Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

Kisah Dedy Kecil - Kulkas Tua


Dedy Kecil merasa bahagia malam ini. Mimpinya lebih indah dari biasanya. Kalau di hari-hari kemarin, mimpinya seputar kambing berbulu lunak yang pasrah dan merasa siap dihitung karena jumlahnya ratusan atau mungkin tak terhitung. Mimpi kali ini lain. Mimpi ini lebih sedap, dia mimpi sate kambing. Sate kambing yang harganya agak mahalan dikit. Dua ratus ribu harganya. Sama seperti uang yang Dedy Kecil dapatkan dari Pak Denya di desa. Itulah yang ternyata membuatnya lebih bersukaria. Yang telah membuat mimpinya lebih indah, dan jangan lupa, lebih sedap. 

Ia terjaga. Sate kambing pun buyar. Ada yang mengetuk kamar dan membuka pintunya. Kepala Mak Kanah muncul, 

“Dipanggil Ibu, dari tadi. Ada tamu yang cari”. 

Apa ini? Sepagi ini, minggu lagi, ada yang mencarinya. Siapa? 

Ia bergegas menuruni tangga dan dengan rambut masih acak-acakan menuju ke ruang tamu, mendapati Ibunya bersama seorang Ibu duduk manis.

“Dedy, Ini Ibu Rahmat. Masih ingat, kan? Ibu Rahmat ini ibunya Bu Rosi, lho. Ingat, kan?” 

Ibu Rahmat yang mengenakan kalung manik-manik palsu tiruan mutiara itu tersenyum ramah. Raut mukanya kasar bercampur dengan kerut dan keriput yang penuh. Ibu itu setidaknya sudah berumur lebih dari 70 an. Beliau menggenggam erat tangannya dengan erat, menggelisahkan.

Bayangan Dedy Kecil akan Ibu Rosi langsung tergambar. Ibu Rosi adalah salah satu teman akrab ibunya. Ibu Rosi yang selalu mengenakan rompi senada dengan sepatu hak tingginya. Beliau adalah sosialita lokal kita. Masyarakat mengenal dia sebagai wanita penggoda. Ini memang kasar. Tapi kadang dengan jambulnya yang cetar membahana, lipstiknya yang menyala dan tawanya yang binal menggelora itu, segala tingkahnya sudah menjadi merk dagangnya. Pria kadang juga usil, tidak menganggapnya penting tapi selalu beramai-ramai mengerumuni beliau bak penjual obat dan penumbuh rambut yang ramai pengunjug di pasar malam. 

Dedy Kecil mengangguk dan dengan sopan mencium tangan Ibu Rahmat. Mengamatinya dengan secepat kilat, dan mengenali kalau pakaian yang dikenakan Ibu Rahmat memang lusuh dan tak tersetrika dengan baik. Orang setua itu mengenakan jenis rok terusa seperti selalu memberik kesannya ganda, apakah dulu ia adalah orang kaya atau itu memang pakaian bekas yang diberi dari orang yang kasihan melihat nasibnya. 

Dedy Kecil menarik napas menghilangkan rasa simpatinya dengan langsung menoleh ke ibunya dengan mengangkat alisnya – berusaha memberi kode, bertanya pada Ibunya – ada apa di hari Minggunya yang damai, sang Ibu berani mengusiknya. 

“Ibu Rahmat ini, lagi kesusahan Dedy. Dia pengen pinjam uang. Dua ratus ribu saja. Nanti kalau ada waktu dikembalikan. Kasihan, Ibu ini. Bukannya kemarin kamu dapat dua ratus ribu dari Pak De, ya, kan? Kasih lah, uang itu ke Ibu Rahmat, ya, Le? Masih ada, kan?”, kata beliau mengeluarkan senyumnya yang menusuk. 

Ibu memang pintar melakukan itu di hadapan orang dan di ruang tamu, di mana tempat itu adalah suatu tempat yang pantang bagi kita untuk menjawab tidak, walaupun itu nilanya sebesar dua ratus ribu. Menolak permintaan di ruang tamu tentu akan memalukan keluarga kami, apalagi Dedy Kecil. Pemerasan itu berhasil, Dedy Kecil tidak berkutik, tersenyum kecut dan memandang prihatin ke mata Ibu Rahmat yang kikuk tapi tetap mengharapkan bantuan. 


Dengan secepat kilat, Dedy Kecil melesat ke kamarnya dan kembali dengan gulungan uang dua lembar seratusan ribu. Ia mengulurkan dan menggenggamkannya dengan sopan ke Ibu Rahmat. 

