MERESENSI DAN MENSINOPSIS FILM ALA SAYA

Kaki - Sebuah Sumber Caci - Bagian Satu



BAGIAN SATU

Kisah ini memuakkan.

Membosankan. Aku terus menerus menceritakannya. Ke semua orang yang pernah aku temui. Begitu saja dari tahun ke tahun. Membuat orang tercengang, ngamuk, kesal, kasihan, tapi malah ada yang tidak percaya dan bahkan malah makin membenci.

Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan rasa bersyukur. Pada akhirnya nanti dengan segala apa yang terjadi, Aku tetap berterimakasih kepada Allah SWT. Beliau telah menetapkan apa - apa yang tidak sempurna di kesempurnaan kita sebagai manusia.

Sepuluh tahun belakangan ini, Aku berani bilang kalau aku mengalami cacat kaki. Banyak orang menghardik dengan pembukaku ini. Mereka bilang, aku orang yang tak pernah bersyukur dan selalu melihat bahwa kakiku yang jenjang ini, terlihat baik - baik saja.

Oh, ya, dengan tinggi badan 181 cm, Aku memang layak menjadi model. Kakiku bolehlah melenggang di panggung catwalk. Tapi sayangnya fungsinya lemah.

Okay, seterusnya Aku akan memakai kata disabilitas biar tak terkesan kasar.


Bukankah kakiku utuh? Bukannya ia sepertinya tak mengalami keanehan apapun bila dilihat oleh mata telanjang?

Baiklah.

Apa itu Penyandang Disabilitas? 

Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Mari kita garisbawahi bahwa disabilitas adalah keterbatasan fisik, sensorik dan terhitung dalam jangka waktu yang lama hingga akhirnya bisa menyulitkan.

Sampai saat ini masih belum paham?


Selamat datang di dunia DEDY KECIL di episode Kaki - Sebuah Sumber Caci. Sebuah kenyataan yang membuat Aku kadang benci pada diri sendiri dan sering membuatku menangis.


Kisah yang membosankan.


MEI 1976

Lahirlah seorang Aku yang paling merepotkan ibu dan keluarga. Menyedihkan memang, tapi anehnya Aku sendiri tak pernah mendapatkan cerita yang utuh apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Ibuku dan dokter keluarga yang menangani sepertinya bersumpah untuk takkan coba - coba menceritakannya.


Aku hanya menerima cerita sepotong - sepotong. Kalau aku lahir dalam keadaan ungu dan hampir tak tertolong. Apakah Aku prematur hingga akhirnya masuk suatu tabung? Tak ada yang pernah menjelaskan.




Yang pernah aku dengar adalah aku lahir dalam keadaan punya kelainan jantung yang dibarengi dengan Stuip.

Stuip atau ‘step’ adalah kejang yang diakibatkan karena anak mengalami demam tinggi. Terjadinya kejang adalah karena akibat kontraksi otot berlebihan di luar kehendak. Kejang demam dialami 2%-3% anak-anak, dan dapat berlangsung secara singkat dan tidak berbahaya. 

Okay.

Tapi bagiku itu bisa berakibat fatal dan berbahaya karena kejang tentu saja dapat mempengaruhi kinerja jantung.

Di titik ini, Ibu sering bercerita, beliau sering mengalami sport jantung juga setiap saat Aku mengalami kejang.

For your information, Ibu telah mengalami trauma karena kehilangan putri pertamanya di tahun 1966, karena mengalami keracunan susu. Kematian anak adalah salah satu hal yang mestinya membuat beliau trauma dan tak mau terulang kedua kalinya.


Aku juga pernah mendengar, kabarnya dokter juga sudah mulai menyerah. Katanya, mereka hanya mampu memprediksi kalau Aku punya beberapa kemungkinan, nantinya bakal cacat, idiot, atau mengalami kerusakan otak.

Entah itu jawaban yang paling efektif yang bisa aku dapatkan atau memang kejam. Aku tak tahu. Aku benar - benar tak punya saksi yang waktu itu bisa aku tanya dengan pasti.


Semuanya serba katanya. Atau kabarnya.


Anyway, mau tak mau, semua orang waktu itu tinggal menunggu keajaiban saja. Aku hanya terdiam di box bayi. Atau ibu dan pembantu akan menjadi super sibuk, karena tiap malam aku mengalami demam dan perlu ditenangkan.


Ya, Allah.

Segala usaha pengobatan juga dilakukan. Doa dikerahkan. Untuk meminimalkan efek yang terjadi suatu hari nanti.

Efek pertama yang terlihat adalah Aku tak bisa berjalan dengan benar. Kakiku terlalu lemah untuk berdiri. Apalagi berjalan. Dedy Kecil hanya bisa diam di kamar dan kalau ada apapun akan merangkak atau ngesot.

