Eksploitasi Anak di Audisi Badminton


Salam Budaya!


Beberapa hari lalu Saya mendapatkan sebuah undangan dari Yayasan Lentera Anak sebuah Lembaga independent dalam perlindungan dan pemenuhan hak anak yang bertujuan untuk mendukung Indonesia sebagai negara demokratis yang ramah anak. Salah satu program kerja mereka adalah pemenuhan dan perlindungan hak anak.

Nah, Pada tahun 2018, Yayasan Lentera Anak ini menemukan fakta di lapangan yang menimbulkan pertanyaan pada sebuah kegiatan Audisi Beasiswa Bulutangkis selama 3 tahun terakhir. Peserta audisi adalah anak-anak berusia 6 - 15 tahun, yang selama kegiatan dikepung oleh brand image merek rokok (Yayasan Lentera Anak, 2018). Ini menumbuhkan rasa kekhawatiran akan adanya pelanggaran hak anak lewat eksploitasi ekonomi. 

Sebentar, sebentar.

Saya jadinya kok ngeri ya. Sebenarnya apa yang terjadi? Eksploitasi macam apa yang sedang dilakukan suatu pihak terhadap anak - anak ini?

Nah ini yang sebenarnya harus diluruskan. Setelah membaca dengan seksama apa yang dilampirkan oleh Ibu Lisda Sundari, pendiri Yayasan Lentera Anak mengenai pelanggaran Hukum dan Eksploitasi Anak.


Kegiatan Audisi ini tidak sebatas membiasakan image Produk Rokok kepada anak, tetapi juga memanfaatkan tubuh anak sebagai media promosi Brand Image suatu produk Rokok. Mereka mengikuti audisi ini dengan motif tunggal ingin mengembangkan diri tetapi justru disalahgunakan menjadi media promosi perusahaan rokok. Perlakuan ini bertolak belakang dengan Undang Undang Perlindungan Anak Pasal 761.



Arti "Dieksploitasi secara ekonomi" dijabarkan pada pasal 66, yakni "tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil".


Nah apa yang sebenarnya terjadi di lapangan?



Ya, sejak tahun 2006, Brand Rokok ini telah menggelar audisi beasiswa bagi anak - anak untuk mendapatkan pelatihan bulu tangkis. Semula audisi beasiswa ini hanya diperuntukkan bagi remaja usia 15 tahun dan hanya digelar di kota Kudus. Pada tahun 2015, audisi ini melebar ke berbagai kota di Indonesia dan pada tahun 2017 peserta audisi yang dijaring lebih muda lagi yaitu di bawah usia 6 tahun sampai 15 tahun.



Perusahaan rokok ini memang punya pengalaman panjang tentang Bulu tangkis. Di tahun 1974 mereka mendirikan Persatuan Bulu Tangkis di Kudus, Jawa Tengah, kota yang menjadi pusat pabrik rokok perusahaan ini. "Pembinaan" atlet ini kemudian menginsipirasi dan dimanfaatkan untuk menjadi bagian strategi pemasaran, terutama setelah PP 109 lahir pada tahun 2012 sebagai turunan Undang - Undang Kesehatan No. 36/2009 yang membatasi iklan rokok di berbagai media.



Tahun 2018, Audisi Beasiswa Bulutangkis ini diselenggarakan sepanjang bulan Maret - September di 8 kota. Promosi kegiatan ini dilakukan secara masif sejak akhir Januari 2018 di televis, koran, youtube, instagram dan facebook. Jumlah total peserta anak usia 6 - 15 tahun yang mengikuti audisi ini 5975 orang, sedangkan yang mendapatkan beasiswa hanya 23 orang.



Dalam 10 tahun jumlah peserta audisi naik hingga lebih 13 kali lipat, yaitu 445 orang pada tahun 2008 menjadi 5957 orang pada tahun 2018. Total selama 10 tahun 23.683 anak terlibat, namun jumlah penerima beasiswa  hanya 245 orang saja, yaitu 0.01 % dari jumlah peserta yang mengikuti audisi (tabel 1).





Jumlah Peserta Audisi Umum Beasiswa Badminton 2008 - 2018


Perbandingan angka yang begitu ekstrim ini terus - menerus  hingga makin kian tahun ke tahun jumlah anak yang mendapatkan beasiswa tidak sebanding dengan yang jumlah anak yang mengikuti.



Lalu bagaimana tanggapan dari Psikolog?





Pagi itu, mbak Liza Djaprie menjelaskan otak anak seperti spons, yang lentur menyerap semua informasi yang diterimanya. Otak mereka akan menyerap informasi sesuai yang tersampaikan kepadanya. 



“Sehingga jika rokok dipersepsikan sebagai bulu tangkis, mereka akan menerima seperti itu,” katanya. “Sama halnya jika mereka menyerap suatu Produk Rokok sebagai pemberi beasiswa.”



Hasilnya, kata Liza, adalah denormalisasi rokok sebagai produk yang berbahaya bagi kesehatan. Ribuan anak yang menjadi peserta akan menganggap bahwa rokok adalah produk yang baik, terasosiasi dengan olah raga, dan Brand Rokok itu adalah perusahaan yang dermawan dan peduli dengan pengembangan badminton.



