Jakarta Fair Kemayoran 2019 Kembali Buka



Salam Budaya!

Wah tiba - tiba saja Jakarta Fair Kemayoran atau yang masih terus disebut Jakarta Fair kini telah dibuka. Gempitanya sama, sorak sorainya juga sama. Karena selain untuk menjelang Ulang Tahun Jakarta yang ke 492. Masyarakat kita memang sudah pada fitrahnya demen dengan apa yang namanya pameran atau yang namanya FAIR.

Nah, apa sebenarnya FAIR itu?

Mari kita mampir ke Wikipedia

Satu Fair Bisnis di Industri Travel

Anak - Anak di Rockton World's Fair, Festival Panen di Canada 2014

FAIR atau juga disebut FunFair adalah berkumpulnya banyak orang demi melakukan berbagai aktivitas hiburan dan juga komersial. Biasanya dilakukan di saat - saat tertentu saja mulai dari yang semalam hingga yang beberapa minggu. 

Komidi Putar sering kali muncul di FAIR atau di negara kita Pasar Malam

Nah mengingat Saya telah mencolek Pasar Malam. Lalu bagaimana keberadaan Pasar Malam di Indonesia?

Pasar malam adalah pasar yang melakukan transaksi perdagangan di malam hari. Berbagai barang dagangan atau jasa diperjualbelikan di sini. Pasar malam biasanya merupakan atraksi pariwisata penting di negara-negara sub-tropis dan tropis, ini berhubungan dengan suhu udara di malam hari yang tidak begitu dingin dibandingkan dengan wilayah beriklim dingin. Pasar malam sangat lazim terdapat di Hong Kong, Taiwan dan juga Asia Tenggara.

Dalam pasar malam terhimpun berbagai gerai yang biasanya menjual barang dan makanan, seperti aneka jajanan dan makanan ringan, hidangan favorit lokal, buah-buahan, pakaian, sepatu, mainan, balon, jam tangan dan jam alarm, pernak-pernik dan ornamen dengan harga yang relatif murah. Keping DVD, CD dan perangkat lunak komputer bajakan sering dijual di pasar malam.

Pasar malam menyerupai festival, karnaval atau fair, di mana permainan karnaval dan wahana permainan anak-anak, seperti korsel mini atau naik kereta api mini juga tersedia. Beberapa camilan klasik seperti gulali, es krim, hot dog dan sosis panggang, juga populer di samping makanan tradisional setempat. Pasar malam lazim digelar satu sampai beberapa hari dalam seminggu, karena para pedagang berputar di sekitar lingkungan yang berbeda pada hari-hari yang berbeda dalam seminggu. Tawar-menawar harga adalah praktik umum di pasar semacam itu.

Pasar malam (Hanzi: 夜市, pinyin: ye shi) sudah ada pada zaman Dinasti Sui di Tiongkok kuno. Di zaman tersebut, penyelenggaraan pasar diatur secara ketat oleh kekaisaran. Pasar malam pertama tercatat di Chang'an, yang merupakan kota terbesar pada zaman tersebut. Dari Chang'an, pasar malam kemudian meluas ke beberapa kota besar lainnya seperti Kaifeng, Luoyang dan Yangzhou.

Sampai pada tahun 965 pada zaman Dinasti Song, kekaisaran menghapuskan larangan berdagang setelah tengah malam. Di Kaifeng muncul pasar malam yang diadakan sampai pagi hari. Pasar malam seperti ini dikenal dengan istilah "pasar hantu" (鬼市). Kebiasaan ini kemudian membudaya dan menyebar ke kota-kota lainnya di seluruh Tiongkok.

Di Nusantara, pasar secara tradisional diadakan pada hari yang berbeda dengan lokasi yang bergilir di antara desa-desa yang berpartisipasi. Kebiasaan ekonomi tradisional ini di Jawa dikenal dengan sebutan "Hari Pasaran". Setelah dikembangkan lebih lanjut, pasar didirikan lebih permanen seperti sekarang ini. Pasar malam dapat dianggap sebagai kelanjutan dari budaya "pasar kaget" atau pasar non-permanen ini. Pasar malam biasanya diadakan pada acara khusus atau festival, seperti festival Sekaten di Jawa, atau diadakan di malam Ramadhan, kira-kira sepekan sebelum Lebaran.

Setelah ditemukannya listrik dan bola lampu, pasar malam lebih sering diadakan di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Yang paling besar adalah Pasar Gambir, sebuah pasar malam yang diadakan pertama kali pada 1906, dan kemudian digelar secara berkala tiap tahun sejak 1921 sampai pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942. Pasar Gambir digelar di Koningsplein, Batavia, Hindia Belanda (kini Lapangan Monas atau Medan Merdeka di Jakarta) untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina dari Belanda. Acara ini telah menjadi pendahulu dari Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair) dan Tong Tong Fair di Den Haag yang sebenarnya merupakan pasar malam yang digelar selama beberapa pekan.

Pasar Malam Gambir era Belanda 1922 (koleksi Troppenmuseum)

Dulunya, waktu Jakarta masih bernama Batavia dan kita masih dibawah kepemimpinan Hinda Belanda, mereka punya acara khusus berupa pesta seperti Pasar Malam Besar untuk merayakan penobatan Ratu Wilhelmina di Batavia. Sesuai dengan keputusan Pemerintah Gementee Batavia, acara ini akhirnya dipusatkan di Koningsplein (lapangan Monas atau lapangan Gambir saat ini).

