Himbauan Hidup Tanpa Merokok Tanpa Mengajak Ribut

MENGGURITA - 004 - RUMAH ORANG KAYA



RUMAH ORANG KAYA 

Kami bercanda cukup malam itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Mbak Wiwik pamit pulang paling awal. Ternyata dia masih dari kampong sebelah, rumahnya masih tergolong dekat. Dia memang direkrut karena memang sedari dulu ingin bekerja di tempat Pak Maryanto dan kedua orang tuanya sudah saling kenal dengan sejak kecil. 

Pak Willy harus pulang ke Surabaya diantarkan oleh Mas Eko. Mbak Yuyun memilih tinggal karena besok ia bertugas untuk melanjutkan briefing untuk pekerjaanku, dan akan lebih nyaman dimulai di pagi hari. Sekalian sebagai tanda, itu hari pertama aku bekerja. Mbak Wiwik nanti juga ikut hadir lagi. 

Pak Maryanto pamit juga karena merasa ngantuk. Kamarnya ternyata berada di lantai yang sama di lantai tiga dan sepertinya selebihnya aku malah menduga – duga, pasti lantai rumah ini sangat besar hingga bisa terkotak – kotak dengan baik. 

Sebelum masuk kamarnya yang bergerbang Gebyok Jati berukiran yang besar, beliau bicara ke Mbak Yuyun, 

“Mas Dedy nanti dianterin saja keliling - keliling rumah ini. Lihatin ruang – ruangannya. Mana ruang marmer, ruang Ken Dedes, Ruang Kaca. Terus kalau sudah ngantuk, biarkan dia tidur di kamar kelinci, ya? Suruh si Siti mbersihin sedikit, kasih Kasur lipat dan selimut. Pasti dia kedinginan malam ini. Sementara kamarnya dibersihin, ajak aja tur. Aku tak tidur dulu, ya.” 

Dia kemudian mengarahkan pandangannya padaku. 

“Aku tak tidur dulu, ya Mas Dedy. Muter – muter saja dulu. Kenali rumah dan kantormu. Aku capek seharian ini keliling”. 

Aku mengangguk dan Pak Maryanto lepas dari pandangan. 



Mbak Yuyun tersenyum. 

“Ayo, kita hubungi Siti di bawah sambil melihat – lihat”. 

Aku mengangguk. Entah kenapa aku tak mau banyak bicara. Seluruh ruangan tiba – tiba senyap. Lantai dan temboknya dingin. Untung aku bawa sweaterku. 

Kami kembali menuruni tangga kayu yang lantainya terbuat dari batu – batu hitam besar menuju kembali ke lantai satu. Ternyata kamar Siti ada di lantai itu. Ia langsung muncul dengan wajah ceria. Umurnya mungkin baru enam belas tahunan. 

“Mas Dedy mau lihat kantornya ya?”, sambil membawa segerombol kunci. Mbak Yuyun mengingatkan biar dia yang akan menghantarkan mas Dedy keliling dan menyuruh Siti untuk menyiapkan dan membersihkan kamar kelinci di lantai tujuh. Siti menyerahkan kunci dan mengangguk. 

Mbak Yuyun tersenyum dan menuju suatu pintu besar bermotif kayu dan mulai membuka kunci. Dia tampak tidak sabar untuk menujukkan, 

“In kantor pribadimu, mas Ded.” 

Terbukalah pintu itu dan tampak ruang memanjang yang mewah. Aku hidup di ruang mimpi sepertinya. Ini ruang kerjaku. Sebuah ruangan dengan batu bata besar berwarna abu – abu tua, berlantai hitam dengan seluruh almari dan meja mengkilat karena kayunya berpelitur. 

Mbak Yuyun melirik dengan tersenyum. Sebelum dia berkata sesuatu yang terus berulang, Aku omong duluan, 

“Aku pastinya senang bisa kerja di sini bersama Pak Maryanto, Mbak”. Dia pun terkekeh. 

“Ini ruang kerja pribadimu, Mas. Selamat, ya. Nanti tapi kebanyakan, Pak Maryanto, sesaat setelah makan siang, lebih memerlukan kamu di lantai tiga tadi.” 

Aku mengangguk dengan perasaan campur aduk. Ini pekerjaan enak, santai, bergaya dan juga gajinya terdengar lumayan. Sepertinya aku bakal tidur enak dan mimpi indah. 



“Oh, ya Mas. Mas Dedy tidur di kamar kelinci ya. Di lantai tujuh letaknya”. 

Aku penasaran dan belum begitu paham kenapa ruangan atau lantai itu diberi nama kamar Kelinci. Tiba – tiba rolling down depan bergeser, ada mas Eko yang baru datang dari Surabaya seusai menghantarkan pak Willy. Dia sudah berpakaian santai. 

“Saya yang anterin, mas Dedy, aja, mbak. Mbak Yun tidur aja. Yuk kita keliling ke lantai Ken Dedes dulu. Nanti aku antar ke kamar kelinci”. 

Aku tiba – tiba menjadi orang asing di rumah ini. Seberapa luas kah rumah ini sebenarnya? Apa fungsinya ruang – ruang itu. Kenapa mereka punya ruang yang bernama aneh – aneh. 

Mas Eko mengajakku memasuki lantai empat yang suram, lembab dan sepertinya tak berlampu. Dindingnya lagi – lagi terbuat dari bata besar berwarna abu – abu. Mirip seperti kerajaan – kerajaan zaman dahulu. 

“Pak Maryanto itu koleksi barang – barang antik, Mas. Lantai empati ini kami namai Lantai Ken Dedes.” 

Kami masuk ke lorong yang dihiasi oleh empat arca Ken Dedes dengan dada montok menggumpal di baju jawanya. Tangannya bertemu dan menyangga api sebagai penerangan ruangan. Mereka menyapa kami menuju lorong yang lebih gelap lagi. Ruang utamanya diisi tivi besar berukurang 50 inci. 

“Ruangan ini semua sudah terkapling – kapling. Tapi memang sengaja dikunci mengingat isinya yang sangat berharga. Mahal, mas Dedy. Ruangan sebelah kirimu itu adalah ruang Setrika. Di situ terdapat koleksi setrika dari jaman Majapahit sampai setrika ayam jago juga ada”. 

Aku penasaran. 

“Dikunci, mas?”. Mas Eko mengangguk sambil menunjukkan segerombolan kunci. Aku memohon. 

“Boleh sedikit melihat?”, kupasang muka yang semelas mungkin. 

Mas Eko tersenyum nakal. Dia membuka perlahan dan memberitahu untuk hanya bisa melihat barang 4 atau 5 menit saja. 

Ruang berpintu tinggi berwarna kayu merah itu terbuka dengan desis yang khas. 

Di dalam, aku langsung berdecak kagum. Terhamparlah berjenis – jenis setrika yang kelihatannya susah dan berat untuk diangkat, mulai setrika uap, setrika arang penuh dengan ukiran yang rumit, sampai setrika modern lipat yang hanya seukuran handpone modern. 



Mas Eko tersenyum bangga. 

“Kita memburu ini ke seluruh pelosok Indonesia, Mas. Pak Maryanto berani mengeluarkan yang terbaik untuk mendapatkan yang terhebat”. 

Aku menyimpulkan. 

Pak Maryanto ini orang kaya. 

BERSAMBUNG

Komentar

Posting Komentar