- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Salam Budaya!
Sewaktu Saya sadur dan kutip Iklan Layanan Masyarakat untuk saya share di Path, Facebook, Instagram dan Twitter ini, Saya memang cukup 'berniat' dalam memperbaiki desainnya. Perlu sekitar 2 jam mulai dari mencari gambar, menterjemahkan, mendesain ulang dan menyematkan hasil terjemahan ke dalamnya. Hasilnya ciamik. Reaksinya banyak yang makin tidak menyenangi saya.
Beberapa waktu yang lalu. Saya lihat iklan rokok juga sudah mulai menyelami salah satu lagu D Massive. "Cinta ini Membunuhmu" menjadi "Rokok Membunuhmu".
Dan tiba-tiba saja di pikiran Saya semuanya ini jadi guyonan. Dimana orang sebenarnya benar-benar sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang sebenarnya merupakan penyulut kematian, mana yang bisa menjadikan hidup ini benar-benar menceriakan kehidupan. Bila digabung kok menjadi sesuatu yang 'creepy' alias menakutkan ya? Karena salah satu cara untuk menceriakan kehidupan ya berarti, membunuh (dengan Rokok - tentunya).
Saya sebenarnya tergelitik karena ada teman Saya menerangkan, dengan jelas, iklan rokok yang saya cuplik di unggahan kedua yang memperlihatkan seorang pria yang digambarkan sangat seksi tengah tercekik oleh rokok yang berubah menjadi rokok yang menggoda.
Kata teman saya itu.
Kalo Cowok Gak Ngerokok Itu Kurang Gentle Rasanyaa.
Jujur Saya agak tersinggung awalnya mendengar kalimat itu. Yang secara tiba-tiba berani mengkaitkan keGentlean seorang Pria dengan menilai dari awal apakah Pria itu merokok atau tidak.
Pikiran Saya melayang ke sekitar 30 tahunan yang lalu.
Di saat Almarhum Bapak masih seorang yang segar. Perokok aktif. Beliau suatu hari memanggil Saya yang waktu itu berumur masih seharusnya di bawah 10 tahun dan adik Saya perempuan yang hanya selisih 11 bulan saja.
Beliau, tanpa tedeng aling-aling, menyodorkan rokok Gudang Garam yang berbungkus merah ke kami berdua. Dia menyulutkan korek.
Saya takut. Ini mimpi buruk. Jangan-jangan ini cobaan atau hukuman.
"Udah rokok saja"
"Pak, katanya merokok itu gak boleh", ujar Saya dengan ketakutan yang tertahan.
Bapak memaksa.
"Udah rokok saja".
Saya menghisap rokok itu perlahan dan sesuai dugaan Saya, asap itu tiba-tiba memenuhi tenggorokan. Menyesakkan.
Saya terbatuk. Dengan jenis batuk yang tak pernah saya rasakan sebelumnya.
Batuknya berulang beberapa kali. Ekspresi Saya juga aneh karena kepulan asapnya memedihkan mata.
Bapak saya memandang serius atas apa yang terjadi dengan putra kelimanya ini.
"Gimana rasanya?"
"Gak enak. Pak. Pahit. Sesak. Batuk".
Protes Saya dengan (seharusnya) penuh umpatan. Cuma karena Saya masih kecil Saya belum punya banyak kosa kata makian yang (tidak) sepantasnya diucapkan.
Ekspresi Bapak masih serius.
"Jangan Merokok!"
Wow.
Kalau dalam Ilmu pembantaian. Ini pembantaian pertama Saya perihal merokok. Kalimat Almarhum Bapak itu menancap di otak. Terngiang-ngiang di telinga. Membekas lebih dari nikotin yang menghitam di paru-paru orang yang merokok.
Pembantaian berikutnya lebih sadis.
Saya pengidap jantung lemah. Yang berakibat Saya sesak napas. Apapun yang terjadi. Hanya gara-gara kelelahan Saya bisa tidak bernapas normal layaknya orang lain. Saya harus 'berpikir' dulu dan harus benar-benar secara sadar memerintahkan tubuh untuk mengambil napas. Ataupun dalam keadaan parah, Saya harus bernapas lewat mulut.