Tiap pagi akan ada cairan keluar dari hidung berupa darah, cairan dari telinga dan mata akan tertutup akan kotoran.

Sebuah kondisi yang akan diterjemahkan sebagai aib bagi semua orang. Ya, cobaan yang nyata dan caci akan mulai diterima.




Dedy kecil sering tergolek lemah. Seringnya merangkak. Hingga ke umur lima. Sepanjang itu hidupnya adalah sebuah cerca dan hina. Beberapa kali dia berusaha belajar berjalan, selalu terdengar tertawaan. Orang akan sengaja menyenggol supaya ia terjatuh. Begitu terjatuh, terdengar candaan dan semua senang.


Lemah, tidak berdaya, lemes, dan bencong. Itu kata yang sudah menjadi keyword.

Semua saudara malah sengaja memberitahu, kalau aku itu adalah anak pungut. Dipungut dari tong sampah. Aku itu aslinya anak dari Pak A, seorang penderita gila yang pekerjaannya mengaduk - aduk sampah dekat kali sana.

Aku. Seorang anak kecil tak lagi menangis. Tapi lama - lama malah menjadi suatu keyakinan. Mungkin memang aku tidak layak untuk hidup.


Lalu sejauh mana ingatanku?

Hal yang terjauh aku pernah ingat di memori awalku adalah saat Ibu dibantu oleh Mbak Jum membuat semacam ramuan di mangkuk berisi air panas, bawang merah dan sasa (vetsin). Entah itu untuk apa.

Yang kedua adalah saat aku masih di semacam jeruji (tentu saja itu boks bayi) seorang pendeta datang ke rumah memberiku kalung salib yang ada patung Yesus berukuran kecil. Nantinya patung Yesus itu akan copot karena terus menerus aku mainkan.


Ibu dengan keheranan menjelaskan dan cukup bingung bagaimana aku bisa mengingat peristiwa yang sebenarnya bisa saja terjadi di saat aku masih berumur hitungan bulan.

"Pendeta itu lewat di depan rumah. Melihat ibu sedang susah. Ibu menjelaskan keadaan dirimu dan beliau meminta izin dengan hormat, untuk membolehkan ia ikut mendoakan dengan kepercayaannya agar dirimu bisa disembuhkan dan terus bisa sehat sepanjang hidupnya."


Wow.

Suatu hari Kakakku pertama juga pernah berkata dengan lantang,

"Kamu itu tidak hanya cacat. Kamu itu sudah invalid".

Hancur hatiku.

Sehancur saat aku dibuang di desa.



Ada apa lagi?

Entah, sekali lagi, jujur, aku hanya pernah mendengar kalau ada semacam treatment buat anak yang sudah lama sakit - sakitan dan salah satu cara untuk menyembuhkannya selain mengganti nama, ternyata ada semacam ritual 'membuang' ke keluarga lain.

Sampai sekarang, aku tak pernah tahu, apa koneksinya, apa keuntungannya dan apa penjelasan logisnya.

Yang jelas, seingatku aku sudah tiba - tiba berada di desa tempat Pak De-ku tinggal, 32 km jauhnya dari rumah.

Suatu sore yang cerah, dengan demam, aku sudah disuapi Yu Kanah, dengan lagu Ebiet G Ade dari kejauhan.


Sedih.


Apakah aku sembuh?


Boro - boro. Tiap malam, aku mimpi buruk dan teriak - teriak. Selalu kelihatan ada nenek yang datang sambil membawa tongkatnya menghentakkan ke tanah. Jantungku selalu berdetak kencang dan membuat jantungku berdetak keras.


Efeknya. Aku malah lebih sering dibentak. 

Belum lagi beberapa kali malah, Dedy Kecil yang masih susah berjalan ini ditampar sandal jepit Pak De karena dianggap menganggu kakak - kakak yang sedang belajar.

Hidup itu memang menyenangkan.

Sudah disable, disiksa lagi.

Nah, apakah penderitaanku berakhir di situ?

Sepanjang ingatanku tidak seperti itu ceritanya.


Mari biarkan aku menceritakan ini dengan sesuak hati, melompat ke sana ke mari sesuai apa yang aku ingat dan aku rasakannya saja. Semuanya tetap berkaitan dengan kaki.

Ada kemungkinan berdasarkan lini masa, aku sudah mulai bisa berjalan untuk berdiri dan berjalan kaki, baru di umur yang kelima. Saat itu saat untu masuk ke usia TK.


1979.

Hari pertama masuk ke Sekolah Taman Kanak - Kanak




Aku diterima di satu TK yang memang satu tempat yang dipercaya sebagai salah satu sekolah semua orang di keluarga tertempa masa kanak - kanaknya di situ. Sekolah turun temurun.

