Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Resensi Film Ala Saya



MERESENSI DAN MESINOPSIS FILM ALA SAYA


Salam Budaya!

Saya suka nonton film. Entah apa sebabnya. Yang jelas dulu waktu saya masih kecil, keluarga kami punya pemutar video betamax, sayalah yang paling melonjak gembira. Lebih kecil lagi saya hanya bisa ngiler melihat orang - orang kaya punya pemutar video VHS. (Format kaset video VHS lebih panjang dan besar ketimbang Video Betamax).


Perbedaan Kaset Video Jadul

Keluarga kami keluarga besar, kami lima bersaudara, bapak dan ibu dan belum lagi anggota keluarga lainnya yang menumpang, jadi bagi kami, saya khususnya menonton video bareng nggak boleh egois. Semua harus dipuaskan nafsunya. Ada yang mau nonton kartun, india, film Jawa (sebutan untuk film Indonesia kala itu di daerah kami di Jember), dan Bapak Almarhum selalu nitip film tembak-tembakan atau film binatang-binatang.

Karena keberagaman itulah, sejak kecil saya harus sigap dan siap memilih dan menyewa film sesuai dengan kemaslahatan bersama. Kalau ada salah satu saja kecewa karena filmnya jelek dan ibu saya sampai berujar,

"Akeh Tunggale (Sama aja, nggak ada bedanya sama film lain yang biasa-biasa saja".

Hancur hati saya.

Minat saya pada nonton film makin menggebu. Saya bertemu dengan teman SD. Namanya Andy Suhartono. Dia doyan nonton film. Semua film. (NB. Film bokep tidak saya bahas di sini).

Saya ingat di tahun awal 90 an, di Jember, entah di kota lain, ada banyak gedung bioskop. Ada berapa ya, coba saya ingat lagi, Sampurna, Jaya, Kusuma, Indra, Jember Teater, dan satu Misbar (Bioskop Gerimis Bubar). Semuanya jor-joran memutar film-film bagus-bagus. Kami tak pandang bulu. Sehari bisa 3 sampai 6 kali kami nonton. Sering aku tulis namanya di belakang buku pelajaran, apa judulnya, siapa pemainnya dan apa kesannya. Hampir semua buku catatan pelajaran saya bergambar film. Seingat saya dari film "Home Alone" (1990) dibintangi oleh Macaulay Culkin.


Dan senengnya minta ampun. Sering pamer rasanya. Dan benar-benar terpesona akan keindahan film.

Kesenangan itu kian bertambah dan menjadi saat SMP dan SMA, waktu saya jadi pemimpin redaksi Majalah dan Majalah Dinding Sekolah. Saya selalu sigap dan yang pertama untuk menyediakan sinopsis film yang terbaru.

Tunggu.

Inilah yang sebenarnya selalu menjadi perdebatan selama ini. 

Apa itu Review? Apa itu Resensi? Apa itu Sinopsis?

Sebenarnya gampang di tahun modern ini, Google tinggal di akses, bahkan situs film terpercaya www.imdb.com sudah menyediakan semuanya. Tapi tetap saja orang salah kaprah.

Okay, karena saya agak pemalas, saya kopi saja tulisan dari sini.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sinopsis adalah ikhtisar karangan yang biasanya diterbitkan bersama-sama karangan asli yang menjadi dasar sinopsis. Dari defenisi tersebut kita tahu bahwa sinopsis berlaku juga untuk buku dan karangan. Ringkasan ilmiah pada sebuah tulisan ilmiah merupakan sinopsis dengan nama lain yaitu abstrak.

Kemudian, kita tentu sering mendengar kata review? Kata bahasa Inggris ini sering dijumpai di dunia pendidikan apalagi bagi para guru-guru yang senang memberikan tugas me-review materi sebelum pelajaran/materi itu dimulai. Jadi apa itu review?

Review merujuk kepada kata evaluation/evaluasi yaitu merupakan evaluasi (awal) bagi sebuah buku, jurnal, pertunjukkan, dll. Review hampir sama dengan sinopsis yaitu berupa “cerita singkat”, tetapi lebih mengarah kepada suatu bentuk penilaian/evaluasi terhadap suatu karya. Review membawa dampak yang berbeda bagi para reviewer, tergantung apa yang mereka cermati dari sebuah karya. Reviem mengarah kepada identifikasi gagasan utama sebuah karya.

Baiklah, sekarang tentang resensi. Bagi yang gemar membaca tentu tak asing dengan kata ini bukan? Bagi pecinta film pun demikian karena ada yang namanya resensi film. Resensi merupakan ulasan buku (karya). Menurut KBBI resensi ialah pertimbangan atau pembicaraan tentang buku; ulasan buku. Kata resensi berasal dari bahasa latin yaitu kata revidere atau recensere (verb) yang berarti melihat kembali, menimbang, atau menilai.

Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa resensi itu mengulas buku (karya), meliputi menimbang, menilai, mengungkap, dan membahas suatu karya. Hal ini dilakukan untuk memberi gambaran yang “berisi” bagi para pembaca/penikmat karya. Pada resensi terdapat sinopsis, ulasan, dan rekomendasi berupa saran bagi pembaca untuk membaca buku tersebut atau menonton film ini.

Ada yang merasa ganjil atau ingin mengoreksi? Ya, benar review dan resensi ialah suatu kegiatan yang sama. Jadi review itu resensi dan resensi itu review, sedangkan sinopsis tetap berbeda.

Nah. Sudah itu. Jangan dibahas lagi ya! Dan jangan keliru dan sok ngeyel. Gampangnya Sinopsis itu cerita kesimpulan (No Spoiler) isi film sedangkan review atau resensi ya mengulas berdasarkan pendapat pribadi.

Karena pada masa itu saya belum terlalu banyak nonton, saya hanya berani mensipnosis film yang baru akan main. Sambil terus membahas perbendaharaan film saya dan berjanji suatu hari nanti saya, di saat ada kesempatan, saya akan berusah mengulas / mereview film.

Lalu kenapa saya susah-susah menurunkan tulisan ini?

Saya jengkel, judeg, resah, gelisah dan mumet kalau ada pendapat miring tentang tulisan dan review yang sebenarnya cuma mensinopsis saja.

Saya punya pengalaman yang sangat buruk. Menulis memang tidak gampang. Butuh wawasan, butuh waktu dan perlu yang namanya KEJUJURAN. Beberapa kali saya agak sedikit jengah membaca tulisan dengan tema review yang isinya cuman bercerita isi film itu. Mbak dan Mas yang baik, kami ya nggak usah diajarin. Tugas anak SD pun sebenarnya lebih canggih daripada hanya sekedar menulisulang apa yang ia tonton, dulu zamannya nonton Serangan Fajar yang tokoh anak-anaknya bernama Temon. (Eh masih ada yang ingat nggak sih?)


Jadi ceritanya, ada sekelompok orang yang berkumpul di suatu komunitas, mereka diminta mereview film (kebanyakan film Indonesia), sayangnya tulisan mereka hanyalah sinopsis dengan ujung-ujungnya mirip suara narator di cuplikan film-film itu, lalu bagaimanakah nasib mereka nanti? Akankah berakhir kisah ini? Tonton saja film bla-bla bla ...

Saya sih agak sedikit miris. Saya sendiri mohon ampun kalau saya salah kata. Tapi entahlah, ada yang salah di beberapa orang ini. Terus yang diulas apa? Lebih-lebih banyak sekali atau malah tak pernah terjadi ulasan film di televisi. Seorang artis mungkin yang nonton bakal akan diwawancari akan selalu menjawab. Bagus, kok. Tonton aja. Rekomended.

Hmm.

Atau mungkin bangsa kita takut ya namanya dikritik. Atau diam-diam selalu ingin merasa dipuji. Saya sempat dimusuhi gara-gara pernah mengkritik di ulasan film, walaupun itu bukan berupa tulisan. Masih sejauh ngobrol di grup WhatsApp. Tidak menghargai karya anak bangsa katanya. Atau kebarat-baratan. Atau bahkan sok melihat film kelas Oscar.

Tunggu. Tunggu. Kok jadi begini ya, orang-orang kita ini. Gak ada bedanya dengan Politik. Beda pendapat jadi musuhan. Payah.

Cuma memang saya akui, mengulas film itu perlu jujur. Sampaikan apa adanya apa yang Anda lihat, ceritakan kekurangannya berdasarkan pengamatan, bandingkan dengan apa yang pernah lihat, alami dan baca. Kalau perlu sebutkan kesalahannya. Kritik. Sampaikan solusi yang masuk akal, masukan yang membangun. Terakhir, pujilah, hargai segala usaha pembuat film, akting para pemainnya kalau memang bagus, dan kelebihan yang penting agar para penonton bisa tertarik untuk nonton. Kalau perlu bikin mereka penasaran dengan ulasan kita hingga bilang,

"Ah masak sih, sampai segitunya?"

Itu saja. Gampang kan. Tapi untuk benar-benar begitu. Penulis review harus berjuang keras untuk memaparkan pendapatnya, ada yang benar-benar tulisannya hanya bisa dimengerti orang-orang tertentu karena menggunakan bahasa ilmiah, mencatut nama-nama film berbahasa asing dan sutradara yang susah pengucapannya. Tapi ada yang sederhana melukiskan kata-kata yang mengena karena membuat pembaca mengikuti pengalamannya disertai referensi yang bisa dicek selanjutnya di google atau film lain.

