Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

EKONOMI DIGITAL - KISAH KEMAKMURAN DI MASA KINI



Ibu Saya adalah seorang yang skeptis. Beliau kadang merasa tidak perlu melakukan apa yang orang lain lakukan. Beliau tidak jahat atau kejam. Beliau kadang tidak mengerti tapi memastikan bahwa beliau yakin sendiri akan prinsipnya dan tidak gampang mengubah cara pandangnya berdasarkan saran orang lain. Ada sedikit gengsinya tapi bagi Saya, rasa takut Beliau dalam menghadapi dunia modern ini terdengar seperti sebuah ancaman tersendiri.

Itu berlaku dan terjadi di hal – hal terkecil dari hidup kami.

“Ibu nggak mau punya ATM”, ujar beliau suatu hari bersungut – sungut.

Saya tersenyum.

“Ibu tidak mau punya kartu ATM, mungkin”, kataku dengan menggoda. “Kalau Ibu punya ATM kita sudah berada kali, Bu”.

Ibu tidak melirik. Beliau agak marah benar sepertinya. Ibu agak tersinggung dengan mbak – mbak di mall tadi yang mengingatkan kalau belanjaan Ibu bakal akan mendapatkan diskon khusus dan pelayanan belanja lewat online bila Ibu mempunyai Kartu ATM Bank ABC dan menunjukkan langsung padanya untuk dibantu diregistrasikan.

Dengan keningratan beliau yang hakiki, dagu beliau langsung terangkat dan langsung menjawab singkat,

“Saya tidak butuh (kartu) ATM. Saya tidak butuh diskon”.

http://cdn.blog.rvshare.com/wp-content/uploads/2015/04/discounts-signs.jpg

Saya tidak malu. Saya mengenal Ibu Saya lebih dari orang lain. Ibu masih mengalami kegagapan teknologi dalam berbagai hal. Saya paham itu.

“Bukannya untuk diskon saja, lho Ibu. Zaman sekarang sudah maju. Orang sudah tidak perlu lagi membawa segebok duit kemana-mana. Ibu saja bukannya punya pengalaman ngeri pernah dirampok 10 juta waktu itu kan?”

Ibu sedikit melemah. Gugup dan melirik sedikit, sambil memilah belanjaannya. Saya yang membantu membuka plastik pembungkus buah bertanya lewat pandangan Saya yang sengaja Saya tajamkan.

Ibu gelisah.

“Punya (kartu) ATM itu ribet. Harus ini atau itu. Ngurus ini ngurus itu”. Air mata beliau berkaca – kaca. Sepertinya itulah ketakutan beliau selama ini.

Ibu Saya walaupun pendidikannya tidak tinggi hanya setingkat SMP tapi beliau tidak bodoh. Beliau hanya merasa belum merasa menyesuaikan diri dengan lingkungan zaman sekarang yang sudah kian pesat.

Saya mencoba menenangkan Ibu dengan menggengam lembut lengannya dan menuntun beliau ke kursi ruang tengah kesayangan beliau kalau kami tengah berdiskusi atau berdebat.

“Ibu duduk di sini, ya?”. Ibu mengangguk.

Secepat 2 kali sambaran kilat di tangan Saya sudah teraduk secangkir kopi pahit kesukaan ibu. Saya menyodorkannya ke Ibu sambil menunggu senyumnya yang khas. Ini semacam penyogokan. Sewaktu kecil kalau Ibu sudah mulai marah dan butuh penjelasan, Saya akan membuatkan beliau minuman kesayangan dan menunggu beliau reda untuk lebih jernih di saat Saya menerangkan segala sesuatu.

“Ibu tahu, mbah Supiah di belakang masjid? Yang jualan es campur?”, kata Saya menenangkan.

Ibu mengangguk sambil menyeduh kopinya.

“Beliau sekarang sudah mewadahi es campurnya dengan gelas – gelas plastik. Gelas – gelas itu beliau pesan lewat online, Bu. Putranya, Lik Ijan, membantu memesankan lewat akun PoktoPedia.com. Cuman 2 hari sudah dikirim. Cepat lho, Bu.”

Ibu menatap dengan penuh tanda tanya.

“Saya membayar BPJS kita juga lewat handphone, lho Bu. Tinggal klik, transfer dan tidak perlu ke Bank”.

“Oh, ya?”, reaksi Ibu sedikit melegakan.

“Malah yang kemarin kita nonton Suzanna, Ibu tahu kenapa kita tidak antri? Karena Saya sudah pesan lewat aplikasi di handphone, Ibu.”
Ibu memejamkan mata sebentar. Entah takjub atau masih takut terbayang oleh sosok sundel bolong.

“Kita ini sudah ada di era Ekonomi Digital (#Ecodigi), Ibu.”

http://cdn.blog.rvshare.com/wp-content/uploads/2015/04/discounts-signs.jpg

Ibu menyimak.

“Apa itu, Le, Ekonomi Digital?”

Saya tersenyum.

“Paling gampang begini Ibu. Zaman sekarang Penggunaan Internet sudah merambah ke transaksi ekonomi. Orang mau jual, beli, kredit, kirim, transfer, bayar, menabung, semuanya bisa lewat internet. Itu malah memudahkan lho Ibu. Hanya sekali sentuh. Lewat hape lagi. Semuanya akan lebih cepat, aman, nyaman dan tentu saja nggak bikin ribet.”
Ada perubahan besar terjadi pada raut wajah Ibu. Beliau lebih sumringah, begitu Saya bilang kata kunci ‘Nggak Ribet’.

