MERESENSI DAN MENSINOPSIS FILM ALA SAYA

Kaki - Sebuah Sumber Caci - Bagian Dua



Aku akhirnya tetap tinggal di rumah. Tak bisa kemana - mana. Jangan ditanya aku pernah kemana, bahkan bermain - main dengan anak sebaya tak lagi menjadi suatu kegiatan yang biasa.

Itulah awal aku dibenci, tak disukai, bahkan beberapa kali menjadi sasaran untuk dipukuli. Ya aku dipukuli sekumpulan anak waktu berjalan pulang di belakang rumah.

Menurut mereka,

Aku sombong, lemah, tak bisa berjalan, dan bencong.

Kurang apa lagi coba.

Ibu sudah sangat berusaha keras untuk meningkatkan kualitas kesehatan kakiku. Mulai dibalur dengan berbagai macam ramuan sampai ke menyediakan masakan sepanci penuh kaki ayam alias ceker yang walhasil, telah lama membuat agak sedikit mual kalau mengenangnya.

Menurut kepercayaan, kaki ayam mengandung zat besi yang bakal memperkuat kaki.

Ada pengaruhnya? Entah.

Yang jelas, keinginan untuk naik sepeda mini yang imut - imut itu juga tak pernah menjadi mimpi yang nyata. 

Akhirnya Ibu juga melarang aku melakukan hal itu. Karena aku beberapa kali jatuh ke got, merusak dan menghancurkan pot tetangga yang tentu saja merugikan bagi mereka. Belum lagi suara tertawa dan hinaan yang menyertainya.

Ada kemungkinan besar, sistem motorikkulah yang terganggu. Mengakibatkan ketidakseimbangan tubuh, yang ditunjang dengan kakiku yang kecil dan tak kuat mendukungnya. Lemahnya sistem pertahanan tubuh membuatnya semakin lemah sempurna.

Aku selalu berjalan tertatih dan terhuyung - huyung.

Selamat. 

Aku harus siap dan bisa menjelaskan hal ini, ke semua orang, seumur hidup.


---


1983.

SDN Jember Kidul 2.

Mimpi buruk.

Aku benci olah raga. Pelajarannya sebenarnya tak pernah jadi masalah. Tapi situasi selalu berpihak pada teman - teman yang secara fisik utuh dan sehat.


Yang paling aman sebenarnya duduk - duduk di rumput, menjauh dari panas. Karena salah satu penyebab, yang selalu bikin dada ini sakit seketika, karena aku sering dipaksa untuk pemanasan lari keliling lapangan hingga 4 atau 5 kali.

Sering aku merasa mau pingsan, kliyengan dan pandangan sudah kian memutih. Tapi keadaan dan orang lain tak ada yang pernah tahu dan tak pernah mendukung aku. Begitu mengeluh, aku hanya bisa langsung terduduk.

Teman - teman akan bilang, 
Bencong.

Ah. Apa sih, kenapa aku ini. Aku ini sakit guys, dada ini sakit, ada yang salah dengan jantungku.

Pak Guru Olah Raga hanya bisa ngomel dan mengusir aku kalau mulai kelihatan duduk dan terlihat bermalas - malasan sambil mencuri untuk mengambil nafas.

Di permainan bola pun aku sering ditabrakin teman - temanku sendiri, yang memang larinya cepat dan fisiknya bagus. Aku sering terjatuh. Menurut mereka ya begituah seharusnya olah raga laki - laki. Bagiku, bukan masalah laki - laki atau tida, karena memang selalu celaka karena setiap aku pulang dalam keadaan memar, demam dan selalu harus diurut.

Belum lagi beberapa kali, teman - teman dengan sengaja melakukan hal yang entah apa gunanya. Wajahku sering dilempar bola penuh dengan lumpur dan membuat semua orang tertawa.

Aku badut gitu ya?




Pipiku dan hatiku panas selalu. Mata sering meleleh tapi tak kujadikan tangisan. Malu dan mulai bertanya pada Tuhan. 

Sebeginikah nasibku?

Sejak saat itu rapotku selalu ada nilai 5. 5 khusus untuk olah raga. Sebuah mata pelajaran yang sebenarnya tak ada masalah tapi jadi hal yang menjadi noda merah.

Di sisi lain, aku sendiri sangat ingin menepis kalau aku itu sebenarnya lemah. Aku mencoba ikut gerak jalan. Sebuah aktivitas yang sebenarnya seperti usaha bunuh diri, tapi tetap aku lakukan demi terlihat sehat dan mendapat pengakuan dari teman - teman.

Lumayan, meskipun tak pernah ada manfaatnya, selain mata yang berkunang - kunang.