Ibu Rahmat mewek. Beliau menangis dan mengucapkan terima kasih sebanyak empat kali. 

“Kalau Ibu sudah punya uang hasil nyuci, Ibu pasti kembalikan, ya, Nak. Ibu janji. Ibu janji. Ibu janji.” Matanya menggelisahkan Dedy Kecil. Ia menoleh ke ibunya sesekali dan menjawab dengan spontan, 

“Nggak usah repot, Ibu. Ini untuk Ibu saja. Untuk kebutuhan – apapun kebutuhan Ibu. Tidak usah mikir dikembalikan. Beneran.” 

Ibu Rahmat bertasbih beberapa kali, terkejut dan menutup tangannya – menghapus air mata di wajahnya. 

Ingkang putro, larene sae, nggih, Jeng? (Putra ibu ini, memang baik ya, Jeng)”, isaknya menambah haru. 

Dedy Kecil meringis dan ingin cepat lari dari ruang tamu tapi Ibu menahannya. Ibu ingin menjelaskan sesuatu padanya. 

Ibu Rahmat terburu-buru berpamitan dengan berulang kali membungkuk rasa terima kasih yang cukup berlebihan. Ibu kerepotan menolak bungkukannya dan menganggap itu suatu ketidaksopanan mengingat usia Ibu jauh lebih muda dari Ibu Rahmat. 

Ibu Rahmat menghilang di kejauhan meninggalkan Dedy Kecil yang duduk manis di hadapan Ibunya. Beliau bercerita singkat mengenai keluhan yang dialami oleh Ibu Rahmat dan alasannya meminjam uang. 

“Beliau itu tak punya uang sama sekali untuk makan”, intronya sangat mengagetkan. 

“Bukannya Ibu Rahmat itu Ibu kandung Ibu Rosi?”, tanya Dedy Kecil penuh keheranan tingkat tinggi. 

“Pernah dengar bahwa hal itu tidak pernah ada hubungannya sama sekali? Ibu Rosi ya tetap Ibu Rosi. Ibu Rahmat tinggal sendiri. Ibu Rahmat menyambung hidupnya dengan menjadi buruh cuci tetangganya. Itupun kadang nggak cukup. Bahkan untuk makan sehari-hari. Satu-satunya jalan kalau beliau memang kekurangan uang, ya Beliau datang ke Ibu”. 

Dedy Kecil tercekat. Jadi selama ini anak kaya itu tidak menjamin Ibunya bahagia dan sejahtera? 

Ibu tersenyum dengan bijak. 

“Mudah-mudahan kamu bisa mempelajari hal ini dengan benar. Kami, orang tua tidak pernah menuntut air susu yang pernah kamu minum, muntahan yang pernah kamu kotori di baju ini, atau malam-malam yang panjang bila kamu demam dan air mata kami tercurahkan dengan hebatnya. Orang tua sudah bahagia bila bisa melihat anaknya bahagia.” 

Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran Dedy Kecil. Berkecamuk. Ketidakadilan ini suatu yang biasakah terjadi? 

Dedy Kecil hanya bisa terdiam. Kalimat Ibu tadi membekas kuat hingga saat ini. 

Dedy Kecil tertidur gelisah malam itu. Mimpinya tak berbentuk. Tak jelas. Meski tetap berwarna. 

Ia terjaga. Ada yang mengetuk kamar dan membuka pintunya esok paginya. Kepala Mak Kanah muncul, 

“Dipanggil Ibu, dari tadi”. 

Apa lagi ini? Sepagi ini, Ibu mencarinya. Ada apa? 

Ia bergegas menuruni tangga dan dengan rambut masih acak-acakan menuju ke dapur, mendapati Ibunya berdiri di samping kulkas tua. Entah itu milik siapa. 

Ibu tersenyum. Bangga tepatnya. 

“Kenapa Ibu? Ini kulkas milik siapa?”. 

“Milikmu, Nak. Ibu Rahmat membayar hutangnya dengan memberi kulkas tua ini. Ia bilang, tolong titipkan buat Mas yang baik hati. Semoga berkah.” 

Dedy Kecil menggaruk-garuk kepalanya. Perasaannya campur aduk. 

Akhirnya Kami punya 2 kulkas. Ibu dan Mak Kanah tak repot lagi menyimpan sayuran.

Alhamdulillah.

Komentar