Namanya TK Arni di Jember. Jaraknya setelah aku cek di google maps dari rumahku sekitar 600 meter dengan jarak tempuh jalan kaki 8 menit.

Hal yang sangat biasa dan normal bagi semua orang untuk menempuhnya.

Tapi aku?

Di hari pertama sekolah yang aku sendiri tidak yakin akan mampu berjalan kaki dengan benar dan apa yang akan kuhadapi karena seharusnya jalan itu adalah jalan lalu lalang yang cukup ramai untuk dilewati kendaraan besar.

Ibuku hanya berpesan enteng,

"Hayo, jalan sendiri, ya. Yang hati - hati. Jangan meleng. Lihat kanan jalanmu. Kalau kamu mau selamat, mepet ajaaa, melipir saja. Nanti kamu ketemu namanya ada, tulisannya jelas, TK Arni."

Dedy Kecil mengangguk. Nurut. Manut.

Aku berjalan dengan perlahan. Menyusuri jalan dengan sangat berhati - hati. Beberapa truk besar yang lewat melintas, aku harus berhenti sebentar. Karena kibasan angin yang ditinggalkan bisa membuat aku sedikit goyang karena tubuhku kecil dan tak stabil.

Aku berhenti kalau memang lelah. Aku mengingat pesan ibu dengan baik. Melipir saja. Jangan berusaha ke tengah.


Wait.


Apakah ceritaku ini termasuk biasa saja? Atau kalian sudah mulai merasa aneh? Aku bantu ya, sedikit. Ibuku benar - benar melepas aku begitu saja. 


Biasa aja nggak sih? Dengan tubuhku yang ringkih ini.

Alhamdulillah nya aku sampai dengan selamat. Untunglah (kata kebanyakan orang Jawa).

Aku lihat beberapa orang berkerumun di gerbang. Semua orang tua cukup heboh mengantarka para anak - anak yang sangat rewel dan menjengkelkan. Ada yang menangis parah, menggelayut dan tak mau lepas dari orang tuanya. Sebaliknya ada beberapa ibu yang sangat drama yang malah kaget melihat anaknya lepas karena liar matanya begitu melihat beberapa fasilitas mainan yang disediakan oleh TK itu.

Aku?

Dengan berbekal sapu tangan yang ditautkan dengan peniti, aku sudah siap menghadapi hari ini. Jawaban yang tak masuk akal, saat aku tanya kenapa aku perlu sapu tangan itu.

"Kalau kamu ingusan, kamu bisa mengusap dengan sapu tangan itu".

Menggelikan sebenarnya. Tapi ya sudahlah. Aku pikir itu dulu aksesoris.

Sekolah TK tak lama ternyata. Jam 9 atau 10 sudah selesai.

Kehebohan lagi - lagi terjadi. Selain para orang tua yang sebagian besar mengintip dan saling menyombongkan putra putrinya. Mereka benar - benar puasa dengan tingkah laku didikan masing - masing.


Aku. Sendirian. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencoba tak terlalu mecolok. Hingga tempat itu sepi. Tempat duduk dari semen itu lowong. Sudah saatnya aku perlahan pergi.

Yang tersisa tinggal Ibu Pur, kepala sekolah, Ibu A (siapa ya namanya aku lupa) dan penjaga sekolah yang masih kuingat janggut dan rambutnya putih.

Mereka kaget begitu melihat aku beringsut berjalan hendak keluar dari gerbang sekolah.

"Kamu pulang sama siapa? Di antar siapa? Kamu tadi bareng siapa? Ibu? Mana Ibumu?".

Aku menggeleng dan menjawab 'sendiri'.

"Jalan kaki? Sendiri? Ke sini? Rumahmu mana?", Ibu - ibu itu mulai terdengar panik. Ada jengkel dan kesal, kasihan tapi juga tak percaya.

"Jalan Melati, Ibu".

Ibu Pur menjerit. Di wajahnya terlintas ketakutan luar biasa membayangkan pikiran buruknya kalau aku bisa saja tersenggol truk yang lewat dan menghabiskan nyawaku dalam sekejap mata.

Kelihatan Ibu berperawakan gemuk itu tak terima dan dengan sangat memerintahkan agar sang penjaga sekolah segara dengan amat sangat mengantar aku hingga selamat sampai di rumah.

Ia menitipkan salam untuk Ibu.

"Aku tidak mau, anak Ibu besok datang dan pulang sendiri. Kalau perlu penjaga sekolah akan menghantar dengan suka rela."

Aku meringis.


BERSAMBUNG.

Komentar

  1. Banyak hikmah pada kisah ini, yang disajikan dg luar biasa oleh penulis. Ditunggu terus sambungannya, sampai tuntas ceritanya ya. (Nissy)

    BalasHapus

Posting Komentar