1988

Aku sudah SMP. Pilihan berangkat ke sekolah tetap sama. Awalnya aku berjalan kaki tapi lama - lama aku nggak kuat. Untuk pertama kalinya, dalam sejarah, aku berani menyatakan kalau aku merasa sesak nafas. 

Suatu hari Ibu pernah membelikan kaos dalam. Aku tak pernah mau. Begitu diberitahu kalau tidaklah sopan kalau anak tidak memakainya, aku nurut. Tapi aku tetap merasa sesak.

Dedy Kecil mengeluh dengan hanya berani bilang, "Sesak, Ibu, Sesak". Ibu berusaha menukarkan ke toko semula karena mengira ukurannya kesempitan. tapi akhirnya beliau paham kalau keluhanku itu berarti benar - benar sedang mengalami sesak nafas.

Oleh karena itu akhirnya aku memutuskan tidak jalan kaki lagi, tapi naik becak. Berdua dengan temanku Po Fen.

Di Jember, sekali lagi, hanyalah anak perempuan atau anak laki - laki yang bakal mau dikata - katain Bencong, yang jalan sempoyongan, yang tidak mampu untuk naik sepeda, yang naik becak.

BENCONG.  

Sebutan yang terus membayangi hidupku. Yang tampaknya tak pernah aku pahami apa sebenarnya maknanya.

---

Pelajaran olah raga kali ini semakin menjadi momok. Apalagi guru olah raga kami adalah sebenar - benarnya killer. Beliau pernah menginjak perutku saat ada kesalahan di saat senam. Lari berputar alun - alun hingga 10 kali adalah hal yang biasa disebut sebagai pemanasan. Sesuatu yang membuatku pusing dan trauma hingga menyerah dan berusaha pergi ke dokter untuk mendapatkan keterangan tak kuat secara fisik.


Hasilnya?

Tak ada. Dokterpun menjadi salah satu orang yang mentertawakan kekhawatiranku selama ini. Dia pun berseloroh,

"Tidak ada di dunia ini, orang yang bisa memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu yang akhirnya menyakiti. Lagian, kalau masnya merasa capek, berhenti saja".

Dia pun tertawa.

Perutku mulas. Apa daya daripada aku pingsan aku harus jujur dan menghadap ke guru olah raga, dan menyatakan kalau aku sebenarnya tak pernah kuat untuk lari sejauh itu. 

Ibu itu tersenyum, diam - diam beliau menyuruhku untuk pura - pura saja mengikuti segala kegiatan, bila tak kuat berhenti saja. Tapi kalau ada orang lain atau beliau lewat dalam rangka mengawasi, berusahalah seolah aku kuat berlari. Beliau akan tetap menilai pelajaran olah ragaku dari seberapa aku berusaha.

Cukup adil.

Seingatku itu benar - benar terjadi. Esoknya di saat aku harus melampaui lari itu di suatu tempat yang sepi, beliau lewat, dengan senyum dan mengelus punggung, sambil berkata,

"Ayo, kamu bisa, kok!"

Nada yang mengejutkan dari seorang guru olah raga yang terbiasa menggampar kepala muridnya.

Di ujian terakhir, yang harus mengelilingi alun - alun 10 kali. Aku banyak dibantu teman - teman. Mereka bahkan berani korupsi dan bohong dengan menyatakan kalau aku telah kurang 1 putaran saja untuk menyelamatkan aku yang sudah terlihat pucat.

Ya Allah terima kasih, teman - teman.

Jujur akhirnya Ibu Olahraga yang juga atlet anggar, menolongku habis - habisan. Di ujian renang, bahkan dia menyuruh aku untuk pura - pura bisa berenang dengan cara, setiap aku gagal mengambang, beliau menyuruh aku menjejakkan kaki ke dasar kolam dan mendorong tubuhku seolah - olah aku sedang meluncur, setelah beliau tahu kalau kakiku sia - sia untuk diajari berenang.

Untuk usahaku atas semua itu, nilai olah ragaku tidak lagi 5 tapi beliau tambah menjadi 6. 

Terima kasih Ibu.

---

BERSAMBUNG

Komentar

  1. Bagus, enak dibaca dan mengharukan.
    Salut buat Dedy Darmawan, seseorang yg pernah aku kenal di SMAN 1 Jember
    Meskipun kita nggak pernah satu kelas.
    (joko praharto / bio-1)
    Iki kisah nyata ta ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita juga pernah menjadi teman sepermainan di Bambu '26 (smasa)

      Hapus
  2. Caramu bercerita membuatku tak sabar menanti bab bab selanjutnya (Mia)

    BalasHapus
  3. Cara bercerita yang bagus Ded. Hebat. Jadi nggak sabar menunggu cerita selanjutnya (Nissy)

    BalasHapus

Posting Komentar