaupun tetap berlinang airmata, karena tubuhnya demam, Dedy Kecil tidak muluk - muluk berharap sembuh dan menang. Ia hanya berdoa supaya bisa menyelesaikan menyanyi di hadapan semua orang dan segera pulang sehingga tak menambah malu.

---

Sore menjelang. Dedy Kecil telah siap. Ia seperti biasa berpamintan dengan mencium tangan ibunya dan minta doa. Ibunya hanya melihat sekilas dan tidak begitu memperhatikan. Beliau masih jengkel dengan ketidaksiapan dan penyakit yang menyerangnya itu, akibat perbuatannya sendiri yang ceroboh.

Lima belas menit kemudian, dengan naik becak menuju ke RRI, Dedy Kecil datang lebih awal untuk berdandan di ruang make up. Ruang Auditorium, tempat berlangsungnya final nanti tampak masih tutup tapi beberapa orang tengah bergerombol di pintunya.

Beberapa Bapak yang tengah ngobrol, membicarakan sesuatu yang cukup mengherankan bagi mereka. Dedy Kecil mendekat, mencuri dengar. Seorang bapak yang bercambang dan berkacamata tengah berapi-api bercerita,

"Tadi kami sebenarnya sudah siap untuk masuk ke auditorium. Tiba - tiba ada bapak panita, bilang kalau meminta izin agar sebelum masuk, ada bapak yang mau masuk lebih dahulu untuk 'membersihkan' ruangan agar tidak ada pengaruh hal-hal yang bukan-bukan".

Bapak berseragam Korpri di sebelahnya mengerutkan keningnya, "Bukan-bukan yang gimana, ya Pak?".

Bapak tadi tak begitu saja menyerah menceritakan keseluruhan ceritanya, "Lalu, Bapak itu, kayaknya Pak Kyai, masuk ke auditorium. Beliau itu cuma bawa garam. Garam lho, ya. Baca-baca gitu. Komat-kamit, terus nabur garam itu di empat pojokan. Semua orang pada kaget, karena di dari pojokan panggung ada suara ledakan kecil, dan asapnya keluar".

Huaaaaaaa. Beberapa orang terkagum-kagum.

Beberapa orang berbisik mengeluhkan dan menyayangkan bahwa masih saja hal itu dilakukan ke setiap lomba mau tingkat kecil atau besar. Bahkan ke lomba yang jelas - jelas hanya menyanyi dan memang dilihat dari cara dia bersuara dan berpenampilan. Bukan sesuatu yang bakal menghasilkan keuntungan besar atau bak politik atau bisnis yang sering mengalami hal tersebut sebagai salah satu cara menyingkirkan lawan. 

Dedy Kecil tersenyum kecut. Ia juga tidak pernah membayangkan itu bakal terjadi. Yang jelas, dia sendiri sadar, bahwa ia ternyata telah menjadi salah satu finalis yang cukup kuat hingga harus disingkirkan dan masuk menjadi perhitungan malam itu. 

Ia melangkah gontai menuju ke ruangan belakang, sebelum masuk ke ruang ganti, ia bertemu dengan Pak Yanto, salah satu pegawai RRI. 

"Kalian tampil bersebelas, malam ini, ya? Mas Irawan salah satu peserta, mengalami kecelakaan tadi siang dan tak sanggup untuk datang. Sebenarnya dia tidak luka berat, dan masih bisa berjalan dan berdiri. Tapi pikirannya sudah kacau".

"Wow," gumam Dedy Kecil pelan. Pikirannya sebenarnya lebih kacau lagi.

"Kabarnya kamu sedang sakit juga ya?".

Dedy Kecil mengangguk.

"Hebat kamu masih bisa datang, salut. Paling tidak kamu tidak mengecewakan Panitia. Kamu datang memenuhi undangan kami. Baguslah!".

Bapak itu menyalaminya dengan kuat. Ada semacam semangat baru mengalir di tangannya. Ya. Ia hanya menunaikan tugasnya. Memenuhi undangan panitia. Sepertinya sebuah istilah yang sangat tepat dan terhormat.

Malam telah tiba. Bagi finalis pria, dandan itu hanya memasang jas, celana panjang, sepatu pantofel dan sedikit percikan bedak di wajah. Dedy Kecil melangkah di ruang kecil pas di belakang panggung, untuk duduk dan diam. Menunggu panggilan. Sepertinya bakal lama. Ini baru nomor satu, jam baru menunjukkan 19.00 WIB. Ia sendiri bernomor dada Enam.

Duduk di selisih beberapa finalis di sampingnya, ada Tante Wiyati. Tetangganya yang baru saja usai bersolek dengan heboh.