Megap-megap. Karena beberapa kali kena flu hidung Saya bisa tersumbat.
Bahkan Saya pernah hampir mati saat di bioskop karena tersedak soda. Dan tak seoksigenpun bisa Saya hirup. Malah banyak orang menganggap Saya mirip ikan tak berguna yang bisanya cuman mangap.
Gak bisa apa-apa. Karena memang boro-boro bicara. Napas saja gak bisa.
Lalu apa kabar dengan asap rokok yang Saya hirup dari orang - orang di sekitar Saya? Siksaan yang berat. Itu sebenarnya tidak membunuh Saya secara langsung. Tapi perumpamaannya seperti mengiris paru-paru dan jantung Saya dengan silet yang cukup untuk membuat Saya kembang kempis.
Saya tidak mengeluh. Gak pernah protes. Gak pernah melabrak orang di angkot. Gak pernah memberikan isyarat dengan mengibaskan tangan di depan hidung. Tidak pernah ngajak ribut.
Saya malah sediain asbak di kamar. Tak pernah ngomel menyapu dan mengepel bekas rokok. Dan beberapa kali sering malah membelikan teman-teman Saya rokok sesuai kebutuhan.
Tapi jujur, yang lebih menyakitkan dan membekas sebenarnya adalah kepergian Bapak. Beliau dipanggil Allah SWT dalam keadaan tubuh yang sudah porak poranda. Stroke dengan kelumpuhan separuh badan total. Semua sistem rusak dan tak bisa digunakan lagi. Paru-paru menghitam, Jantung udah gak berfungsi, gagal ginjal.
(Maaf sebenarnya Saya tak tahu detail karena waktu itu masih SMP dan istilah kedokteran tak terjangkau di pikiran Saya).
Cuma Ibu pernah membisikkan dengan lembut ke beberapa teman. Penyebab sebenarnya adalah:
Darah tinggi. Suka makan enak. Dan rokoknya gak pernah berhenti.
Beliau mendesah. Ada sedikit nada penyesalan di nada bicaranya. Bukan menyesal ditinggal. Tapi memang anak-anak masih belum cukup besar untuk mendapatkan kasih sayang penuh dari Bapaknya.
Saya lebih menyesal.
Rokok telah MEMBUNUH Bapak saya.
Sebuah perjalanan dan proses yang sangat melelahkan dan penuh penderitaan bagi Ibu dan kami untuk menyaksikan Bapak yang semula tinggi besar, gagah dan sehat. Terus anjlok ketahanannya gara-gara lintingan tembakau itu.
Tapi saya tetap bukan orang ribut.
Ribut Saya adalah lewat kata dan unggahan gambar. Lewat pengulangan cerita ini ke orang-orang dengan besar pengharapan siapapun bisa menghargai paru-paru dan jantung kita.
Di saat sebenarnya kondisinya masih sehat dan sempurna.
Bukanlah hal yang sangat mengenakkan bila Saya hanya bisa berironi KeGentlean Pria tak perlu membuat dia akhirnya pergi terdahulu meninggalkan Anak dan Istrinya.
Pria yang Gentle adalah yang menghargai dirinya sendiri. Sayang terhadap keluarga dan lingkungannya.
Saya tidak mau ajak ribut.
Ekspresi Saya sama seperti Bapak saya berpuluh-puluh tahun yang lalu itu.
"Jangan Merokok"
Salam Budaya!
Mengenang Almarhum Bapak R. Soedarjo Tjokrodarmodjo. Yang seharusnya berulangtahun bulan ini. (lahir 12 April 1934)
Komentar
Rokok itu sudah jadi semacam legitimasi kejantanan.. Untuk berhenti dari kebiasaan tsb tidak mudah, dan butuh perjuangan dan keyakinan teguh, bahwa hal itu mungkin dilakukan. Namun yang terjadi di sekitar kita adalah kepasrahan, bahwa ajal bisa terjadi kapan saja, dengan sebab apa saja. Dan rata² perokok menyadari bahwa kemungkinan besar akan wafat akibat penyakit yang kelak akan dideritanya karena merokok...
BalasHapusYo kang. Masih jadi dilema bagi kita semua. Semoga selalu yang terbaik yang kita pilih. Aaamin.
Hapus