Sebagai orang awam, sangatlah biasa untuk berkata,

"Puh, filmnya apaan sih? Jelek. Nggak jelas!"

Begitu ia keluar dari bioskop sambil ngomel karena merasa rugi kehilangan 50 ribunya. Bagi reviewer ini harus dihindari. Untuk kesimpulan menurut saya, tidak sekasar itu, tapi mengkritik tajam sangatlah dianjurkan.

Saya punya pengalaman dengan film berikut.



Hampir semua review yang saya baca selalu menyebutkan film ini ok, bagus, mengena. Rindu terhadap Rangga dan Cinta. Tapi sebaliknya begitu saya wawancara orang-orang yang sudah nonton, mereka hampir 90 persen merasa tertipu. Kasarnya mereka bilang,

"Nggak ah, nggak kayak yang dulu"

Saya untungnya gak menulis langsung karena waktu itu belum menonton. Cuma saya pernah membaca satu ulasan di facebook (sayangnya saya lupa, seingat saya cewek) yang cukup berani mengungkapkan kritik dan uneg-unegnya. Ia menyebutkan beberapa faktor dari kegagalan film ini seperti:

Rentang waktu yang nggak tepat dan terburu-buru, seingat saya waktu itu ia menyebutkan ini tahun ke 14, kenapa nggak pas 15 tahun lagi? Ataukah iklan di Line dan animo besar masyarakat membuatnya harus segera dibikin filmnya. (ini juga saya nggak tahu, apakah sebenarnya film ini dipancing oleh LINE atau mereka berusaha memancing lewat LINE)

Segmen yang sudah beda, dengan rentang waktu itu, bahasa yang dipakai, gestur, cerita yang didambakan sudah beda, ini berakibat penonton baru akan bingung. Dimana penonton AADC pertama tentu rindu dengan Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastro) dan ingin tahu kelanjutan hubungan mereka, apakah berakhir mereka akan bersama dan menikah? 

Bagaimana dengan penonton baru, suruh saja mereka menonton AADC pertama. Okay.

Menurut saya, ulasan dan pertentangan ini yang lebih menarik, membuat kita berpikir. Membuat kita melontarkan kritik. Membuat para pekerja di Industri Film akan membuat film yang akan lebih menarik dan penonton terpuaskan dahaganya. 

Toh saya akhirnya nonton di TV. Dan di akhirnya cuma merespon, 

"Oh begitu akhirnya."

Dingin. Walaupun masih terkagum-kagum sama tempat-tempat di Yogyakarta yang disinggahi dan juga sama akting Dian Sastro yang menurut saya "Astaga" dan mas Nicolas yang mungkin minum pengawet makanan biar tampak selalu muda. (Masih ada sisi bagusnya kan, ya kan?)

Apalah itu sebutannya. Pokoknya begitu. Seimbang. Saya memikirkan kelebihannya dan kekurangannya. Walaupun kurang begitu sreg melihat adegan di bagian akhir dimana Cinta yang lari karena cemburu akibat melihat Rangga merangkul orang asing. (Hmmm ...)

Ya. Tapi saya tidak putus asa. Saya sering mencoba perlahan-lahan mengulas film yang saya tonton melalui tulisan-tulisan pendek saya yang saya share di Path yang otomatis terunggah di facebook dan twitter. Orang-orang merespon dengan baik. Mereka tertawa, tersenyum, merengut, membantah, setuju, atau bengong. Tapi memang respon itulah yang saya nantikan, daripada dingin membaca sinopsis.

Dan akhirnya saya bertemu di twitter seorang Paskalis Damar.

A Bali-based blogger and a cinema-loner who got a Sinekdoks tattoo on his back. He’s an English Education graduate, a former language instructor (both English and Bahasa Indonesia), and currently a PR. In 2016, he won ‘Kritik Film Terpilih’ in Piala Maya 2016. He believes that what he writes in sinekdoks is an art of subjectivity, but most importantly, he doesn’t understand why he writes ’em all.

Seseorang yang jujur mengungkapkan apa yang ia lihat, rasakan dan visikan. Saya juga fair ada beberapa yang nggak setuju apa yang ia katakan. Tapi sekali lagi ia jujur. Saya suka orang jujur. Coba Anda baca review dia berikut ini

tentang The Nekad Traveler (dibintangi oleh Maudy Ayunda). Saya pikir review ke depan orang harus berani seperti ini. Salut deh.

Sekali lagi. Saya cuma pengen jujur. Di setiap tulisan. Saya juga cuma nulis kok. Memuntahkan apa yang ada di otak saya.

Gitu aja.

Salam Budaya!

Jakarta, 28 Maret 2017

Komentar