"Eh, kamu. Bukannya kamu katanya itu flu berat ya? Masih juga mau datang? Nggak malu tuh? Percuma juga sih. Si Irawan aja yang tadi siang kepleset di jalan, gak datang tuh sampai jam segini. Moga-moga saja dia tidak apa-apa".

Dedy Kecil hanya memperhatikan alisnya yang tinggi sebelah. Seluruh ruangan yang sepertinya menganggap Tante ini paling tua dan patut dihormati , mulai mengarahkan seluruh pandangan mereka ke Dedy Kecil. Menunggu jawaban atau minimal sebuah pernyataan.

Dedy Kecil mengambil nafas singkat, "Saya hanya memenuhi tugas. Memenuhi undangan panitia. Mengakhiri tugas ini sampai selesai".

Ia duduk dan melepas jasnya karena merasa kegerahan. Beberapa orang tampak lega akan jawabannya. Tante Wiyati nampak masih jijik dengan cara Dedy Kecil menjawab pertanyaan itu dengan tenang. Ia memang tidak batuk lagi tapi jelas belum sembuh. Ia tak lagi latihan dan pemanasan seperti yang pernah biasa ia lakukan di lomba-lomba sebelumnya. Ia hanya ingin menyanyi lagu itu dengan maksimal, walaupun rasanyaseperti bunuh diri di panggung. Ia ingin malam cepat berlalu dan pulang.

Sepertinya itulah yang terjadi malam itu. Air mata Dedy Kecil meleleh di saat melengkingkan refrain pertama, nadanya fals dan tepat di nada yang seharusnya dia melesat ke not tertinggi, suaranya lenyap. Kehancuran sudah di depan mata. Seluruh penonton tanpa sadar mengeluarkan suara decak kecewa yang seharusnya di peraturan menonton lomba menyanyi, sangat tidak boleh dilakukan. Mungkin mereka prihatin atau malu atau mungkin mereka merasakan apa yang Dedy Kecil rasakan. Hancur.



Usai lagu itu. Ia menunduk dengan hormat. Mata dan wajahnya masih terasa panas dan kemerahan. Ia tidak menyesal. Di dadanya terselip rasa lega, ia telah menyelesaikan tugas dengan baik. Beberapa orang bertepuk tangan mendukungnya, sayangnya ia tak lagi bisa melihat. Matanya buram, air matanya mulai menetes bebarengan dengan keringatnya yang mengucur karena demamnya mulai terasa.

Ia perlahan ke balik panggung.

Tante Wiyati menyambut dari kursinya.

"Ya ampun. Suara fals falesan gitu masih saja tidak punya malu untuk ikut. Eh, sadar diri, Bocah. Bikin malu RRI saja. Kalau aku sih dari tadi mending mundur aja. Ya, nggak? Orang yang kecelakaan saja nggak datang kok. Tahu diri."

Semua terkesiap tak berharap Tante Wiyati mengucapkan kalimat sekejam itu.

Dedy Kecil hanya mengambil tasnya dan dengan perlahan keluar lewat pintu belakang. Niatannya hanya satu. Pulang. Sesampainya di halaman belakang. Ia berlari tapi ia terhenti.

Ia menangis. Sedih. Dedy Kecil merasa tidak punya siapa - siapa. Beberapa saat isakan kian melambat. Mungkin rasa malu karena ada kemungkinan akan ada seseorang yang lewat memergokinya. Ia benar - benar menghentikan tangisannya dan membasuh semua cairan yang bercampur di wajahnya dengan tisu.

Dedy Kecil perlahan berniatan pulang dan menuju pagar depan. Jam sudah menunjukkan setengah sebelas malam. Di waktu semalam itu, mencari becak adalah sesuatu yang sudah susah. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri ke jalan besar yang melompong sepi itu dan memang sia - sia. Tak ada siapapun.

Di pagar luar, seorang bapak tua menyediakan tempat duduk. Beliau menjual amsle dan ronde hangat. Ia minta ijin untuk duduk dan mulai memesan seporsi.

 

Dedy Kecil merasa ia harus lebih sedikit tabah. Ia tak jadi pulang. Ia menunggu di luar saja. Ia menunggu sampai acara habis, siapa tahu ada orang baik yang bisa dia tumpangi minimal sampai jalanan besar dekat rumahnya.

Dia mulai menyendoki ronde dengan kehangatan di dadanya terasa sesaat setelah jajanan itu masuk ke kerongkongannya. Badannya mulai stabil. Ia mulai tenang. Beberapa menit kemudian, seorang pemuda minta ijin duduk di dekatnya. Ia beringsut mempersilakan. Pria itu memesan amsle.

"Mas ini ikut lomba menyanyi ya di dalam?" tanyanya sopan.

Dedy Kecil mengangguk. Ia mencoba tersenyum. "Kok tahu, Mas?".

"Ia, itu masih pakai jas yang tadi", jawabnya ramah. "Nggak enak badan ya, Mas?".