Pasar Malam Gambir pertama kali dicanangkan tanggal 13 Agustus 1898. Ternyata ide pasar ini sangat berhasil, terbukti banyak sekali rakyat datang hingga pada puncaknya di tahun 1907 saat Van Heutz mengadakan pesta besar, disana macam-macam pertunjukan tonil ada, menurut buku almenak Hindia Belanda keluaran 1921, disebut pada tahun 1907 banyak sekali panggung-panggung, ditengahnya ada ring tinju, lalu ada kembang-kembang gula untuk anak-anak, ada lempar bola, ada olahraga ketangkasan, dan banyak orang menjual baju-baju.

salah satu stand Pasar Gambir 1928 (sumber foto: uniqpost.com)

Pasar Malam Gambir juga menjadi tempat gaul kerena para anak muda jaman dahulu. Mereka pamer dengan kendaraan bendi atau mobil ford T berkeliling Gambir, kebanyakan adalah sinyo-sinyo Belanda ataupun pemuda keturunan Tionghoa yang kaya raya. Malamnya diadakan pertunjukan lagu-lagu. Bahkan Grup Tonil Miss Tjitjih juga pernah tampil disini.

Pasar Malam Gambir sebagai Pasar Malam kesukaan orang Batavia menjadi bubar ketika Jepang mendarat di Pulau Jawa pada tahun 1942.

Nah semangat dari Pasar Malam Gambir inilah yang akhirnya melahirkan Pekan Raya Jakarta atau pertama kali disebut dengan DF atau Djakarta Fair. Untuk pertama kalinya digelar di Kawasan Monas tanggal 5 Juni hingga 20 Juli tahun 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto dengan melepas merpati pos sebagai simbolisnya. 



Sebenarnya siapa, pemirsah yang punya ide melanjutkan gempita Pasar Gambir Besar itu?

Tersebutlah Haji Mangan, seorang yang bernama asli Syamsudin Mangan, seorang kaya di bidang tekstil yang sering datang ke pameran internasional. Pak Haji ini sayangnya sudah mulai dilupakan orang. Saya tekuni rekam jejaknya digoogle juga, gagal, karena fotonya sudah tidak muncul lagi. (Sayang ya... Moga ada pihak yang unggah fotonya)

Beliau saat itu adalah Ketua KADIN (Kamar Dagang dan Industri) yang punya ide brilian sebagai upaya untuk mengembalikan peningkatan pemasaran produksi dalam negeri yang ambruk karena tercorengnya kejadian G30S/1965. Gagasan ini beliau sampaikan pada bang Ali Sadikin, sang Gubernur DKI di tahun 1967. Pemerintah DKI merasa okay dengan ide itu dan ingin menyatukan beberapa pasar malam yang waktu itu telah ada di beberapa titik di Jakarta. 

Biar lebih yahud lagi, Pemerintah DKI  mengesahkannya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) no. 8 tahun 1968 yang antara lain menetapkan bahwa PRJ akan menjadi agenda tetap tahunan dan diselenggarakan menjelang Hari Ulang Tahun Jakarta yang dirayakan setiap tanggal 22 Juni serta membentuk Yayasan Penyelenggara Pameran dan Pekan Raya Jakarta juga dibentuk sebagai badan pengelola PRJ. 

Pak Haji Mangan sayangnya tidak bisa melihat impiannya sukses karena beliau wafat sebelum PRJ benar - benar buka.

Peresmian Djakarta Fair oleh Bapak Presiden Soeharto dan Ibu Tien didampingi Bapak Gubernur DKI Ali Sadikin 17 Juli 1971 di Halaman Monas (dari x.detik.com)

PRJ 1968 atau DF 68 berlangsung mulus dan boleh dikatakan sukses. Mega perhelatan ini mampu menyedot pengunjung tidak kurang dari 1,4 juta orang. Fantastis! Acara yang digelar pun unik. Kala itu digelar pemilihan Ratu Waria. Yang ikut 151 peserta dan boleh dikatakan cukup banyak kala itu.

Hasilnya? Kereeeen.

DF 69 jadi hits waktu itu dan merupakan PRJ terlama karena berlangsung 71 hari yang umumnya hanya 30 - 35 hari saja. Semuanya senang. Semuanya menikmati hingga menyedot pengunjung 1,4 juta orang. 



For your information, di kala itu udah ada pemilihan Ratu Waria ya. Pak Ali Sadikin memang dikenal sebagai Gubernur yang Out of Box. Bahkan Presiden Richard Nixon juga sempat berkunjung di kala itu.

Karena alasan kemacetan dan perkembangan produk dan pengunjung yang kian bertambah akhirnya dari Kawasan Monas yang hanya seluas 7 hektar PRJ pindah ke Kemayoran - Jakarta Pusat yang "selega" 44 hektar yang merupakan bekas Bandar Udara Internasional Kemayoran.

Bagaimanakah Djakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta yang kekinian di tahun 2019 ini?

Nah, tulisan ini akan bersambung yaaaa...

Salam Budaya.

Komentar

  1. Pasar malam Gambir merupakan magnet bagi warga berkantong tipis untuk mendapatkan hiburan dan produk dengan diskon gede.

    BalasHapus

Posting Komentar