“Beneran, Nggak Ribet, Le?”. Ibu tersenyum. Kopinya terlihat kosong sekali teguk.

“Tidak, Ibu. Di zaman yang serba canggih ini, Ekonomi Digital juga termasuk memanfaatkan secara positif penggunaan teknologi informasi secara luas meliputi pemanfaatan softwarehardware, aplikasi, serta telekomunikasi pada setiap aspek perekonomian. Ya, seperti tadi Ibu, paling awamnya ya bisa jual beli online atau transaksi keuangan misalnya. Jadi segala sesuatunya sekarang lebih sederhana dan efektif, Ibu. Tanpa ada uang yang dibawa – bawa pakai karung saking banyaknya.”

Mata Ibu menyipit tertawa.

“Kamu ini, Le, Le, lha kok ada – ada saja. Masa zaman Suzanna yang sudah bisa bernapas dalam kubur begini, apa iya masih belanja bawa – bawa uang sekarung.”

Ibu Saya sebenarnya lebih kocak dari Saya. Saya tertawa ngakak.

“Lah mungkin saja Ibu. Kalau memang harga barangnya mahal dan perlu duit banyak. Makanya Pemerintah menganjurkan cashless alias tanpa bawa uang. Bank Indonesia juga menyebutkan lho, Bu. Sebentar lagi cepat atau lambat, masyarakat kita sudah tak menggunakan uang tunai lagi, semua transaksi ya menggunakan kartu atau lewat internet. Di catatan BI sepanjang tahun lalu transaksi menggunakan tanpa uang ini sudah mencapai Rp. 60 Miliar, naik 120 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya yakni Rp. 27,7 Miliar.”

Ibu kembali tertawa sambil mengambil posisi yang lebih enak di kursinya yang empuk, pertanda Ibu sangat nyaman di pembicaraan ini.

“Kenapa Ibu, kok tertawa?”.

“Ibu senang kalau kamu menerangkan dan punya data uang yang Miliar Miliar begitu. Itu baru namanya karungan duitnya”.

Kami tertawa bersama. Saya berganti duduk di sebelahnya.

Ibu melanjutkan,
“Jadi zaman sekarang itu,begitu ya? Internet, Internet, Internet. Lalu apa keuntungan bagi kita, Le, kalau kita sudah hidup di zaman Ekonomi Digital? Apa yo kita bakal lebih makmur, begitu?”.

Saya tersenyum. Ibu berlaku seperti ibu – ibu lain di saat kita menawarkan satu benda, dimana beliau harus tahu dan diyakinkan keuntungan apa yang bisa didapat.

“Manfaat, Ibu. Sangat besar manfaatnya. Yang paling utama adalah semakin mudahnya kegiatan jual beli, Ibu. Yang tadinya orang harus datang jauh, kini tidak mengenal jarak. Yang tadinya kita harus bawa uang karungan (Saya tertawa lagi), kini tinggal klik saja. Yang tadinya kita harus menghubungi satu persatu klien dan pelanggan kita, kita sekarang bisa sekaligus membayar semuanya. Penjual juga mudah lho, Ibu, dalam melihat siapa yang bakal membeli dan yang butuh barang dagangannya. Apalagi pembeli, zaman sekarang, pembeli sudah termasuk menjadi orang yang sangat beruntung karena apa yang mereka butuhkan telah tersedia dalam jenis dan jumlah berapa saja, yang mungkin akan sulit dipraktekan bila dilakukan oleh toko model lama”.

Ibu mengangguk – angguk kagum.

“Ada lagi? Ada Ibu. Manfaat berikutnya adalah menggerakkan sektor usaha, seperti ukm atau pedagang kecil misalnya. Mereka sekarang punya kesempatan dan wadah yang sama bahkan mereka bisa berinteraksi dengan para pembelinya. Itupun tidak hanya lokal lho, Bu. Bisa saja pembelinya ada di belahan dunia yang lain.”

Ibu mengernyitkan keningnya dan berpikir seakan menyimpulkan.

“Kalau pedagang jualannya laku, untungnya banyak. Pembelinya senang karena kebutuhan terpenuhi. Semuanya senang. Ibu senang, kamu senang. Negara kita dipenuhi orang senang, Le. Berarti kita...”

Saya menyela,

“Kita makmur, Ibu. Berarti roda perekonomian kita berjalan dengan baik. Negara akan mendapatkan banyak keuntungan yang tentu saja kembalinya ke rakyatnya yang makin sejahtera.”

http://strategidanbisnis.com

Ibu tiba – tiba merangkul. Hangat sekali rangkulannya.

“Kamu anak Ibu yang pintar,”.

Saya dalam dekapan Ibu tersenyum bahagia. Cuma agak was – was karena Saya tahu kalau beliau sudah mulai merangkul pastinya beliau sebenarnya menginginkan sesuatu.

“Sudah, Ibu mau apa?”, tanya Saya dengan lembut.

Masih saja dengan merangkul, Ibu menjawab dengan rayuan,

“Apa bisa beli dress Batik, apa bisa juga dibeli lewat Hape?”.

Saya tersenyum.

“Online, maksud Ibu? Bisa, lah. Ibu yang pilih sendiri ya. Saya yang bayar kali ini. Cashless.”

Ibu tertawa bahagia.

“Terima kasih ya, Le”.

Saya sungkem dengan mata berkaca – kaca.

“Sami – sami, Ibu”.

http://i.huffpost.com


Komentar