Dedy Kecil benci pertanyaan itu. Tapi ia masih tetap bisa menjadi orang paling sopan di dunia ini dengan mengangguk sekali lagi.

"Ya, Saya tahu. Beberapa nada, Mas luput. Seingatku juga di beberapa bagian tinggi, suara Mas, menghilang. Mungkih nafas dan batuk yang berpengaruh."

"Ya, Mas", kata Dedy Kecil sambil mencoba memahami siapa pria ini. Ia sepertinya mengenal seluk beluk menyanyi.

"Kenapa Mas, ada di luar? Bukannya acara belum selesai, peserta saja masih ada yang belum bernyanyi".

Dedy Kecil ketawa.

"Saya mau pulang, Mas. Sudahlah, ngapain Saya bela-belain. Saya nyerah. Ini sebenarnya Saya nunggu becak atau kendaraan lewat, tapi nggak ada. Saya pikir, saya tunggu aja di luar. Saya cuma mikir nanti Saya hanya perlu mencolek siapa saja yang saya kenal bila lewat dan bawa kendaraan, buat numpang pulang".

Mas David, ternyata itu namanya, ia tersenyum memperkenalkan diri.

"Mas tenangin diri dulu saja, di sini. Tapi jangan pulang dahulu. Paling sejam lagi acara selesai. Nanti kalau sudah tenang, kita masuk lagi, yuk!".

Dedy Kecil jadi heran. Siapa orang ini. Pandangannya yang sedari tadi sudah jelas - jelas menolak untuk masuk ke ruangan itu jadi luntur. Ia tak mau kembali, karena tak mau malu ke sekian kalinya.

Mas David tersenyum. Dia berkulit gelap macam orang Ambon. Kalung dan gelangnya nampak sebagai suatu identitas tapi entah apa artinya dan asalnya dari mana.

"Mas. Laki - laki itu harus menyelesaikan sesuatu tugasnya hingga tuntas. Kalau ini perjuangan atau lomba, pastikan Mas itu tahu siapa yang kalah dan siapa yang menang. Itu baru namanya tuntas. Itu selesai. Itulah memenuhi tugas namanya".

Dedy Kecil tersentak. Jadi memang tugasnya belum benar - benar selesai. Menyelesaikan lagu itu ternyata baru beberapa persen. Pengertian Selesai sebenar adalah tahu siapa yang menjadi pemenang dan berakhir bila memang acara malam itu benar - benar usai. Itulah jiwa menerima. Ia bisa belajar itu suatu hari nanti. Berani membedakan mana yang profesional atau hanya sekedar menuruti kata hati.

"Ya, nggak?", kata mas David seperti membaca pikirannya.

"Saya sepertinya tahu apa masalah Mas ini. Tapi itu tidak usah dibahas. Tidak untuk malam ini. Itu masalah kecil. Masalah besar adalah masalah mental, Mas. Walaupun tidak menjadi seorang pemenangpun, Mas harus punya itu namanya Mental Juara. Siap menerima segala kekurangan dan tetap mau belajar untuk menjadi lebih baik".

Dedy Kecil mengumpat dalam hati. Dadanya seperti terbasuh. Sejuk. Ia tidak mau diberi label Mentalnya keok, hanya sekedar pernah dipermalukan oleh semua orang di saat menyanyi di panggung.

Setelah itu percakapan mereka terhenti. Mereka sama - sama menikmati jajanan hangat itu. Tapi jujur hati Dedy Kecil telah tertata lebih rapi. Air matanya sudah mengering. Ia hanya menunggu waktu. Ia harus menyiapkan dirinya untuk ikhlas. Sudah pasti dia tak mendapatkan apa - apa. Tapi menerima segala situasi dengan tangan terbuka dan lapang dada, itulah sebenarnya arti Mental Juara.



Sejam berlalu dengan cepat.

Mas David melihat jam tangannya dan mengulurkan tangan, "Ayo, masuk. Tak usah masuk ke ruangan. Di pintu saja. Ayo kita tuntaskan tugasmu malam ini. Kita perlu tahu, siapa yang menjadi juara".

Dedy Kecil merasa diterima dengan nyaman. Seseorang yang ia percaya, seseorang yang sebenarnya ia bisa tolak, karena jelas - jelas dia tak mau masuk ke ruang Auditorium itu lagi dan merasakan kegelisahan yang sama. Tapi sepertinya Mas David tahu, makanya ia hanya mengajak untuk berdiri di pintu saja.

Beberapa langkah saja, mereka sudah sampai di pintu Auditorium. Beberapa jam sebelumnya pintu itu memang ditutup karena acara final lomba itu ditiketkan dan hanya bisa dihadiri oleh orang-orang yang mendapatkan undangan saja. Kali ini ia berdempet-dempetan dengan beberapa tukang becak, bapak - bapak pelatih dan juga teman dari para finalis yang tak sempat menyaksikan lomba dari awal tapi ingin berbagi kebahagiaan karena pintu telah dibuka. Mereka menyiapkan kamera dan juga semacam kertas bertuliskan ucapan selamat.