Dalam ilmu psikologi asosiasi semacam ini disebut priming effects. Dalam Thinking, Fast and Slow (2012), Daniel Kahneman menjelaskan bahwa otak manusia terbagi ke dalam pikiran yang bekerja cepat dan lambat. Priming effects mengendalikan bagian otak yang berpikir cepat. Ia mengolah informasi dengan asosiasi-asosiasi sesuai dengan informasi yang diterimanya.



Profesor ekonomi di Harvard University, Amerika Serikat, ini melakukan uji coba memadankan kata EAT (makan) dan WASH (mencuci) dengan SO_P. Para responden menjawab bahwa EAT berpadanan dengan SOUP (sup), sementara WASH terasosiasi dengan SOAP (sabun). Priming effects membuat asosiasi ini diterima sampai ada informasi lain yang lebih kuat hingga keduanya terbalik. Jawaban para responden menunjukkan bahwa sejak sebelum bisa membaca mereka telah dikenalkan pada informasi bahwa “makan” terasosiasi dengan “sup”, bukan dengan “sabun”.



Jika mengacu pada kesimpulan Kahneman, priming effects juga terjadi dalam audisi badminton. Otak berpikir cepat anak-anak yang menjadi peserta menerima informasi bahwa Brand Rokok itu adalah bulu tangkis dan beasiswa. Perlu informasi yang terus menerus untuk sampai pada persepsi bahwa Brand Rokok itu adalah merek rokok, produk olahan tembakau yang membahayakan kesehatan mereka.



Bahaya juga kan?


Yang diinginkan dari Yayasan Lentera sebenarnya jelas yakni.


  1. Anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi dan harusnya dilindungi, untuk itu seharusnya semua kegiatan yang berpotensial mengeksploitasi anak Indonesia perlu dikecam dan ditolak.
  2. Kegiatan Audis Beasiwa yang dilakukan suatu Brand tertentu yang melibatkan ribuan anak Indonesia, bukan saja mendekatkan brand itu yang berbahaya pada anak, tetapi juga mengambil keuntungan dengan memanfaatkan tubuh anak sebagai media promosi brand Image rokok dan ini adalah bentuk dari eksploitasi anak.
  3. Mendesak dan menuntut penyelenggara Audisi Bulutangkis dengan Brand Rokok tidak melibatkan anak dalam seluruh kegiatannya dan menghentikan eksploitasi anak dalam segala bentuk termasuk menjadikan anak sebagai media promosi.
  4. Mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan tegas kepada penyelenggara Audisi Beasiswa Bulu Tangkis dengan Brand Rokok untuk menghentikan kegiatan yang berpotensi eksploitasi anak dan mengambil alih upaya pembinaan bulu tangkis pada anak.
  5. Menghimbau pemerintah, masyarakat, keluarga, pendidik dan semua pihak untuk terus mewaspadia dan tidak terjebak dalam kegiatan promosi dan iklan terselubung produk adiktif rokok dan bentuk kegiatan lainnya.
  6. Mendesak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai Lembaga Negara untuk menjelaskan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 76 (huruf g) UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 untuk memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran hukum dan eksploitasi anak pada kegiatan Audis Beasiswa Bulutangkis.

Salam Budaya!



Komentar

  1. Setuju. Saya juga sangat mendukung audisi beasiswa bulutangkis. Tetapi tidak dengan menjadikan anak iklan berjalan produk tersebut.

    BalasHapus
  2. Waah tulisannya keren banget Mas Dedy. Mantul! Padat dan informatif. :D

    Aku bahkan baru tahu soal "priming effects" dalam ilmu psikologi. Makanya kenapa seseorang mengasosiasikan suatu hal dengan hal lain karena itu memang sudah tertanam di pikirannya. Saya sendiri mendukung audisi beasiswa bulu tangkisnya, namun tidak dengan eksploitasi di dalamnya. Semoga melalui tulisan mas Dedy semakin banyak masyarakat yang tercerahkan ya bahwa dijadikannya anak-anak sebagai 'iklan berjalan' rokok dalam suatu audisi olah raga bukan hal yang wajar ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih dan semoga masyarakat kita makin tersadar

      Hapus
  3. Selama ini aku bahkan ga sadar juga mas dedy, klo event olahraga yg ku suka tonton dekat dengan sponsor rokok..termasuk moto GP. ini pasti karna priming effects ya. Makasi mas dedy pencerahannya. Semoga jadi lebih terbuka mata kita ya untuk yang akan hal ini.

    BalasHapus
  4. keren tulisannya.
    saya dari dulu kurang suka industri rokok sih. Mereka budget marketing besar.
    dari iklan saja ga ada sedikitpun mempromosikan rokok, tapi tetep aja tuh laris manis rokoknya. Makanya ga heran, kalau strategi promosinya kali ini lewat beasiswa bulutangkis, mengingat bulutangkis populer banget di indonesia. Yg heran kok kayanya KPAI adem ayem aja ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih, ya semua sedang diperjuangkan. Semoga semua mengarah menjadi baik.

      Hapus

Posting Komentar