Dedy Kecil tersenyum. Entah kenapa ia merasa lebih nyaman berada di posisi di pintu itu. Di posisi yang Melihat daripada Posisi yang Dilihat.

Setelah ada pidato yang formal dan pembacaan beberapa faktor penilaian, para Dewan Juri telah bersiap mengumumkan juara yang telah diputuskan. Kali ini khusus kategori dewasa. Mulai dari Juara Harapan 3 berurut ke atas, Harapan 2, Harapan 1 dan juara 3.

Dedy Kecil berjanji ia hanya ingin tahu siapa juara 1 sambil cemas memikirkan apakah Tante yang bermulut kejam itu menjadi jajaran para pemenang.

Suara di atas panggung terdengar lamat - lamat, "Selamat untuk pemenang juara ke 2, yang berhak adalah, finalis dengan nomor dada ... ENAM".

Dedy Kecil celingukan. Ia menghitung siapa saja finalis yang tampil dan mulai melayangkan pandangan mengitari ruangan dan kebingungan mencari siapa pemegang nomor itu.

"Sekali lagi, nomor 6. Nomor 6. Ini bukan undian ya, apakah peserta 6 masih ada?," Bapak Baskoro, juri kenamaan itu mulai resah dan begitu juga para penonton.

Mas David menepuk bahuku dengan lembut. "Mas, bukannya kamu, yang punya nomor 6?"

Dedy Kecil dengan bodohnya menepuk kepalanya sendiri dan mengangkat tangannya. "Saya!"



Beberapa penonton tertawa geli melihat tingkahnya dan sebagian mengarahkan pandangan ke pintu samping dan mulai bertepuk tangan riuh.

Dedy Kecil berlari ke panggung dan terbata-bata mengucapkan terima kasih. Beberapa orang dari arah kanan pojok penonton berteriak - teriak. Dedy Kecil memperhatikan itu semua dan baru tersadar kalau ternyata mereka adalah para pendukungnya, mulai dari Bapak pelatihnya sampai teman - temannya yang ikut sebagai finalis kategori remaja. Semuanya berteriak norak, menyanjung namanya.

Dedy Kecil bangga sekali. Senyumnya sangat lebar. Ia menoleh ke beberapa bagian panggung. Mencari Mas David yang telah entah kemana.

---

Dedy Kecil tidak mendapatkan tumpangan malam itu. Ia malah bertemu dengan bapak tukang becak yang mau mengantarkan seorang Juara Dua Lomba Menyanyi Tingkat Dewasa. Beliau bangga katanya. Suaranya masnya enak walaupun sedang flu berat.

Dedy Kecil merasa bahagia.

Di beberapa langkah sebelum pulang berbarengan dengan lalu lalangnya orang. Ia merasa ada yang memanggil, dan ternyata ada Tante Gaby, beliau adalah Mama dari Kevin, salah seorang finalis Kategori Remaja.

"Dasar kamu orang beruntung Ya, padahal kamu, kan nggak ada seberapanya kualitas suaranya dengan anakku. Kenapa sih? Bangga, ya? Menyanyi fals dan sengau begitu", katanya sambil menunjuk-nunjuk mukanya dan bernada tinggi.

Dedy Kecil terperangah dan menyangkal, "Tapi Tante, kita saja berbeda kategori. Saya kan tidak langsung menjadi lawan Kevin, kenapa mesti begitu?"

Semua orang di selasar ruang keluar itu diam dan memperhatikan drama itu.

"Ah, bilang saja. Kamu merasa sok kebeneran. Sok bagus. Sok kecakepan. Tapi memang NOL. Gak ada bakat".

Mata Dedy Kecil memerah. Caci Maki ternyata tak pernah berhenti. Ia lari dan menuju ke becak dan meminta Bapak itu mengayuh secepat mungkin pulang.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Dedy Kecil memegang pialanya terbalik hingga sepanjang jalan, ujungnya menggores aspal.

Ia menangis. Sejadi-jadinya. Ia sadar. 

Dedy Kecil memang Penyanyi Cengeng.



























Komentar

  1. ternyata, julid itu ada sejak jaman dahulu kala..

    BalasHapus
  2. Sangat inspiratif sekali ceritanya mas. Perjuangan yg luar biasa

    BalasHapus


  3. Luar mas Dedi.. meski banyak rintangan kasar dan "halus" namun tetap bertemu orang2 yang bisa menguatkan.

    Trs Dedy dewasa kelanjutannya gmn?

    BalasHapus

Posting Komentar